BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Tanah memiliki arti yang sangat
penting dalam kehidupan manusia karena mempunyai fungsi ganda, yaitu sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social
asset tanah merupakan sarana pengikat kesatuan sosial di kalangan
masyarakat Indonesia untuk hidup dan kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor
modal dalam pembangunan. Di satu sisi tanah harus dipergunakan dan dimanfaatkan
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, secara lahir, batin, adil, dan
merata, sedangkan di sisi yang lain juga harus dijaga kelestariannya. Sebagai
karunia Tuhan sekaligus sumber daya alam yang strategis bagi bangsa, Negara,
dan rakyat, tanah dapat dijadikan sarana untuk mencapai kesejahteraan hidup
bangsa Indonesia, sehingga perlu campur tangan Negara turut mengaturnya.[1] Hal ini sesuai dengan
amanat konstitusional sebagaimana tercantum pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
yang berbunyi :
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Selanjutnya, Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa :
“Bumi,
air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada
tingkatan tinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh
rakyat”.
Sedangkan, Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud
hak menguasai oleh Negara adalah kewenangan untuk :
1.
Mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan
ruang angkasa tersebut.
2.
Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan
ruang angkasa.
3.
Menentukan
dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum
yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.[2]
Wewenang
yang bersumber pada hak menguasai Negara tersebut digunakan untuk mencapai
sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan
kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka,
berdaulat, adil dan makmur (Pasal 2 ayat 3).[3]
Sebagai konsekuensi
dari hak menguasai oleh Negara (HMN) agar dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat, UUPA memberikan kekuasaan yang besaar dan kewenangan yang
sangat luas kepada Negara untuk mengatur alokasi atas sumber-sumber agararia
menjadi sangat tergantung kepada politik hukum dan kepentingan Negara.
Bertolak dari hak
menguasai oleh Negara, Negara mempunyai kewenangan untuk menentukan adanya
macam-macam hak atas tanah yang diberikan kepada dan dapat dipunyai oleh
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum. Disamping itu, Negara mempunyai hak untuk mencabut hak-hak
atas tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh warga Negara dengan memberikan ganti
rugi yang layak dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.[4]
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka
permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Perolehan
Hak Atas Tanah Oleh Negara Melalui Lembaga Pencabutan Hak Atas Tanah Secara
Yuridis”
BAB II
PEMBAHASAN
A. PEROLEHAN HAK ATAS TANAH
OLEH NEGARA
Immanuel Kant
sebagaimana dikutip oleh Prof.Muchsan,SH.,[5]
mengatakan Negara adalah organisasi kekuasaan sehingga Negara bebas untuk
melaksanakan fungsinya, artinya Negara bebas berbuat dalam hukum publik atau
hukum privat. Selanjutnya Prof.Muchsan mengatakan bahwa untuk Indonesia
terhadap teori Immanuel Kant tidak dapat digunakan karena Negara tertutup
kemungkinan memperoleh hak menguasai melalui hukum perdata, alasannya jika menggunakan
hukum perdata maka akan ada pergeseran hak menjadi hak milik oleh Negara dan
bukan hak menguasai oleh Negara.
Berkaitan
dengan kewenangan Negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan (hak
menguasai oleh Negara); adapun cara perolehan hak atas tanah demi kepentingan
umum oleh Negara, yaitu berupa :
1)
Pencabutan hak atas
tanah;
2)
Pembebasan hak atas
tanah;
3)
Pengadaan tanah;
4)
Tukar-menukar tanah;
5)
Pelepasan hak atas
tanah.
Dari kelima cara
perolehan hak atas tanah oleh Negara tersebut diatas, kesemuanya diatur dalam hukum publik. Namun demikian, diantara
kelima cara perolehan hak oleh Negara tersebut diatas, disini penulis
hanya akan membahas khusus tentang
perolehan hak atas tanah oleh Negara melalui lembaga pencabutan hak atas
tanah.
Selanjutnya, hak
penguasaan atas tanah adalah suatu hubungan hukum konkret (biasanya disebut
“hak“, jika telah dihubungkan dengan tanah tertentu sebagai obyeknya dan orang
atau badan hukum tertentu sebagai subyek atau pemegang haknya.[6]
Sehubungan
dengan istilah ‘dikuasai” dan “dipergunakan” dalam UUPA, dengan mengutip
Notonagoro, Parlindungan (1990:31)[7]
menguraikan bahwa harus diperbedakan antara istilah “dikuasai” dan “diperguanakan”.
Artinya, istilah dipergunakan itu sebagai tujuan dari pada dikuasai, meskipun
kata penghubungnya “dan” hingga nampaknya itu sebagai 2 hal yang tidak ada
sangkut pautnya dalam hubungan sebab akibat. Dan pengertian dikuasai bukanlah
berarti dimiliki tetapi kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan diberikan
beberapa kewenangan yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.
Selanjutnya, Riawan Tjandra W.[8] menjelaskan mengenai bagaimana cara pemerintah memperoleh
benda-benda publiek domein dapat
dilakukan melalui :
1.
Cara hukum keperdataan
Yaitu
pemerintah melakukan perubahan status hukum dari benda-benda yang semula
dikuasai oleh orang atau badan hukum perdata menjadi publiek domein berdasarkan cara-cara peralihan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan dibidang hukum keperdataan, misalnya jual beli,
tukar menukar, sewa menyewa, atau menggunakan lembaga daluwarsa. Manakala
pemerintah bertindak menggunakan cara ini, pemerintah yang memiliki dual function bertindak dalam kapasitas
sebagai pelaku hukum perdata (civil
actor). Meskipun demikian, seringkali peratura-peraturan dibidang hukum
publik dalam batas tertentu dapat mempengaruhi tindakan hukum pemerintah
tersebut. Misalnya, menyangkut pembatasan penggunaan anggaran, tata cara
pengadaan (antara lain dengan menggunakan mekanisme tender), dan lain-lain.
Masyarakat seringkali lebih merasa diuntungkan apabila pemerintah melakukan
tindakan hukum untuk memperoleh benda-benda publiek
domein melalui cara-cara hukum perdata. Hal itu disebabkan antara lain
instrumen hukum perdata lebih memberikan jaminan perlindungan hukum bagi
masyarakat karena melalui prosedur kesepakatan instrumen hukum perdata lebih
lebih biasa dipergunakan dalam hubungan hukum antar warga masyarakat, dan
sebagainya.
2.
Melalui cara hukum publik
Yaitu pemerintah melakukan perubahan
status hukum dari benda-benda yang semula dikuasai oleh orang atau badan
hukum perdata menjadi publiek domein
berdasarkan cara-cara peralihan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
dibidang hukum publik. Cara tersebut dilakukan misalnya melalui pencabutan hak
atas tanah (onteigening), pembebasan
hak (prijsgeving), dan pelepasan hak.
Melalui cara ini, pemerintah bertindak dalam kapasitas sebagai penguasa (overhead) yang memiliki wewenang
menguasai yang bersumber dari hak menguasai Negara. Apabila pemerintah
menggunakan cara-cara hukum publik, harus diimbangi dengan sistem perlindungan
hukum yang memadai bagi rakyat baik secara preventif (melalui hak inspraak) mapun melalui secara represif
melalui perintah pencabutan beschikking
oleh pejabat atasan atau oleh pengadilan administrasi. Pengambilan hak-hak
individual untuk diubah menjadi publiek
domein harus dilakukan dengan kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan
kompensasi bagi rakyat tidak mengalami kerugian/penurunan kualitas
kesejahteraan hidup sebagai akibat perubahan status hak-hak individual menjadi publiek domein.
B. PENGATURAN TENTANG LEMBAGA PENCABUTAN HAK
ATAS TANAH OLEH NEGARA
Dalam melaksanakan fungsinya, aparat pemerintah mengadakan
hubungan-hubungan baik yang bersifat hubungan hukum maupun hubungan nyata
dengan sesama aparat Negara maupun pihak perseorangan baik yang berbentuk Badan
Hukum maupun manusia pribadi (individu). Dalam menjalin hubungan hukum inilah
terbentuk kegiatan-kegiatan atau aktifitas pemerintah yang berunsurkan
perbuatan-perbuatan aparat pemerintah (Bestuurshandeling).
Ada tiga (3) pendapat yang satu sama lain saling melengkapi
tentang perbuatan pemerintahan ini, yakni :
(1) Pendapat Van Vollenhoven (“Staatsrecht Overzee” halaman 25 dan seterusnya) yang menyatakan
bahwa “bestuuren” adalah “het spontaan en zelfstandig behartigen van
het belang van land en volk door hogere en legere overheden” (=pemeliharaan
kepentingan Negara dan rakyat secara spontan dan tersendiri oleh penguasa
tinggi atau rendah). “Spontaan” ialah
suatu perbuatan yang dilaksanakan segera atas prakarsa sendiri dalam menghadapi
keadaan dan keperluan yang timbul satu demi satu (individuele gevallen) yang termasuk dalam bidangnya demi
kepentingan umum. Sedangkan, perkataan “zelstandig”
dimaksudkan tidak perlu menunggu perintah atasan, dan semuanya itu atas
tanggungjawab sendiri.
(2) Roneyn berpendapat bahwa “bestuurshandeling” adalah tiap-tiap tindakan/perbuatan dari pada
satu alat perlengkapan pemerintahan (bestuurorgaan)
baik dalam lapangan Hukum Tata Pemerintahan mapun diluar Hukum Tata
Pemerintahan, misalnya keamanan, peradilan dan lain-lain yang bermaksud untuk
menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi.
(3) Komisi
Van Poelje (laporan pada tahun 1972) menyatakan “Publiekrechtelijke handeling” (tindakan dalam hukum publik) adalah
rechtshandeling door de overhead in haar
bestuursfuntie verricht” (tindakan hukum yang dilakukan oleh penguasa dalam
menjalankan fungsi pemerintahan. Selanjutnya, Van Poelje berpendapat bahwa
perbuatan pemerintahan itu merupakan manifestasi atau perwujudan “bestuur”.
Dari pengertian-pengertian tersebut, dapatlah
di analisa bahwa unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk suatu perbuatan
pemerintahan adalah :
a. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat
pemerintah baik dalam kedudukannya sebagai penguasa maupun sebagai alat
perlengkapan pemerintahan (bestuursorgaanen)
dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
b. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka
menjalankan fungsi pemerintahan;
c. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana
untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
d. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam
rangka pemeliharaan kepentingan Negara dan rakyat.[9]
Di dalam teori Hukum Administrasi Negara atau Hukum Tata Usaha
Negara, perbuatan/tindakan pemerintah dalam lapangan hukum publik, dibagi atas 2
(dua) macam perbuatan, yaitu : [10]
a)
Perbuatan
hukum publik bersegi satu (eenzijdge
publiek rechtelijke handeling);
Perbuatan ini dikatakan sepihak yaitu karena
adanya kehendak satu pihak yang dipaksakan, dan biasanya adalah kehendak
pemerintah. Sering juga disebut perbuatan unilateral atau vertikal, seperti
pencabutan hak atas tanah.
b)
Perbuatan
hukum bersegi dua (tweezijdge publiek
rechtelijke handeling).
Perbuatan ini dikatakan dua pihak karena
adanya pertemuan dua pihak, biasa dalam perbuatan bilateral atau horizontal.
Misalnya jual beli.
Menurut Prof.Muchsan,[11]
semua perbuatan pemerintahan yang berdasarkan hukum publik sejauh perbuatan itu
dilakukan oleh aparat pemerintah selaku penguasa, merupakan perbuatan bersegi
satu, sebab kedudukan antara penguasa dengan yang dikuasai tidak sejajar, akan
tetapi lebih merupakan hubungan hierarkhis. Sedangkan, perbuatan hukum yang
berdasarkan hukum publik yang dilakukan oleh aparat pemerintah selaku organ
dari pemerintah sebagai badan hukum (bestuursorganen) mungkin sekali
bersifat segi dua maupun segi satu, sebenarnya disini perbuatan tersebut
merupakan pengkhususan dari hukum perdata (privat).
Terkait dengan perolehan hak atas tanah oleh Negara melalui
lembaga pencabutan hak atas tanah merupakan perbuatan bersegi satu, maka
perbuatan pencabutan hak milik itu sendiri yang dilakukan oleh presiden sebagai
administrasi Negara tertinggi, merupakan perbuatan pemerintah yang bersegi satu, dan dikeluarkan dalam
bentuk “tertulis” berupa Surat Keputusan Presiden, berdasar atas wewenang
khusus (istimewa).[12] Lembaga pencabutan hak atas tanah yang
dimaksudkan adalah Undang-Undang No.20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas
Tanah Dan Benda-Benda Di Atasnya. Selanjutnya,
Adapun dasar
hukum pengaturan pencabutan hak atas tanah, diatur dalam Pasal 18 UUPA No.5 Tahun 1960, yang menyatakan bahwa:
“Untuk kepentingan
umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari
seluruh rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”.
Sehingga, undang-undang yang dimaksud
dalam Pasal 18 tersebut adalah UU No. 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak Atas
Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya. Selanjutnya, menurut ketentuan Pasal
1 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pedoman-Pedoman
Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya
berkaitan dengan kegiatan pembangunan demi kepentingan umum,
menentukan bahwa :
“Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan
pembangunan mempunyai sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut
menyangkut :
(1) Suatu kegiatan dalam rangka pelaksanaan Pembangunan mempunyai
sifat kepentingan umum, apabila kegiatan tersebut menyangkut :
a.
Kepentingan Bangsa dan
Negara, dan/atau
b.
Kepentingan masyarakat
luas, dan/atau
c.
Kepentingan rakyat
banyak/bersama, dan/atau
d.
Kepentingan Pembangunan
(2) Bentuk-bentuk kegiatan Pembangunan yang mempunyai sifat
kepentingan umum sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini meliputi bidang
bidang :
e.
Pertahanan;
f.
Pekerjaan Umum;
g.
Perlengkapan Umum;
h.
Jasa Umum;
i.
Keagamaan;
j.
Ilmu Pengetahuan dan
Seni Budaya;
k.
Kesehatan;
l.
Olahraga;
m. Keselamatan Umum terhadap bencana alam;
n.
Kesejahteraan Sosial;
o.
Makam/Kuburan;
p.
Pariwisata dan Rekreasi
q.
Usaha-usaha ekonomi yang
bermanfaat bagi kesejahteraan umum.
(3) Presiden dapat menentukan bentuk-bentuk kegiatan pembangunan
lainnya kecuali sebagai dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang menurut
pertimbangannya perlu bagi kepentingan umum”. [13]
Kalau kita
lihat rumusan tersebut diatas maka pengertian kepentingan umum sudah cukup
terperinci, sekalipun belum begitu tegas akan tetapi dengan adanya ketentuan
ayat (3) yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menentukan bentuk
kegiatan pembangunan sebagain suatu bentuk kepentingan umum, maka pengertian
kepentingan umum menjadi kabur kembali.
Menurut Abdurrahman,SH.,
diperlukan adanya suatu ketegasan tentang apa yang dimaksud dengan kepentingan
umum dalam undang-undang.[14] Senada
dengan hal tersebut, Prof.Muchsan,[15]
berpendapat bahwa perlu adanya undang-undang tentang kepentingan umum sehingga
terhadap pemenuhannya dapat terlaksana dengan baik, jika tidak maka akibatnya
pengertian kepentingan umum mempunyai makna luas menurut pemerintah.
Huybers[16]
dalam bukunya Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah mendefinisikan kepentingan
umum sebagai “kepentingan masyarakat sebagai kesuluruhan yang memiliki
ciri-ciri tertentu, antara lain memiliki perlindungan hak-hak individu sebagai
warga Negara dan menyangkut pengadaan serta pemeliharaan sarana publik dan
pelayanan publik”.
Kepentingan
umum dapat dijabarkan melalui dua cara. Pertama,
berupa pedoman umum yang menyebutkan bahwa pengadaan tanah dilakukan
berdasarkan alasan kepentingan umum melalui berbagai istilah. Karena berupa
pedoman, hal ini dapat mendorong eksekutif secara bebas menyatakan suatu proyek
memenuhi syarat kepentingan umum. Kedua,
penjabaran kepentingan umum dalam daftar kegiatan. Dalam praktek kedua cara itu
sering ditempuh secara bersamaan.
Adapun Jenis-Jenis Kepentingan Umum menurut ketentuan Pasal 5
Perpres 36/Tahun 2005 jo Perpres 65/Tahun 2006 antara lain :[17]
a. Jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang
atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran
pembuangan air dan sanitasi;
b. Waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya;
c. Pelabuhan, Bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;
d. Fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir,
lahar, dan lain-lain bencana;
e. Tempat pembuangan sampah;
f. Cagar alam, cagar budaya;
g. Pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik”.
Abdurrahman, SH.,[18] kemudian memberikan pengertian tentang apa
yang dimaksud dengan pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum adalah
merupakan “cara yang terakhir” untuk memperoleh tanah-tanah yang sangat
diperlukan guna keperluan tertentu untuk kepentingan umum, setelah berbagai
cara lain dengan jalan musyawarah dengan yang empunya tanah menemui jalan buntu
dan tidak membawa hasil sebagaimana yang diharapkan sedangkan keperluan untuk
penggunaan tanah dimaksud sangat mendesak sekali. Menurut Prof. Muchsan,[19]
pencabutan hak atas tanah adalah putusnya hubungan hukum antara tanah dengan
pemengang haknya yang dilakukan secara sepihak dengan pemberian ganti kerugian yang
layak. demi pemenuhan kepentingan umum.
Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat dijabarkan 4 (empat) unsur, yaitu:
a. Putusnya hubungan hukum antara tanah dengan
pemengang haknya. Maksudnya disini adalah hilangnya hak dan kewajiban atas tanah
dari pemilik tanah.
b. Adanya
perbuatan hukum sepihak. Artinya bahwa adanya perbuatan hukum yang dipaksakan
secara sepihak
dari pemerintah
tanpa perlu harus menunggu kesepakatan dari pihak
pemilik tanah/pihak lawan berbuat tidak diperhatikan.
c. Adanya pemberian
ganti kerugian yang layak. Terhadap adanya ganti kerugian, UU No.20 Tahun 1961
memberikan tiga (3) macam ganti kerugian yang sifatnya komulatif, antara lain :
a)
Ganti kerugian
terhadap harga tanah yang tercabut;
b)
Harga benda yang ada
diatasnya (benda diatas tanah);
c)
PEMUKTI (pemukiman
pengganti).
d)
Adanya kepentingan
umum yang dipenuhi. Maksudnya kepentingan umum menurut UU No.20 Tahun 1961,
yaitu kepentingan bangsa dan Negara, kepentingan pembangunan dan kepentingan
masyarakat banyak.
Untuk dapat melaksanakan pencabutan hak atas tanah, Undang-undang
No. 20 Tahun 1961 secara garis besarnya memuat dua (2) macam acara pencabutan
hak atas tanah dan/atau benda-benda yang ada di atasnya demi kepentingan umum,
yaitu acara yang biasa dan acara yang mendesak, antara lain:[20]
1.
Pencabutan Hak Menurut
Acara Biasa
1)
Menurut prosedur ini pihak yang meminta
agar diadakan pencabutan hak mengajukan pemohonan kepada Presiden Republik Indonesia
dengan perantaraan Menteri Dalam Negeri/Dir. Jenderal Agraria melalui Gubernur
KDH/Kepala Direktorat Agraria/Kepala Inspeksi Agraria setempat dengan disertai
:
1.
Rencana peruntukannya
dan alasan-asalannya bahwa untuk kepentingan umum harus dilakukan pencabutan
hak itu.
2.
Keterangan tentang
nama yang berhak (jika mungkin) serta letak, luas dan macam hak dari tanah yang
akan dicabut haknya serta benda-benda yang bersangkutan.
3.
Rencana penampungan
orang-orang yang haknya akan dicabut, itu kalau ada, juga orang-orang yang
menggarap tanah atau menempati rumah bersangkutan. (Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961)
2)
Setelah menerima
permhonan untuk pencabutan hak dimaksud maka kepala Direktorat Agraria segera meminta
kepada Bupati KDH yang bersangkutan untuk memberikan pertimbangan mengenai
permintaan pencabutan hak tersebut.
3)
Meminta kepada Panitia
Penaksir Ganti Rugi yang khusus diadakan untuk itu untuk memberikan taksiran
berapa ganti rugi yang harus dibayar terhadap tanah yang akan dicabut haknya
itu.
4)
Dalam waktu tiga (3)
bulan sejak diterimanya permintaan dari Kepala Direktorat Agraria tersebut
diatas para Bupati/Walikotamadya KDH itu sudah harus menyampaikan
pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan, begitu pula dengan Panitia Penaksir
harus sudah menyampaikan taksiran berapa ganti rugi yang harus dibayar kepada
pemilik tanah yang akan dicabut haknya itu.
5)
Kepala Direktorat Agraria/Kepala
Inspeksi Agraria setelah menerima pertimbangan dari Bupati/Walikotamadya
KDH dan taksiran harga ganti kerugian
yang harus dibayarkan atas nama Gubernur KDH, setelah itu disampaikan permohan
tersebut kepada Menteri Dalam Negeri cq. Direktorat Jenderal Agraria dengan
disertai pertimbangan-pertimbangannya sendiri, yang untuk selajutnya oleh
Menteri Dalam Negeri permohonan ini disampaikan kepada Presiden[21]
dengan disertai pertimbangan-pertimbangan serta pertimbangan dari Menteri
Kehakiman dan Menteri yang bidang tugasnya meliputi usaha si pemohon pencabutan
hak.
6)
Bilamana semua
persyaratan tersebut semuanya sudah terpenuhi dan presiden mengabulkan
permohonannya barulah pencabutan hak atas tanah untuk kepentingan umum
dilakukan dengan sebuah surat Keputusan Presiden. Dalam surat keputusan
tersebut dicantumkan pula mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi yang harus
dibayar kepada si pemilik tanah. SK.Presiden ini kemudian diumumkan didalam
Berita Negara Republik Indonesia dan turunannya disamapikan kepada pemilik
tanah yang dicabut haknya.
2.
Pencabutan Hak Dalam Keadaan Yang Mendesak
Dalam keadaan yang sangat mendesak yang memerlukan penguasaan
tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan dengan segera, maka pencabutan Hak
khususnya penguasaan tanah dan/atau benda-benda itu dapat diselenggarakan
melalui prosedur atau tatacara khusus yang lebih cepat.(Pasal 6 UU No.20 Tahun
1961), Keadaaan mendesak itu misalnya jika terjadi wabah atau bencana alam yang
memerlukan penampungan dengan segera, maka prosedurnya adalah :
1.
Dalam hal ini
permintaan untuk melakukan pencabutan hak diajukan oleh Kepala Direktorat
Agraria/Kepala Inspeksi Agraria atas nama Gubernur KDH atas permohonan yang
berkepentingan kepada Menteri Dalam Negeri, tanpa disertai taksiran ganti rugi
dari para panitian penaksir dan kalau perlu juga dengan tidak menunggu
diterimanya pertimbangan dari Bupati/Walikotamadya KDH yang bersangkutan.
2.
Menteri Dalam Negeri dapat
memberikan perkenan kepada yang bersangkutan untuk menguasai tanah dan/atau
benda-benda yang bersangkutan. Keputusan penguasaaan tersebut akan diikuti
dengan Keputusan Presiden mengenai dikabulkannya atau ditolaknya permintaan
untuk melakukan pencabutan hak ini. Keputusan Presiden tersebut harus dimuat
dalam Berita Negara R.I.
Sehubungan
dengan pencabutan hak atas tanah, dikatakan oleh Perangin (1991:46),[22] sesuai
dengan ketentuan, bahwa pencabutan hak hanya dilakukan demi kepentingan umum
dan hanya dalam keadaan memaksa sebagai jalan yang terakhir. Maka walaupun
acara pencabutan hak sudah dimulai, bahkan sudah ada surat keputusan pencabutan
haknya sekalipun jika kemudian dapat dicapai persetujuan dengan yang empunya
untuk menyelesaikan soalnya dengan cara jual beli, tukar menukar, atau
pembebasan hak, cara itulah yak akhirnya harus ditempuh. Sehubungan dengan itu
ditentukan pula, bahwa jika telah dilakukan pencabutan hak tetapi kemudian
ternyata bahwa tanah dan/atau benda-benda yang bersangkutan tidak dipergunakan
sesuai dengan rencana semula yang mengharuskan dilakukannya pencabutan hak itu,
maka para bekas pemiliknya diberi prioritas utama untuk mendapatkannya kembali.
Pencabutan hak
atas tanah untuk kepentingan umum merupakan suatu cara terakhir untuk
memperoleh tanah yang sangat diperlukan guna keperluan-keperluan tertentu untuk
kepentingan umum, yaitu setelah dilakukan berbagai cara, tidak membawa hasil sebagaimana
diharapkan, sedangkan keperluan untuk pembangunan tanah yang dimaksud sangat
mendesak sekali.[23]
Sehubungan dengan hal tersebut, maka inilah prinsip dasar yang menyebabkan
lahirnya undang-undang pencabutan hak atas tanah selama ini jika pemerintah
memerlukan tanah untuk kepentingan umum, terlebih dahulu diusahakan agar tanah
itu dapat diperoleh dengan persetujuan pemiliknya dengan cara jual beli,
tukar-menukar. Akan tetapi, cara demikian tidak selalu dapat memberikan hasil
yang diharapkan, karena pemilik tanah meminta harga yang terlampau tinggi ataupun
tidak bersedia sama sekali melepaskan tanahnya yang diperlukan pemerintah. Oleh
karena kepentingan umum harus didahulukan dari pada kepentingan perorangan,
maka jika tindakan yang dimaksudkan benar-benar untuk kepentingan umum, dalam
keadaan memaksa, jika musyawarah tidak memberikan hasil yang diharapkan, harus
ada wewenang pemerintah untuk mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan.[24]
Pada umumnya
pencabutan hak ini diadakan guna keperluan usaha-usaha Negara naik dalam
pemerintah pusat maupun untuk pemerintah daerah, tetapi menurut Penjelasan UU
No.20 Tahun 1961 sebagai pengecualian pencabutan hak juga dapat dilakukan untuk
pelaksanaan usaha swasta asalkan usaha tersebut benar-benar untuk kepentingan
umum[25]
dan tidak mungkin diperoleh tanah yang diperlukan melalui persetujuan dengan
yang empunya tanah. Sudah barang tentu usaha swasta tersebut harus disetujui
oleh pemerintah dan sesuai pula dengan pola Rencana Pembangunan Nasional. Akan
tetapi hak yang demikian kadang-kadang banyak mengalami kesulitan, umpanya
apakah pihak swasta yang ingin membangun suatu proyek parawisata dapat dianggap
sebagai untuk kepentingan umum karena dengan adanya proyek itu akan banyak
menarik para wisatawan sehingga dapat meningkatkan income (pendapatan) pemerintah baik pusat maupun daerah, sehingga
guna keperluan tersebut dapat diadakan pencabutan hak.[26]
Namun, menurut Prof.Muchsan,[27]
jika di analisis maka terhadap UU No.20 Tahun 1961 memiliki beberapa keunggulan
dan kelemahan, antara lain :
o Keunggulan
UU No.20 Tahun 1961, yaitu :
(1)
Pencabutan hak atas
tanah merupakan kewenangan presiden;
(2)
Ditetapkannya Panitia
Pencabutan Hak Atas Tanah;
(3)
Adanya PEMUKTI
(pemukiman pengganti); serta
o Kelemahan
UU No.20 Tahun 1961, yaitu :
(1)
Merupakan perbuatan
sepihak, dimana hanya kehendak pemerintah yang dipaksakan;
(2)
Pengertian kepentingan
umum yang tidak menjamin kepastian hukum;
(3)
Tidak dapat
menyediakan upaya hukum yang dapat digunakan oleh pemegang hak atas tanah,
dalam arti pemegang hak atas tanah tidak dapat mengajukan upaya hukum untuk
menolak pencabutan hak atas tanah oleh pemerintah. Mengenai keberatan[28]
atas pencabutan hak atas tanah dapat mengajukan Gugatan ke Pengadilan Tinggi
untuk pertama dan terakhir kali. Gugatan tersebut bersifat Perdata karena
perbuatannya merupakan Perbuatan Melawan Hukum sesuai dengan Pasal 1365 Burgelijk
Wetboek (BW). Lebih jauh mengenai gugatan terhadap keberatan yang timbul dari
pencabutan hak atas tanah diatur dalam Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun
1973 Tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan
Dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya. Dalam
PP No.39 Tahun 1973, disebutkan gugatan ganti kerugian hanya diajukan langsung ke
Pengadilan Tinggi, dan putusan Pengadilan Tinggi merupakan putusan final. Timbul
permasalahan, dimana PP No.39 Tahun 1973 ini jika di uji maka akan bertentangan
dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman, alasannya :
a.
Karena jenjang upaya
hukum dalam PP No.39 Tahun 1973 cuma sekali, yaitu langsung mengajukan upaya
hukum banding ke Pengadilan Tinggi
tentang ganti kerugian.
b.
Terhadap Keputusan TUN
yang dikeluarkan dapat diajukan keberatan administrasi, namun PP No.39 Tahun
1973 menutup kemungkinan terhadap hal tersebut.
c.
PP No.39 Tahun 1973
seperti tidak ada kekuatan berlakunya.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas,
maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :
Bahwa secara
yuridis terhadap perolehan hak atas tanah oleh negara melalui lembaga
pencabutan hak atas tanah diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya
merupakan suatu cara terakhir untuk memperoleh tanah yang
sangat diperlukan guna keperluan-keperluan tertentu untuk kepentingan umum,
yaitu setelah dilakukan berbagai cara, tidak membawa hasil sebagaimana
diharapkan, sedangkan keperluan untuk pembangunan tanah yang dimaksud sangat
mendesak sekali.
Bahwa Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah harus diutamakan demi kepentingan umum dari pada kepentingan orang perorang, maka jika tindakan
pencabutan hak atas tanah yang dimaksudkan itu memang benar-benar untuk
kepentingan umum, dalam keadaan memaksa yaitu jika jalan musyawarah tidak dapat
membawa hasil yang diharapkan, haruslah ada wewenang pada pemerintah untuk bisa
mengambil dan menguasai tanah yang bersangkutan.
Seperti yang telah disampaikan
Prof.Muchsan, bahwa terhadap UU No.20 Tahun 1961 masih memiliki beberapa
kelemahan, antara lain :
1.Merupakan
perbuatan sepihak, dimana hanya kehendak pemerintah yang dipaksakan;
2.Pengertian
kepentingan umum yang tidak menjamin kepastian hukum
3.Tidak dapat
menyediakan upaya hukum yang dapat digunakan oleh pemegang hak atas tanah
Bahwa masih
terdapat beberapa peraturan pelaksana yang memiliki kelemahan sehingga memungkinkan
sulitnya pelaksanaan terhadap peraturan tersebut, misalnya seperti gugatan terhadap keberatan yang timbul
dari pencabutan hak atas tanah yang telah diatur dalam Peraturan pemerintah
Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973
B. SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan
diatas, maka dapat
dikemukakan beberapa saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut
:
Bahwa pemerintah perlu mengatur sebuah lembaga musyawarah yang berperan untuk mengadakan pendekatan
kepada pihak pemilik tanah yang akan dicabut haknya atas tanah, dimana tidak hanya untuk menetapkan besarnya ganti
rugi, akan tetapi bagaimana ganti rugi itu sesuai dengan rasa keadilan dalam
masyarakat, serta menjamin adanya perlindungan hukum yang baik terhadap hak-hak
warga.
Bahwa pemerintah perlu membuat suatu undang-undang tentang
kepentingan umum, untuk mencegah kesewenang-wenangan akibat meluasnya
penafsiran kepentingan umum sebagai alasan perolehan hak atas tanah oleh
Negara.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku :
Abdurrahman.,
Masalah Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan
Pembebasan Tanah Di Indonesia-Seri Hukum Agraria I, Cetakan Kedua, Alumni, Bandung, 1983
Hadjon
Philipus. M et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan
Kedua, Gadjah Mada University Press
Yogyakarta, 1993
Harsono
Boedi., Hukum Agraria Indoensia: Sejarah
Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I
Cet. 9, Djambatan, Jakarta, 2003
MD Moh.Mahfud
& Marbun SF., Pokok-Pokok Hukum Administrasi
Negara, Liberty, Yogyakarta, Cetakan Keempat 2006
Muchsan., Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi
Negara Dan Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,
1981
________., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha
Negata, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta,
2012
Roosadijo
Marimin M., Tinjauan Pencabutan Hak-Hak
Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, Cetakan I, Ghalia
Indonesia, Jakarta,1979
Rubaie H.
Achmad., Hukum Pengadaan Tanah Untuk
Kepentingan Umum, Cetakan I, Bayumedia Publishing, 2007
Sumardjono
Maria S.W., Kebijakan Pertanahan Antara
Regulasi Dan Implementasi, Cetakan Ketiga, Penerbit Buku Kompas, Jakarta,
2005
Sutedi
Adrian., Implementasi Prinsip Kepentingan
Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Cetakan Kedua, Sinar Gragika,
Jakarta, 2008
Tjandra W.
Riawan., Hukum Administrasi Negara, Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008
Zamzuri., Tindak
Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta, 1985
B. Peraturan
Perundang-Undangan :
Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1961 Tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah
Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1973 Tentang Acara
Penetapan Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya
Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
C. Instruksi
Presiden :
Instruksi
Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan
Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Diatasnya
[1]
Rubaie H. Achmad., Hukum Pengadaan Tanah
Untuk Kepentingan Umum, Cetakan I, Bayumedia Publishing, 2007, hlm.1-2
[2]
MD Moh.Mahfud & Marbun SF., Pokok-Pokok
Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, Cetakan Keempat 2006, hlm.147
[3]
Hadjon Philipus. M et.al., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan
Kedua, Gadjah Mada University Press Yogyakarta,
1993, hlm.183
[4]
Rubaie H. Achmad., Hukum Pengadaan Tanah..,Op.cit.
hlm.5
[5]
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan
Hukum Tata Usaha Negata, Program Pasca Sarjana Magister Hukum
Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012
[6] Harsono Boedi.,
Hukum Agraria Indoensia: Sejarah
Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I
Cet. 9, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.25
[7]
Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi
Negara, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hlm.109
[8]
Ibid, hlm. 92-93
[9]
Muchsan., Beberapa Catatan Tentang Hukum
Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm.17-19
[10]
lihat : Zamzuri., Tindak
Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta, 1985, hlm.15
[11]
Muchsan., Beberapa Catatan Tentang..,
Op.cit, hlm.20-21
[12]
Roosadijo Marimin M., Tinjauan Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya, Cetakan I, Ghalia
Indonesia, Jakarta,1979, hlm.24
[13]
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1973 Tentang
Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang
Ada Diatasnya
[14]
Abdurrahman., Masalah Pencabutan Hak-Hak
Atas Tanah Dan Pembebasan Tanah Di Indonesia-Seri Hukum Agraria I, Cetakan
Kedua, Alumni, Bandung, 1983, hlm.41
[15]
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan..,Op.cit.
[16]
Sumardjono Maria S.W., Kebijakan
Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, Cetakan Ketiga, Penerbit Buku
Kompas, Jakarta, 2005, hlm.107
[17]Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden Nomor
65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum sebagaimana telah menggantikan Keppres No.55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
[18]
Abdurrahman., Masalah Pencabutan Hak-Hak..,Op.cit,
hlm.37
[19]
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan..,Op.cit.
[20]
Abdurrahman., Masalah Pencabutan
Hak-Hak..,Op.cit, hlm.46-50
[21]
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
20 Tahun 1961, yang berbunyi:
“Pemintaan untuk melakukan pencabutan hak atas
tanah dan/atau benda tersebut pada Pasal 1 diajukan oleh yang berkepentingan
kepada Presiden dengan perantaraan Menteri Agraria, melalui Kepala Inspeksi
Agraria yang bersangkutan.”
[22]
Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi..,Op.cit,
hlm.117
[23]
Sutedi Adrian., Implementasi Prinsip
Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Cetakan Kedua,
Sinar Gragika, Jakarta, 2008, hlm.87
[24]
Ibid, hlm.88
[25] Aparat Pemerintah dalam menjalankan
fungsinya, dalam Teori Hukum Tata Usaha Negara dibagi atas dua fungsi, yaitu
pertama, fungsi memerintah (bestuuren funtie); kedua, fungsi pelayanan
(verzogen funtie). Berkaitan dengan fungsi pelayanan oleh Aparat Pemerintah,
maka ada tiga alternatif yang tersedia :
1. Aparat Pemerintah tampil sendiri;
2. Aparat Pemerintah dan swasta yang tampil;
dan
3. Pihak swasta yang tampil sendiri.
[26]
Abdurrahman., Masalah Pencabutan
Hak-Hak..,Op.cit, hlm.42-43
[27]
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan..,Op.cit
[28]
Keberatan
yang dimasud adalah terhadap
keputusan mengenai jumlah ganti kerugian yang tidak dapat diterima karena dianggap
kurang layak, sehubungan dengan pencabutan hak-hak atas tanah dan bendabenda
yang ada diatasnya (Lihat, Pasal 1 PP No.39 Tahun 1973). Hal tersebut
dikarenakan, menurut Prof.Muchsan, perumusan kata “layak” dalam UU No.20 Tahun
1960 diartikan sebagai “perbuatan sepihak dari pemerintah”, yang berarti
pemerintah sendiri yang berhak menentukan jumlah nilai perhitungan kerugian yang harus diberikan kepada pihak
yang dikenai pencabutan hak atas tanah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar