Jumat

FUNGSI PENGAWASAN POLITIK DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Manusia sebagai mahluk sosial hanya dapat mewujudkan kehidupannya dalam kebersamaan dengan orang lain dengan menjamin kehidupan bersama serta memberi tempat bagi orang per orang dan kelompok untuk mempertahankan diri dan memenuhi kebutuhan hidupnya dalam rangka mencapai tujuan bersama. Untuk itu diperlukan hukum yang mengatur sehingga konflik kepentingan dapat dicegah, dan tidak menjadi konflik terbuka, yang semata – mata diselesaikan atas dasar kekuatan atau kelemahan pihak-pihak yang terlibat.
Dengan tidak adanya lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang memuat arah untuk mencapai tujuan bernegara yang ditentukan, maka politik hukum yang menyangkut rencana pembangunan materi hukum di Indonesia pada saat ini termuat di dalam program legislasi nasional (Prolegnas), artinya kalau kita ingin mengetahui pemetaan atau potret rencana tentang hukum-hukum apa yang akan dibuat dalam periode tertentu sebagai politik hukum maka kita dapat melihatnya dari prolegnas tersebut. Prolegnas ini disusun oleh DPR bersama Pemerintah yang dalam penyusunannya dikordinasikan oleh DPR. Bahwa DPR yang mengkoordinasikan penyusunan prolegnas ini merupakan konsekuensi logis dari hasil amandemen pertama UUD 1945 yang menggeser penjuru atau titik berat pembentukan Undang-Undang dari pemeirntah ke DPR. Seperti diketahui bahwa Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen pertama berbunyi, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Bahwa prolegnas merupakan wadah politik hukum (untuk jangka waktu tertentu) dapat dilihat dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dalam Pasal 16 menggariskan bahwa, “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas”. Sedangkan untuk setiap daerah, sesuai dengan Pasal 32 (Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi)  dan Pasal 39 (Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota) UU No.12 Tahun 2011, digariskan juga untuk membuat program legislasi daerah (Prolegda) agar tercipta konsistensi antar berbagai peraturan perundang-undangan dari tingkat pusat sampai ke daerah. Kemudian dari prolegnas inilah kita dapat melihat setiap jenis undang-undang yang akan dibuat untuk jangka waktu tertentu sebagai politik hukum.
Prolegnas merupakan potret politik hukum nasional yang memuat tentang rencana materi dan sekaligus merupakan instrumen (mekanisme) pembuat hukum. Sebagai materi hukum Prolegnas dapat dipandang sebagai potret rencana isi atau substansi hukum, sedangkan instrumen Prolegnas dapat dipandang sebagai pengawal/pengawas dalam pembentukan hukum nasional.

B.     PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Fungsi Pengawasan Politik Dalam Pembentukan Hukum Naional ?”
  

BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN
Kata pengawasan menurut Henry Fayol sebagaimana dikutip Ni’matul Huda adalah “control consist in verifying whether everything occur in conformity with the plan adopted, the instruction issued and principles establish. It has objected to point out weaknesses and errors in order to reactivity them and prevent recurrence. It operates everything, people action” (Pengawasan terdiri dari pengujian apakah segala sesuatu berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditentukan dengan instruksi yang telah digariskan. Ia bertujuan untuk menunjukkan (menentukan) kelemahan-kelemahan dan kesalahan-kesalahan dengan maksud untuk memperbaikinya dan mencegah terulangnya kembali.[1] Menurut Prayudi, pengawasan adalah proses kegiatan-kegiatan yang yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan. Hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai dimana terdapat kecocokan atau ketidakcocokan, dan apakah sebab-sebabnya.[2]
Untuk menjaga agar kaidah-kaidah konsitusi yang termuat dalam Undang-Undang Dasar dan peraturan perundang-undangan konstitusional lainnya tidak dilanggar atau disimpangi (baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk tindakan-tindakan pemerintah lainnya), perlu ada badan serta tata cara mengawasinya. Dalam literatur yang ada terdapat tiga kategori besar pengujian peraturan perundang-undangan (dan perbuatan administrasi negara), yaitu:
  1. Pengujian oleh badan peradilan (judicial review);
  2. Pengujian oleh badan yang sifatnya politik (political review); dan
  3. Pengujian oleh pejabat atau badan administrasi negara (administrative review).[3]
Adapun fungsi pengawasan secara umum dapat mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi prefentif dan fungsi represif. Yang dimaksud dengan fungsi prefentif adalah pengawasan yang dilakukan sebalum ada kejadian dalam arti lain tindakan ini bisa disebut dengan tindakan berjaga-jaga atau pencegahan. Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan represif, yaitu tindakan yang dilakukan setelah adanya kejadian, dalam kata lain tindakan ini dapat diserbu dengan tindakan pemerintah sebagai wujud dari kedaulatan rakyat mempunyai tugas untuk melaksanakan terhadap amanah yang telah embannya, namun bagaimanapun subjek pemerintah dalam hal ini aparatur pemerintah tidaklah mutlak untuk senantiasa melaksanakan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kelemahan yang dimiliki oleh personal yang menjalankan. Oleh karena itu perlu adanya suatu lembaga yang dapat mengawasi segala bentuk aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah. lembaga yang mempunyai peran penuh (full power) didalam menjalankan pengawasan adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini tercantum dalam Pasal 20 A UUD 1945 yang berbunyi; “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan” dan dipertegas dengan Pasal 21 yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Dalam bunyi kedua Pasal tersebut, disebut secara ekplisit terutama Pasal 21, dengan demikian DPR mempunyai fungsi pengawasan terhadap proses dari suatu rancangan perundang-undangan, sehingga meminimalisir tindakan-tindakan yang bersifat menyimpang, oleh karena itu perlu adanya perencanaan, pelaksanaan serta hasil dari suatu program pemerintah.

 B.     TAHAP PERENCANAAN DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL
Terkait dengan tahapan awal (tahap perencanaan) didalam pembuatan kebijakan Prof. Budi winarto[4] merumuskan tiga tahapan, yaitu: Pertama, perumusan masalah (defining problem). Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah masyarakat harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula. Kedua, agenda kebijakan, yaitu bagaimana masalah tersebut mendapatkan perhatian para pengambil kebijakan ditingkat pemerintah, dengan cara memenuhi persyaratan-persyaratannya. Ketiga, pemilihan alternatif kebijakan untuk memecahkan masalah. Biasanya dalam tahap ini para perumus suatu kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antar berbagai actor yang terlibat dalam perumusan kebijakan. Keempat, tahap penetapan kebijakan, setelah melalui beberapa tahapan-tahapan diatas maka yag terakhir dalam tingkatan ini adalah tahap penetapan kebijakan tersebut, supaya memiliki kekuatan hukum. Penetapan kebijakan publik disini dapat berbentuk Undang-Undang, Yurisprudensi, Keputusan presiden, keputusan-keputusan menteri dan lain sebagainya. Dalam proses perencanaan ini, lembaga pemerintah mempunyai instrumen dasar didalam merumuskan program-program yang akan dilakukannya baik yang berupa jangka pendek atau jangka panjang, yaitu melaluli Program Legislasi Nasional (Prolegnas), adapun yang berwenang untuk menentukan komposisi lembaga ini adalah presiden bersama Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Ditingkat daerah dikenal dengan Program Legislasi Daerah (Prolegda).

§  Dasar Pertimbangan Penyusunan Prolegnas
1. Landasan Filosofis
Pembentukan undang-undang yang terencana, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh melalui Prolegnas diharapkan dapat mengarahkan pembangunan hukum, mewujudkan konsistensi peraturan undang-undang, serta meniadakan pertentangan antara undang-undang yang ada (vertikal maupun horizontal) yang bermuara pada terciptanya hukum yang dapat melindungi hak-hak warga negara dan dapat menjadi sarana untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Proses pembentukan undang-undang memberikan arah dan pedoman bagi terwujudnya cita-cita kehidupan bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Landasan Sosiologis
Salah satu tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sebagai perwujudan hukum, pembentukan undang-undang harus sesuai dengan nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sekalipun memang tidak mungkin semua nilai yang ada di dalam masyarakat dimuat dalam suatu undang-undang.
Adapun wujud dari penempatan rakyat sebagai subyek dalam legislasi adalah pelibatan masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang. Artinya pembentukan undang-undang harus dilakukan secara transparan, partisipatif, dan demokratis sehingga masyarakat dapat terlibat dalam lahirnya suatu undang-undang. Dalam rangka mendapatkan gambaran kebutuhan hukum dalam masyarakat, perencanaan Prolegnas Tahun 2010 – 2014 meminta masukan dari berbagai kalangan masyarakat yang meliputi kalangan akademisi, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat, kalangan pelaku usaha, lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan petani, nelayan, pekerja dan unsur masyarakat lainnya. Dengan disusunnya Prolegnas diharapkan dapat dihasilkan kebijakan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat, mengandung perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia, serta mempunyai daya guna yang efektif dalam masyarakat.
3. Landasan Yuridis
Prolegnas sebagai instrumen perencanaan pembangunan hukum tidak terlepas dari upaya pengembangan dan pemantapan sistem hukum nasional. Prolegnas sebagai instrumen perencanaan pembentukan undang-undang semakin penting jika dikaitkan dengan fungsi dan kedudukan DPR sebagai pembentuk undang-undang sebagaimana ditegaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Konstitusi kita telah mengamanatkan perlunya penataan sistem hukum nasional yang dilakukan secara menyeluruh dan terpadu yang didasarkan pada cita-cita Proklamasi dan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3), yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum harus menjunjung tinggi supremasi hukum, mengakui persamaan kedudukan di hadapan hukum dan menjadikan hukum sebagai landasan operasional dalam menjalankan sistem penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Upaya membangun sistem hukum nasional, tidak dapat dilepaskan dari kerangka fungsi legislasi yang telah diatur secara jelas dan tegas dalam konstitusi. Sesuai ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, DPR merupakan pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang. Hal ini merupakan perubahan mendasar, karena menempatkan DPR sebagai pelaku sentral dalam pembentukan undang-undang.
Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan  mengatur bahwa ”Program legislasi nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis”. Dengan demikian Program Legislasi Jangka Menengah dapat berarti instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis selama 5 (lima) tahun. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan berdasarkan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.[5]
§  Maksud Penyusunan Prolegnas, yaitu :

1.      Memberikan landasan perencanaan dan arahan yang sistematis dan berkelanjutan terhadap pembangunan jangka menengah yang berlandaskan kemampuan nasional dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mewujudkan masyarakat adil makmur.

2.      Mengintegrasikan pembangunan nasional di bidang hukum secara spesifik diarahkan pada pembenahan dan penguatan sistem hukum nasional yang didasarkan pada konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tuntutan reformasi, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi;

3.      Meningkatkan sinergi antarlembaga yang berwenang membentuk undang-undang di tingkat pusat.
§  Tujuan Penyusunan Prolegnas
  1. Mewujudkan negara hukum yang adil dan demokratis melalui pembangunan sistem hukum nasional dengan membentuk undangundang yang aspiratif dan progresif, serta berasaskan kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan demi terwujudnya kemandirian bangsa;
  2. Mewujudkan supremasi hukum yang berlandaskan pada rasa keadilan dan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat yang demokratis;
  3. Mewujudkan penyempurnaan substansi hukum yang tidak sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat yang demokratis; dan
  4. Mewujudkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang diharapkan mampu membawa perubahan menuju masyarakat demokratis dan berkeadilan, serta berorientasi pada pengaturan perlindungan hak – hak asasi manusia dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan jender.[6]


C.    TAHAP PALAKSANAAN DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL
Prosedur penyusunan peraturan perundang-undangan, selain sebagian ditentukan dalam UU No. 12 Tahun 2011, secara rinci juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan Presiden Nomor 68 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Ran-perpu, Ran-PP, dan Ran-Perpres. Dalam Perpres 61 ditentukan bahwa penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dikoordinasikan oleh Badan Legislasi sedangkan penyusunan Prolegnas dilingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri (Menteri Hukum dan HAM). Dalam rangka pembentukan hukum tertulis yang sinkron antara kepentingan DPR dan pemerintah, semestinya hasil penyusunan Prolegnas yang dilakukan dilingkungan DPR-RI dan Pemerintah disinergikan dengan memperhatikan konsepsi RUU yang meliputi:
1.      Latar belakang dan tujuan penyusunan;
2.      Sasaran yang akan diwujudkan;
3.      Pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; dan
4.      Jangkauan dan arah pengaturan.
Terkait dengan penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah, Menteri/Kepala Bappenas meminta kepada menteri lain dan pimpinan LPND mengenai perencanaan pembentukan RUU di lingkungan instansinya masing-masing sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya. Penyampaian perencanaan pembentukan RUU tersebut harus disertai dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini menteri lain atau pimpinan LPND perlu menyertakan naskah akademis, agar semua pihak dapat memahami urgensi pengusulan rencana pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut. Menteri Hukum dan HAM yang berwenang melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dengan penyusun perencanaan (pemrakarsa) bersama-sama dengan menteri lain dan pimpinan LPND yang terkait dengan substansi RUU. Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi dengan:

a.       Falsafah negara;

b.      Tujuan nasional berikut aspirasi yang melingkupinya;

c.       UUD Negara RI Tahun 1945;

d.      Undang-undang lain yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya;

e.       Kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dengan RUU tersebut.[7]
Implementasi upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dilaksanakan melalui forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh Menteri/Kepala Bappenas. Dalam hal konsepsi RUU yang diajukan disertai dengan naskah akademis, maka naskah akademis
dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi. Dalam forum konsultasi tersebut, dapat diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi, atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Konsepsi RUU yang telah memperoleh pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Presiden agar dapat menjadi bagian dari Prolegnas usulan Pemerintah sebelum dikoordinasikan dengan DPR-RI. Dalam hal Presiden memandang perlu kejelasan lebih lanjut terhadap konsepsi RUU, Presiden menugaskan Menteri untuk mengkoordinasikan kembali konsepsi RUU dengan penyusun perencanaan dan menteri lain atau pimpinan LPND yang terkait. Hasil koordinasi tersebut oleh Menteri dilaporkan kembali kepada Presiden. Untuk selanjutnya Menteri menyampaikan hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah kepada DPR-RI melalui Badan Legislasi dalam rangka sinkronisasi dan
harmonisasi Prolegnas. Demikian pula sebaliknya terhadap hasil penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR-RI dikonsultasikan kepada pemerintah dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU. Jika penyusunan Prolegnas dilakukan secara cemat dan matang akan membawa kemudahan dalam penyusunan peraturan perundang – undangan.[8] Terhadap penyusunan RUU yang dilakukan pemrakarsa berdasarkan usulan RUU dalam Prolegnas, tidak diperlukan lagi adanya persetujuan izin prakarsa dari Presiden. Pemrakarsa cukup melaporkan penyiapan dan penyusunan RUU kepada Presiden secara berkala. Berbeda halnya jika Pemrakarsa mengajukan usul RUU di luar Prolegnas hanya karena alasan “dalam keadaan tertentu”, maka pemrakarsa terlebih dahulu harus mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU yang meliputi:
a.       Urgensi dan tujuan penyusunan;
b.      Sasaran yang ingin diwujudkan;
c.       Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
d.      Jangkauan serta arah pengaturan.
Keadaan tertentu di atas meliputi: (a) menetapkan Perpu menjadi UU; (b) meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c) mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; (d) keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Baleg dan Menteri. Dengan adanya ketentuan seperti ini, keinginan DPR-RI dan Pemerintah untuk meratifikasi konvensi atau penjanjian internasional setiap saat bisa dilakukan. Dalam proses pembahasan (baik antardep maupun di DPR) lebih mudah dibandingkan dengan penyusunan RUU biasa karena substansinya hanya 2 Pasal. Dalam mempersiapkan RUU, sebagaimana dilakukan selama ini, pengaturan dalam Perpres 68 ditentukan mengenai pembentukan panitia antadepartemen dan pemrakarsa dapat mempersiapkan naskah akademisnya terlebih dahulu. Dalam rapat antardepartemen, pemrakarsa dapat mengundang pakar baik dari perguruan tinggi maupun pihak lainnya. Setelah RUU selesai dibahas, pemrakarsa diberikan kesempatan untuk mengadakan sosialiasi kepada masyarakat (sebagai asas keterbukaan) untuk mendapatkan masukan atas substansi RUU.
Jika proses ini dapat dilakukan secara jelas dan taat asas, dengan sendirinya dapat mengurangi terjadinya inkonsistensi peraturan perundang-undangan yang selama ini sangat mewarnai kondisi hukum tertulis di Indonesia. Ketaataan pembentukan hukum di tingkat pusat ini memegang peran penting dalam rangka menata hukum nasional karena sejalan dengan asas hukum bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, dapat dengan mudah diterapkan. Problem yang terjadi saat ini peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dengan sendirinya dibatalkan padahal peraturan perundang-undangan di tingkat pusat belum terbentuk secara harmonis dan konsisten.[9]


D.    PROGRAM LEGISLASI DAERAH: KORELASINYA DENGAN PROLEGNAS
Mengingat peranan Peraturan Daerah yang demikian penting dalam penyelenggaraan otonomi daerah, maka penyusunannya perlu diprogramkan, agar berbagai perangkat hukum yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan otonomi dapat dibentuk secara sistematis, terarah dan terencana berdasarkan skala prioritas yang jelas. Dasar hukum Prolegda tercantum dalam Pasal 32 yang menentukan: “Perencanaan Penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah Provinsi” dan Pasal 39 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang menentukan: “Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota”. Prolegda dimaksudkan untuk menjaga agar produk peraturan perundang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011, Prolegda adalah instrumen perencanaan pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Secara operasional, Prolegda memuat daftar Rancangan Peraturan Daerah yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu sebagai bagian integral dari sistem perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis, dalam sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945. Prolegda merupakan pedoman dan pengendali penyusunan Peraturan Daerah yang mengikat lembaga yang berwenang membentuk Peraturan Daerah.
Menurut Oka Mahendra, ada beberapa alasan obyektif perlunya Prolegda yaitu untuk :

1. Memberikan gambaran obyektif tentang kondisi umum mengenai “permasalahan pembentukan Peraturan Daerah”;

2. Menetapkan skala prioritas penyusunan rancangan Peraturan Daerah untuk jangka panjang, menengah atau jangka pendek

3. Menjadi pedoman bersama dalam pembentukan Peraturan Daerah;

4. Menyelenggarakan sinergi antar lembaga yang berwenang membentuk Peraturan Daerah;

5.Mempercepat proses pembentukan Peraturan Daerah dengan memfokuskan kegiatan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah menurut skala prioritas yang ditetapkan;
6.Menjadi sarana pengendali kegiatan pembentukan Peraturan Daerah.
Walaupun UU No. 12 Tahun 2011 dan UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan perlunya Prolegda, namun tidak ditentukan mekanisme penyusunan Prolegda. Pedoman penyusunan Prolegda saat ini diatur dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah. Keputusan Menteri Dalam Negeri yang ditetapkan pada tanggal 26 Agustus 2004 merupakan diskresi yang dibuat dengan pertimbangan:
1.      Penyusunan peraturan perundang-undangan daerah belum diprogramkan sesuai dengan kewenangan daerah, sehingga dalam penerbitan peraturan perundang-undangan daerah tidak sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat;
2.      Dalam rangka tertib administrasi dan peningkatan kualitas penyusunan peraturan perundang-undangan di daerah.
Jika dicermati substansi Kepmen belum mampu mengatur secara jelas mekanisme dan prosedur serta pertanggungjawaban penyusunan Prolegda dalam rangka manajemen pembentukan peraturan di daerah yang dapat mendorong terwujudnya RPJPD dan RPJMD. Secara garis besar ketentuan pengaturan tersebut sangat sumir dan normatif hanya menentukan kelembagaan yang bertanggung jawab terhadap Prolegda di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.[10]
 Selain itu, Ketika berlaku UU No. 32 Tahun 2004, Pemerintah mulai melakukan koreksi terhadap UU No. 22 Tahun 1999 dengan menerapkan empat model pengawasan terhadap produk hukum daerah. Pertama, executive preview, yakni terhadap rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Kedua, executive review (terbatas), yakni apabila hasil evaluasi Raperda tentang APBD dan rancangan Peraturan Gubernur/Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD dinyatakan bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak ditindaklanjuti oleh Gubernur/Bupati/Walikota bersama DPRD dan Gubernur/Bupati/Walikota tetap menetapkan Raperda tersebut menjadi Perda dan Peraturan. Gubernur/Bupati/ Walikota, Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan oleh Gubernur untuk Kabupaten/Kota membatalkan Perda dan Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota tersebut. Ketiga, pengawasan represif, berupa pembatalan (executive review) terhadap semua Peraturan Daerah dilakukan oleh Presiden melalui Peraturan Presiden. Keempat, pengawasan preventif, yakni terhadap rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang APBD baru dapat dilaksanakan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan Gubernur bagi kabupaten/kota.
Dalam konteks NKRI penyusunan Prolegda harus sinkron dengan Prolegnas sehingga tujuan pengaturan legislasi secara nasional dapat terwujud. Agar di dalam pembuatan UU dan Perda terbangun konsistensi isi dengan nilai-nilai Pancasila dan ketentuan konstitusi. Keharusan adanya Prolegnas dan prolegda dimaksudkan agar semua UU dan Perda yang akan dibuat dapat dinilai lebih dulu kesesuaiannya dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 melalui perencanaan dan pembahasan yang matang. Di dalam prolegnas dan prolegda ini diatur pula mekanisme pembuatan UU yang tidak boleh dilanggar dengan konsekuensi jika mekanisme itu dilanggar dapat dibatalkan melalui pengujian oleh lembaga yudisial. Untuk UU pengujiannya terhadap UUD dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan pengujian Perda terhadap peraturan yang lebih tinggi dilakukan oleh Mahkamah Agung. Berdasar Pasal Pasal 24A Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang – undangan yang secara hirarkis lebih tinggi.
Menurut Moh. Mahfud MD, Prolegnas dan Prolegda menjadi penyaring isi (penuangan) Pancasila dan UUD di dalam UU dan Perda dengan dua fungsi. Pertama, sebagai potret rencana isi hukum untuk mencapai tujuan _oloni yang sesuai dengan Pancasila selama lima tahun; di sini rencana isi hukum dapat dibicarakan lebih dulu agar sesuai dengan Pancasila. Kedua, sebagai mekanisme atau dan prosedur pembuatan agar apa yang telah ditetapkan sebagai rencana dapat dilaksanakan dengan prosedur dan mekanisme yang benar.
Kesalahan isi (misalnya bertentangan dengan UUD atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi) dan kesalahan prosedur dan mekanisme (misalnya pembuatannya tidak menurut tingkat-tingkat pembahasan yang ditentukan atau tidak memenuhi korum) dapat dimintakan (digugat) pembatalan melalui pengujian oleh lembaga yudisial (judicial review) ke MK (untuk pengujian UU terhadap UUD) _oloni MA (untuk pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi). Dengan demikian lembaga yudisial (MK dan MA) melakukan pengujian baik secara material (uji materi) maupun secara formal (uji prosedur).
Pengelolaan Prolegda mempersyaratkan pula kemampuan untuk melakukan fungsi-fungsi manajemen dengan baik yaitu fungsi perencanaan, penggerakan dan fungsi pengawasan. Sehubungan dengan fungsi perencanaan setidak-tidaknya ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan Prolegda yaitu:
1.      Pemahaman peta permasalahan yang berkaitan dengan prioritas Prolegda dan sumber daya yang ada, serta cara-cara mengatasinya.
2.      Perlunya koordinasi, konsistensi antar berbagai kegiatan, penggunaan sumber daya dalam pelaksanaan prioritas, penyusunan rancangan Peraturan Daerah berdasarkan Prolegda.
3.      Penerjemahan secara cermat dan akurat Prolegda kedalam kegiatan konkrit yang terjadwal dengan dukungan dana yang memadai.
Prolegnas dan Prolegda yang dibuat untuk masa lima tahun dapat dipenggal-penggal ke dalam program legislasi tahunan sebagai prioritas pelaksanaan berdasar anggaran yang disediakan. Sekalipun terdapat daftar prioritas penyusunan RUU dalam Prolegnas, akan tetapi dimungkinkan dibentuk RUU baru dengan tujuan tertentu (kemendesakan). Selain itu RUU tersebut memang diperlukan dalam rangka menindaklanjuti putusan MK yang membatalkan suatu UU. Keharusan segera dibentuk UU ini guna mengisi kevakuman hukum yang timbul. Untuk tingkat daerah pun demikian, tatkala terdapat Perda yang dibatalkan atau munculnya kondisi khusus yang memerlukan segera pengaturan maka dimungkinkan hal itu dilakukan, agar tidak terjadi kevakuman dan kegoncangan kondisi akibat situasi khusus tersebut.[11]


 E.     TAHAPAN HASIL DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL
Pembentukan undang-undang melalui Prolegnas diharapkan dapat mewujudkan konsistensi undang-undang, serta meniadakan pertentangan antar undang-undang (vertikal maupun horizontal) yang bermuara pada terciptanya hukum nasional yang adil, berdaya guna, dan demokratis. Selain itu dapat mempercepat proses penggantian materi hukum yang merupakan peninggalan masa kolonial yang sudah tidak sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat. Sebagai instrumen mekanisme perencanaan hukum yang menggambarkan sasaran politik hukum secara mendasar, Prolegnas dari aspek isi atau materi hukum (legal substance) memuat daftar Rancangan Undang-Undang yang dibentuk selaras dengan tujuan pembangunan hukum nasional yang tidak dapat dilepaskan dari rumusan pencapaian tujuan Negara bagaimana dimuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam tataran konkrit, sasaran politik hukum nasional harus mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

F.     PERMASALAHAN YANG DIHADAPI
Prolegnas merupakan kerja bersama antara DPR dengan Pemerintah, yang dikoordinasi oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi. Dipihak lain juga Pemerintah, yang berhak mengajukan inisiatif RUU, menyusun juga prolegnas yang dikoordinasikan oleh Menhukham. Dalam kenyataan, tampak bahwa Prolegnas sebagai sebagai sebuah instrumen pengarah dalam pembangunan dan pembentukan hukum belum memenuhi standar sebagai satu politik hukum yang menggambarkan arah kedepan yang dilakukan berdasarkan satu analisis kebijakan yang disusun atas dasar tujuan dan dasar/falsafah negara, melainkan baru merupakan satu daftar keinginan (wish list), karena yang muncul baru sebatas judul RUU, yang kadang-kadang mengalami duplikasi, di mana dua RUU judulnya sama. Di tingkat daerah persoalan kualitas peraturan daerah sangat buruk, sehingga harus dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, karena bertentangan dengan Undang-Undang diatasnya, melanggar HAM dan bersifat diskriminatif.[12] Terkait dengan hubungan antarkelembagaan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan tingkat Pusat dan daerah, sebagaimana tercantum dalam Pasal 16, Pasal 32 dan Pasal UU Nomor 12 Tahun 2011, Departemen Hukum dan HAM mempunyai fungsi koordinasi dalam penyusunan program legislasi nasional. Sebagai instansi vertikal, peran Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia diharapkan dapat menjembatani kesenjangan komunikasi dan koordinasi dalam pembentukan peraturan daerah, untuk meminimalisasi terjadinya tumpang tindih dan pertentangan peraturan di tingkat Pusat dan daerah. Namun, dalam pelaksanaannya, koordinasi dan komunikasi tersebut belum berjalan dengan baik karena adanya pendapat bahwa tidak ada landasan hukum yang memerintahkan pemerintah daerah harus berkoordinasi dengan kantor wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam proses penyusunan peraturan daerah, selain kepada Departemen Dalam Negeri sebagai instansi pembina daerah. Disharmoni peraturan perundang-undangan juga terjadi karena egoisme sektoral kementerian/lembaga dalam proses perencanaan dan pembentukan hukum. Terkait dengan kualitas peran lembaga penegak hukum, walaupun berbagai langkah perbaikan terus menerus dilakukan, pelaksanaannya masih mengalami hambatan. Terjadinya kasus korupsi beberapa tahun ini justru terjadi di lingkungan lembaga penegak hukum. Hal tersebut akan semakin mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum. Faktor penyebabnya antara lain fungsi pengawasan internal dan eksternal pada lembaga-lembaga penegak hukum belum secara optimal memberikan sanksi yang memberikan efek jera. Sebagai bagian dari sistem hukum secara keseluruhan, masyarakat mempunyai peran yang penting untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri, yang didukung oleh politik hukum yang tinggi dari Pemerintah. Namun, kendala masih dihadapi, terutama masih minimnya pemberian akses terhadap keadilan dalam arti luas (pendidikan, kesehatan, politik, budaya, hukum, ekonomi, teknologi, dan lain-lain) atas partisipasi aktif masyarakat dengan didukung oleh peraturan dan perundang-undangan.
  


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :
Bahwa didalam menjalankan fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini tercantum dalam Pasal 20 A UUD 1945 yang berbunyi; “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan” dan dipertegas dengan Pasal 21 yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Dalam bunyi kedua Pasal tersebut, disebut secara ekplisit terutama Pasal 21, dimana DPR mempunyai fungsi pengawasan yang mana objek dari pengawasan disini meliputi aparatur pemerintah, produk hukum yang dihasilkan, serta sarana yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya sehingga meminimalisir tindakan-tindakan yang bersifat menyimpang, oleh karena itu perlu adanya perencanaan, pelaksanaan serta hasil dari suatu program pemerintah.
Bahwa prolegnas merupakan wadah politik hukum, hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang dalam Pasal 16 menggariskan bahwa, “Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas”. Sedangkan untuk setiap daerah, sesuai dengan Pasal 32 yang berbunyi; “Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi”  dan Pasal 39 “Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota”. Prolegda dimaksudkan untuk menjaga agar produk peraturan perundang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Berdasarkan ketentuan UU No. 12 Tahun 2011, Prolegda adalah instrumen perencanaan pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Secara operasional, Prolegda memuat daftar Rancangan Peraturan Daerah yang disusun berdasarkan metode dan parameter tertentu sebagai bagian integral dari sistem perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis, dalam sistem hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Bahwa dalam kenyataan, tampak bahwa Prolegnas sebagai sebagai sebuah instrumen pengarah dalam pembangunan dan pembentukan hukum belum memenuhi standar sebagai satu politik hukum yang menggambarkan arah kedepan yang dilakukan berdasarkan satu analisis kebijakan yang disusun atas dasar tujuan dan dasar/falsafah negara, melainkan baru merupakan satu daftar keinginan (wish list), karena yang muncul baru sebatas judul RUU, yang kadang-kadang mengalami duplikasi, di mana dua RUU judulnya sama. Di tingkat daerah persoalan kualitas peraturan daerah sangat buruk, sehingga harus dibatalkan oleh Pemerintah Pusat, karena bertentangan dengan Undang-Undang diatasnya, melanggar HAM dan bersifat diskriminatif

B.     SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa fungsi pengawasan politik dalam pembentukan hukum nasional, dalam kenyataannya belum dapat berjalan sebagimana mestinya,  untuk itu harus di upayakan oleh Pemerintah untuk melakukan harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan perlu dilakukan secara terus menerus sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan hal ini perlu ditindaklanjuti dengan serius. Sebagai pengemban fungsi law center, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia diharapkan mampu memberikan masukan sekaligus melakukan harmonisasi dalam perumusan kebijakan pembentukan hukum serta menjadikan program legislasi daerah sebagai bagian yang sinkron dengan program legislasi nasional sehingga kebijakan pembentukan hukum di daerah tetap berada dalam kerangka kebijakan pembentukan hukum nasional.
Bahwa perlu adanya keterbukaan informasi yang didukung oleh fasilitas teknologi informasi dapat meningkatkan akses masyarakat yang membutuhkan informasi permasalahan mengenai hukum, termasuk peraturan perundang-undangan, dan juga belum memadainya sistem technology informations (IT) di Pemda khususnya daerah kabupaten, kondisi giografis dan transportasi, keterbatasan sumber daya manusia di Depdagri dan Depkeu yang bertugas melakukan pengawasan langsung. Oleh karenanya untuk mendukung suksesnya pembangunan hukum nasional, perlu adanya penguatan sumber daya terkait IT maupun SDM-nya.


DAFTAR PUSTAKA
 A.    BUKU – BUKU :
Atmosudirdjo Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Cetakan kesepuluh, Ghalia Indonesia Jakarta, 1995
Huda Ni’matul, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, 2009
____________, “Implikasi Pengawasan Produk Hukum Daerah Terhadap Pembangunan Hukum  Nasional” Makalah disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) kerjasama antara Dewan Perwakilan Daerah RI dengan Pusat Kajian Dampak Regulasi dan Otonomi Daerah Fakultas Hukum UGM dengn DPD RI, Yogyakarta, 17 Juli 2009
Manan Bagir, Empat Tulisan Tentang Hukum, (Bandung: Program Pascasarjana BKU Hukum Ketatanegaraan, Universitas Padjajaran, 1995
Winarto Budi, Kebijakan Publik Teori Dan Proses, Media Pressindo Edisi Revisi, 2008
B.     PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN :
UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden
C.    INTERNET :
www.google.com; Laporan Penelitian Pengawasan Terhadap Produk Hukum Daerah Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan Hukum Nasional, Kerjasama DPD RI dengan Pusat Kajian Dampak Regulasi Dan Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Agustus 2009
www.google.com; Program Legislasi Nasional Tahun 2010 – 2014


[1] Huda Ni’matul, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusa Media, 2009, hal.103
[2] Atmosudirdjo Prayudi, Hukum Administrasi Negara, Cetakan kesepuluh, Ghalia Indonesia Jakarta, 1995, hal.84
[3] Manan Bagir, Empat Tulisan Tentang Hukum, (Bandung: Program Pascasarjana BKU Hukum Ketatanegaraan, Universitas Padjajaran, 1995,  hlm. 3
[4] Winarto Budi, Kebijakan Publik Teori Dan Proses, Media Pressindo Edisi Revisi 2008, hal 120-123
[5] www.google.com; Program Legislasi Nasional Tahun 2010 – 2014, hal.5-7
[6] Ibid. hal.4
[7] www.google.com; Laporan Penelitian Pengawasan Terhadap Produk Hukum Daerah Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan Hukum Nasional, Kerjasama DPD RI dengan Pusat Kajian Dampak Regulasi Dan Otonomi Daerah Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Agustus 2009, hal. 44-46
[8] Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Preside
[9] www.google.com; Laporan Penelitian Pengawasan Terhadap Produk Hukum Daerah Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan Hukum Nasional, Op.cit.,hal. 46-49
[10] Ibid, hal. 56-57
[11] Ibid, hal. 63-66
[12] Harian Kompas tanggal 15 November, 2010

Kamis

PERANAN FILSAFAT PANCASILA DALAM PEMBENTUKAN HUKUM NASIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Budaya dan peradaban umat manusia berawal dan berpuncak dengan nilai-nilai filsafat yang dikembangkan dan ditegakkan sebagai sistem ideologi. Maknanya nilai filsafat sebagai jangkauan tertinggi pemikiran untuk menemukan hakekat kebenaran ( kebenaran hakiki; karenanya dijadikan filsafat hidup, pandangan hidup, (Weltanschauung); sekaligus memancarkan jiwa bangsa, jati diri bangsa (Volksgeist) dan martabat nasional.
Filsafat hidup dan jiwa bangsa ini diakui sebagai asas kerohanian bangsa dan negara, sebagai kaidah negara yang fundamental. Nilai fundamental filsafat hidup dijadikan dasar negara (filsafat negara); ditegakkan sebagai sistem ideologi nasional (ideologi negara) sebagaimana terumus di dalam UUD Negara.
Bagi bangsa Indonesia, filsafat Pancasila sebagai sistem ideologi sebagaimana terkandung dalam UUD Proklamasi 45, sekaligus memancarkan integritas sebagai Sistem Kenegaraan Pancasila dengan visi-misi sebagaimana diamanatkan di dalam UUD Proklamasi 45. Menegakkan integritas sistem kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 adalah pembudayaan filsafat Pancasila dan ideologi nasional Indonesia Raya. Kaitannya dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit)[1]

B.     PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, ,maka permasalahan yang akan dibahas adalah :
1.      Apakah sebenarnya hakikat filsafat hukum?
2.      Bagaimana peran filsafat hukum dalam pembentukan hukum di Indonesia?
3.      Kapan Permasalahan Timbul Dalam Bidang Hukum?
 


BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN FILSAFAT DAN FILSAFAT HUKUM
Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi.
Pakar Filsafat kenamaan Plato (427 - 347 SM) mendefinisikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli, Kemudian Aristoteles (382 - 322 SM) mengartikan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran, dan berisikan di dalamnya ilmu ; metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.
Secara Umum Pengertian Filsafat adalah Ilmu pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1) rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan mikro kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi. Hakikat kebenaran yang dicari dari berfilsafat adalah kebenaran akan hakikat hidup dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek.
Kemudian berkenaan dengan Filsafat Hukum Menurut Gustaff Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedangkan menurut Langmeyer: Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum, Anthoni D’Amato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau filsafat hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti kebijaksanaan (prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat. Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto menyebutkan sembilan arti hukum, yaitu : 1) Ilmu pengetahuan, yaitu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran. 2) Disiplin, yaitu suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi. 3) Norma, yaitu pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan. 4) Tata Hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma-norma hukum yang berlaku pada suatu waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis. 5) Petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum (law enforcement officer) 6) Keputusan Penguasa, yakni hasil proses diskresi 7) Proses Pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal balik antara unsur-unsur pokok dari sistem kenegaraan 8) Sikap tindak ajeg atau perilaku yang teratur, yakni perilaku yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan mencapai kedamaian. 9) Jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang dianggap baik dan buruk.
Filsafat hukum mempelajari hukum secara spekulatif dan kritis  artinya filsafat hukum berusaha untuk memeriksa nilai dari pernyataan-pernyataan yang dapat dikatagorikan sebagai hukum ;
o   Secara spekulatif, filsafat hukum terjadi dengan pengajuan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat hukum.
o   Secara kritis, filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsinya.[2]
Lebih jauh Prof. Dr. H. Muchsin, SH. dalam bukunya Ikhtisar Filsafat Hukum menjelaskan dengan cara membagi definisi filsafat dengan hukum secara tersendiri, filsafat diartikan sebagai upaya berpikir secara sungguh-sungguh untuk memahami segala sesuatu dan makna terdalam dari sesuatu itu[3] kemudian hukum disimpulkan sebagai aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, berupa perintah dan larangan yang keberadaanya ditegakkan dengan sanksi yang tegas dan nyata dari pihak yang berwenang di sebuah negara.[4]
Sebagai aktualisasi sistem filsafat Pancasila dan atau sistem ideologi (nasional) Pancasila secara ontologis dan axiologis dikembangkan dan ditegakkan sebagai integritas Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 dengan asas-asas fundamental berikut :
A.  Sistem Filsafat Pancasila Sebagai Asas Kerohanian Bangsa dan Negara
Filsafat Pancasila memberikan kedudukan yang tinggi dan mulia atas martabat manusia, sebagai pancaran asas moral (sila I dan II); karenanya ajaran HAM berdasarkan filsafat Pancasila yang bersumber asas normatif theisme-religious, secara fundamental sbb:  
1.   Bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II: hidup, kemerdekaan dan hak milik/rezki); sekaligus amanat untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.
2.   Bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat) manusia menunaikan kewajiban asasi manusia sebagai amanat Maha Pencipta.
3.   Kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:
a.   Manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha Pencipta (sila I).
b.   Manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta, termasuk atas nasib dan takdir manusia;  dan
c.   Manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), atas anugerah dan amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian). Manusia terikat dengan hukum alam dan hukum moral.
Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas potensi jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya sebagaimna terpancar dari akal-budinuraninya serta sebagai subyek budaya (termasuk subyek hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160)
Berdasarkan ajaran suatu sistem filsafat, maka wawasan manusia (termasuk wawasan nasional) atas martabat manusia, menetapkan bagaimana sistem kenegaraan ditegakkan; sebagaimana bangsa Indonesia menetapkan NKRI sebagai negara berkedaulatan rakyat (sistem demokrasi) dan negara hukum (Rechtsstaat). Asas-asas fundamental ini memancarkan identitas, integritas dan keunggulan sistem kenegaraan RI (berdasarkan) Pancasila – UUD 45, sebagai sistem kenegaraan Pancasila.
Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas theisme-religious sebagai keunggulan sistem filsafat Pancasila dan filsafat Timur umumnya, karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian manusia. Jadi, bagaimana sistem kenegaraan bangsa itu, ialah jabaran dan praktek dari ajaran sistem filsafat dan atau sistem ideologi nasionalnya masing-masing. Berdasarkan asas demikian, kami dengan mantap menyatakan NKRI sebagai sistem kenegaraan Pancasila, dan terjabar (pedoman penyelenggaraanya) dalam UUD Proklamasi 45 --- yang orisinal, bukan menyimpang sebagai “ terjemahan “ era reformasi yang menjadi UUD 2002 --- yang kita rasakan amat sarat kontroversial, bahkan menjadi budaya neo-liberalisme.
Secara filosofis-ideologis dan konstitusional inilah amanat nasional dalam visi-misi Pendidikan dan Pembudayaan Filsafat Pancasila dan Ideologi Nasional. Visi-misi mendasar dan luhur ini menjamin integritas SDM dalam Sistem Kenegaraan Pancasila-UUD Proklamasi 45 dan integritas Ketahanan Nasional NKRI.

B.  Dasar Negara Pancasila Sebagai Asas Kerokhanian Bangsa dan Sistem Ideologi Nasional dalam Integritas UUD Proklamasi 45
Secara ontologis-axiologis (filsafat Pancasila) terjabar dalam UUD Proklamasi 45 bersifat imperatif (filosofis-ideologis dan konstitusional) ontologi bangsa dan NKRI adalah integral (manunggal) dan bersifat t e t a p (integritas, jatidiri / Volksgeist)  atau kepribadian dan martabat nasional.
Tegaknya suatu bangsa dan negara ialah kemerdekaan dan kedaulatan sebagai wujud kemandirian, integritas dan martabat nasional. Bagi bangsa Indonesia dapat dinyatakan sebagai: Integritas Sistem Kenegaraan Pancasila – UUD Proklamasi 45.
Dalam analisis kajian normatif-filosofis-ideologis dan konstitusional atas UUD Proklamasi 45 dalam hukum ketatanegaraan RI, dapat diuraikan asas dan landasan  filosofi-ideologis dan konstitusional berikut :
1.   Baik menurut teori umum hukum ketatanegaraan dari Nawiasky, maupun Hans Kelsen dan Notonagoro diakui kedudukan dan fungsi kaidah negara yang fundamental yang bersifat tetap; sekaligus sebagai norma tertinggi, sumber dari segala sumber hukum dalam negara. Karenanya, kaidah ini tidak dapat diubah, oleh siapapun dan lembaga apapun, karena kaidah ini ditetapkan hanya sekali oleh pendiri negara (Nawiasky1948: 31 – 52; Kelsen 1973: 127 – 135; 155 – 162; Notonagoro 1984: 57 – 70; 175 – 230; Soejadi 1999: 59 – 81). Sebagai kaidah negara yang fundamental, sekaligus sebagai asas kerohanian negara dan jiwa konstitusi, nilai-nilai dumaksud bersifat imperatif (mengikat, memaksa). Artinya, semua warga negara, organisasi infrastruktur dan suprastruktur dalam negara imperatif untuk melaksanakan dan membudayakannya. Sebaliknya, tiada seorangpun warga negara, maupun organisasi di dalam negara yang dapat menyimpang dan atau melanggar asas normatif ini; apalagi merubahnya.     
2.   Dengan mengakui kedudukan dan fungsi kaidah negara yang fundamental, dan bagi negara Proklamasi 17 Agustus 1945 ialah berwujud: Pembukaan UUD Proklamasi 45. Maknanya, PPKI sebagai pendiri negara mengakui dan mengamanatkan bahwa atas nama bangsa Indonesia kita menegakkan sistem kenegaraan Pancasila – UUD 45. Asas demikian terpancar dalam nilai-niai fundamental yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 45 sebagai kaidah filosofis-ideologis Pancasila seutuhnya. Karenanya dengan jalan apapun, oleh lembaga apapun tidak dapat diubah. Karena Pembukaan ditetapkan hanya satu kali oleh pendiri negara (the founding fathers, PPKI) yang memiliki legalitas dan otoritas pertama dan tertinggi (sebagai penyusun yang mengesahkan UUD negara dan lembaga-lembaga negara). Artinya, mengubah Pembukaan dan atau dasar negara berarti mengubah negara; berarti pula mengubah atau membubarkan negara Proklamasi (membentuk negara baru;  mengkhianati negara Proklamasi 17 Agustus 1945). Siapapun dan organisasi apapun yang tidak mengamalkan dasar negara Pancasila ---beserta jabarannya di dalam UUD negara---; bermakna tidak loyal dan tidak membela dasar negara Pancasila; maka sikap dan tindakan demikian dapat dianggap sebagai makar (tidak menerima ideologi negara dan UUD negara). Jadi, mereka dapat dianggap melakukan separatisme ideologi dan atau mengkhianati negara.
3.   Penghayatan kita diperjelas oleh amanat pendiri negara (PPKI) di dalam Penjelasan UUD 45; terutama melalui uraian: keempat pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 45 (sebagai asas kerohanian negara (geistlichen Hinterground dan Weltanschauung ) bangsa  terutama: "Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam "Pembukaan" ialah Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.

C.    Undang-Undang Dasar Menciptakan Pokok-Pokok Pikiran Yang Terkandung Dalam Pembukaan Dan Pasal-Pasalnya
Pokok-pokok pikiran dalam UUD 1945 Indonesia meliputi suasana kebatinan dari Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Pokok-pokok pikiran ini mewujudkan cita-cita hukum (Rechtsidee) yang menguasai hukum dasar negara, baik hukum yang tertulis (Undang-Undang Dasar) maupun hukum yang tidak tertulis. Jadi, kedudukan Pembukaan UUD 1945 berfungsi sebagai perwujudan dasar negara Pancasila; karenanya memiliki integritas filosofis-ideologis dan legalitas supremasi otoritas secara konstitusional (terjabar dalam Batang Tubuh dan Penjelasan UUD 45). Sistem kenegaraan RI secara formal adalah kelembagaan nasional yang bertujuan menegakkan asas normatif filosofis-ideologis (in casu dasar negara Pancasila) sebagai kaidah fundamental dan asas kerohanian negara di dalam kelembagaan negara bangsa (nation state) dengan membudayakannya.
*      Ditinjau dari isi pengertian yang terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945;
a.       Rangkaian peristiwa dan keadaan yang mendahului terbentuk Negara yang merupakan rumusan dasar – dasar pemikiran yang merupakan motif pendorong bagi tersusunnya kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam wujud terbentuknya Negara Indonesia (Alinea I, II dan III)
b.      Merupakan pernyataan dari pada peristiwa dan keadaan setelah Negara Indonesia terwujud (Alinea IV)
Alinea pertama, kedua dan ketiga dengan alinea keempat dipisahkan dengan adanya perkataan “kemudian daripada itu” pada bagian alinea keempat Pembukaan. Maka sifat hubungan antara masing – masing bagian Pembukaan dengan Batang Tubuh UUD adalah :
a)      Alinea pertama, kedua dan ketiga Pembukaan merupakan segolongan pernyataan yang tidak mempunyai hubungan organis dengan Batang Tubuh UUD ;
b)      Alinea keempat Pembukaan mempunyai hubungan causal dan organis dengan Batang Tubuh UUD yang menyangkut beberapa segi :
1)      UUD itu ditentukan akan nada ;
2)      Yang diatur dalam UUD ialah tentang pembentukan Pemerintah Negara yang memenuhi berbagai persyaratan ;
3)      Negara Indonesia berbentuk Republik yang berkedaulatan rakyat ;
4)      Ditetapkannya dasar kerohanian (filsafat Negara pancasila).
Jadi bilamana diteliti, alinea keempat Pembukaan itu mempunyai kedudukan yang penting sekali dalam hubungannya dengan Batang Tubuh UUD.
*      Ditinjau dari pokok – pokok pikiran yang terkandung di dalam Pembukaan antara lain disebutkan sebagai berikut :
a.       Negara melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pembukaan ini diterima aliran pengertian Negara persatuan ;
b.       Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ;
c.       Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar tas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan ;
d.      Negara berdasar atas ke – Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.

*      Ditinjau dari hakikat dan kedudukan Pembukaan
Seperti dikemukakan di atas, bahwa Pembukaan berkedudukan sebagai pokok kaidah fundamental daripada Negara Republik Indonesia. Maka Pembukaan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada Batang Tubuh UUD, atau dengan kata lain :
a)      Pembukaan merupakan tertib hukum tertinggi dan terpisah dari Batang Tubuh UUD ;
b)      Pembukaan merupakan pokok kaidah yang fundamental yang menentukan adanya UUD itu ;
c)      Pembukaan terbawa oleh kedudukannya sebagai pokok kaidah fundamental, mengandung pokok – pokok pikiran yang oleh UUD harus diciptakan/dituangkan dalam pasal – pasalnya.[5]  

2.      TATANAN NILAI PANCASILA
Manusia adalah insan yang hidup berkelompok (zoon politicon) yang menampilkan insan sosial (homo politicus) sekaligus aspek insan usaha (homo economicus), dalam arti bahwa naluri hidup berkelompoknya adalah untuk mencapai kesejahteraan bersamanya. Didalalam hidup berkelompok tersebut meningkat menjadi bernegara, maka falsafah hidup tersebut disebut di dalam Rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia disebut sebagai filosofische grondslag dari pada Negara yang didirikan.
Falsafah hidup suatu bangsa akan menjelmakan suatu tata nilai yang di cita-citakan bangsa yang bersangkutan, ia membentuk keyakinan hidup berkelompok sekaligus menjadi tolak ukur kesejahteraan kehidupan berkelompok sesuai yang dicita-citakan bangsa yang bersangkutan.[6]
Tatanan nilai-nilai Pancasila yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.      Nilai materiil
Nilai ini adalah yang terindah, sifatnya pokok, tetapi kebutuhannya terbatas. Tuhan, Hukum semesta, dan alam menjamin berbagai kemudahan untuk memenuhi kebutuhan materiil. Nilai materiil itu harus di konkritkan, materi bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai kelengkapan. (segala sesuatu yang mampu melahirkan kebahagiaan, baik secara fisik maupun lahiriah) Nilai-nilai materiil ini penting,tetapi hanya sebatas hal-hal tertentu.
2.      Nilai vital
Nilai-nilai yang berupa kemudahan-kemudahan bagi manusia, dalam rangka melakukan aktivitas-aktivitasnya. Nilai ini mengandung beragam kontekstual Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, ketertiban, kemakmuran. Hukum menjadi nilai vital yang tinggi. Pada nilai vital ini, kebutuhan materiil harus dapat terpenuhi, kebutuhan rohaniah juga harus terpenuhi.
3.      Nilai Rohaniah
a)   Nilai kebenaran / kenyataan
b)   Nilai estetika / keindahan
c)   Nilai moral / etika
Akhlak, melalui suatu tata cara yang santun dan sopan. Kaitannya dengan kepekaan terhadap hati.
Nilai moralitasnya : hukum harus bisa memberikan ketentraman dan kenyamanan terhadap manusia. Ketika ada hukum, kita merasa terlindungi, terjamin.
d)  Nilai religius / Ketuhanan
Nilai kerohanian merupakan nilai yang repenting, pada bagian-bagian di dalam pancasila.Setiap orang tentu pada ujung atau puncaknya akan mencari Tuhan,pencarian seperti ini ada yang dilakukan secara mudah atau sulit. Hukum harus memiliki nilai religius seperti ini, tidak boleh memisahkan dari nilai agama / Ketuhanan dengan mengatur segala sesuatunya di dalam dunia ini.
Nilai kerohanian; nilai kebenaran (penting dalam aplikasinya di berbagai ilmu). Berbicara mengenai ilmu, berbicara kebenaran, sebagai nilai rohani yang dapat menentramkan hati kita.
Nilai – nilai tersebut diatas kemudian dioperasionalkan dalam bentuk norma.
a)      Nilai positif dioperasionalkan menjadi perintah
b)      Nilai negatif diperasionalkan menjadi larangan
c)      Sanksi / hukuman merupakan sarana untuk penegakan norma[7]
Undang – Undang Dasar 1945 menggunakan 2 (dua) cara didalam menentukan petunjuk – petunjuk tentang nilai – nilai  dasar tersebut :
a.       Yang pertama ialah dengan jelas diberikan petunjuk tentang suatu tatanan dasar;
b.      Nilai suatu tatanan dasar diserahkan pada Undang-Undang untuk merumuskannya, artinya dengan persetujuan (wakil) rakyat pula.
Beberapa tatanan dasar dengan petunjuk – petunjuknya adalah sebagai beikut :
a)      Tatanan bermasyarakat, nilai – nilai dasarnya ialah tidak boleh ada eksploitasi sesama manusia (penjajahan), berprikemnusiaan dan berkeadilan sosial (Alinea I Pembukaan).
b)      Tatanan bernegara, dengan nilai dasar merdeka, berdaulat, bersatu adil dan makmur (Alinea II Pembukaan)
c)      Tatanan kerja sama antar Negara atau tatanan luar negeri dengan nilai tertib dunia, kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Alinea IV Pembukaan)
d)     Tatanan pemerintahan daerah dengan nilai permusyawaratan dan mengakui asal usul keistimewaan daerah (Pasal 18)
e)      Tatanan keuangan Negara ditentukan dengan Undang – Undang (Pasal 23)
f)       Tatanan hidup beragama dengan nilai dasar dijamin oleh Negara kebebasannya serta beribadahnya dengan agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29)
g)      Tatanan bela negara, hak dan kewajiban warga Negara merupakan nilai dasarnya (Pasal 30)
h)      Tatanan pendidikan diatur dengan Undang – Undang (Pasal 31)
i)        Tatanan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat
j)        Tatanan hukum dan keikutsertaan dalam pemerintahan dengan nilai – nilai dasar kesamaan bagi setiap warga Negara dan kewajiban menjunjungnya tanpa kecuali (Pasal 27 ayat 1)
k)      Tatanan pekerjaan dan penghidupan, dengan nilai dasar harus layak dari segi kemanusiaan
l)        Tatanan budaya dengan nilai dasar, berdasarkan budaya daerah, menuju kemajuan adab, dan persatuan serta tidak menolak budaya asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
m)    Tatanan kesejahteraan sosial dengan nilai dasar kemakmuran masyarakat yang diutamakan dan bukan kemakmuran orang seorang
n)      Tatanan gelar dan tanda kehormatan diatur dengan Undang – Undang (Pasal 15)
Penjabaran nilai tersebut di atas menjadi suatu keharusan agar diperoleh suatu gambaran yang lebih konkrit dari setiap tatanan sehingga memudahkan perumusan haluan Negara ataupun pembangunan di setiap bidangnya.[8] 



3. PERAN FILSAFAT HUKUM DI INDONESIA
Negara di dunia yang menganut paham negara teokrasi menganggap sumber dari segala sumber hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu, kemudian untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan (rechstaat) yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan, lain halnya dengan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalak kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, akan tetapi berbeda dengan konsep kedaulatan rakyat oleh Hobbes (yang mengarah pada ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah pada demokrasi parlementer).[9]
Fungsi Hukum secara garis besar adalah sebagaimana termaktub dibawah ini :
a.       Sebagai alat pengendalian sosial (a tool of social control).
b.      Sebagai alat untuk mengubah masyarakat ( a tool of social engineering).
c.       Sebagai alat ketertiban dan pengaturan masyarakat.
d.      Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.
e.       Sebagai sarana penggerak pembangunan.
f.       Sebagai fungsi kritis dalam hukum.
g.      Sebagai fungsi pengayoman.
h.      Sebagai alat politik.
            Sedangkan konsep Hukum yang dipaparkan oleh Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, M.PA adalah : 1) Hukum sebagai asas moral atau asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian inherent sistem hukum alam, 2) Hukum sebagai kaidah-kaidah positif, dan 3) Hukum sebagai institusi sosial.18 Fungsi Hukum (The Funcions of Law) Menurut Sjachran Basah hukum terutama dalam masyarakat Indonesia mempunyai panca fungsi, yaitu: 1) Direktif 2) Integratif 3) Stabilitatif 4). Perfektif 5). Korektif. Dalam Implementasinya Hukum Dapat Berwujud: 1). Preventif 2). Represif dan 3). Rehabilitatif. Tujuan Hukum Menurut Teori Etis (Aristoteles) Hukum hanya semata-mata bertujuan untuk mewujudkan rasa keadilan, sedangkan keadilan dibedakan menjadi dua yaitu : 1).Keadilan komutatif, yang menyamakan prestasi dan kontra prestasi, dan yang ke 2). Keadilan Distributif, keadilan yang membutuhkan distribusi atau penghargaan.
Lain halnya Utiliteis (Jeremy Bentham) menganggap hukum bertujuan mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah saja, sedangkan ajaran yuridis dogmatic (John Austin, Hans Kelsen) bertujuan untuk menjamin terwujudnya kepastian hukum.19 Kita tahu bahwa Hukum di Indonesia ini merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat, sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Juga hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.[10]
Pancasila sebagai asas kerohanian dan dasar filsafat Negara merupakan unsur penentu dari pada ada dan berlakunya tertib hukum Indonesia dan pokok kaidah Negara yang fundamental itu, maka pancasila itu adalah inti dari pada pembukaan. Dengan dicantumkannya pancasila didalam Pembukaan UUD maka pancasila berkedudukan sebagai norma dasar hukum obyektif. Sesuai dengan kedudukan Pembukaan sebagai pokok kaidah fundamental dari pada Negara Republik Indonesia, mempunyai kedudukan yang sangat kuat, tetap, tidak dapat diubah oleh siapapun, dengan perkataan lain perumusan pancasila yang sah adalah seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD.[11] 
Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia, Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law / khususnya negara Belanda), hukum Islam (baca ; Al-Qur’an) sering dijadikan dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim, contoh konkrit dari hukum Islam yang masuk dalam konstitusi Indonesia melalui produk filsafat hukum adalah Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, apalagi didalamnya terdapat pasal tentang bolehnya poligami bagi laki-laki yaitu dalam Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2, dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, walau banyak pihak yang protes pada pasal kebolehan poligami tersebut, namun di sisi lain tidak sedikit pula yang mempertahankan pasal serta isi dari Undang-undang Perkawinan tersebut. DPR adalah lembaga yang berjuang mengesahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974, dan sampai sekarang masih berlaku tanpa adanya perubahan, ini bukti nyata dari perkembangan filsafat hukum yang muncul dari kebutuhan masyarakat perihal penuangan hukum secara konstitusi kenegaraan, yang mayoritas masyarakat Indonesia adalah agama Islam, yang menganggap ayat-ayat ahkam dalam kitab suci Al-Qur’an adalah mutlak untuk diikuti dalam hukum. Hukum adat juga sedikit banyak masuk dalam konstitusi negara Indonesia, contoh adanya Undang-undang Agraria, kemudian munculnya Undang-undang Otonomi daerah, yang pada intinya memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang sangat heterogen. Maka dengan filsafat hukum yang dikembangkan melalui ide dasar Pancasila akan dapat mengakomodir berbagai kepentingan, berbagai suku, serta menyatukan perbedaan ideologi dalam masyarakat yang sangat beraneka ragam, dengan demikian masyarakat Indonesia akan tetap dalam koridor satu nusa, satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, yang menjunjung nilai-nilai luhur Pancasila.[12]
Prof. Dr. H. Muchsin, S.H., kemudian menjelaskan definisi dari tiap hubungan bagan sebagai berikut: Filsafat adalah ilmu pengetahuan alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya, Filsafat Hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, Teori merupakan pendapat yang dikemukakan oleh seseorang mengenai suatu asas umum yang menjadi dasar atau pedoman suatu ilmu pengetahuan, kemudian hukum adalah semua aturan-aturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang dibuat maupun diakui oleh negara sebagai pedoman tingkah laku masyarakat yang memiliki sanksi yang tegas dan nyata bagi yang melanggarnya, jadi Teori Hukum adalah teori yang terdiri atas seperangkat prinsip-prinsip hukum yang menjadi pedoman dalam merumuskan suatu produk hukum sehingga hukum tersebut dapat dilaksanakan di dalam praktek kehidupan masyarakat, Asas Hukum adalah dasar-dasar umum yang terkandung dalam peraturan hukum dasar-dasar umumtersebut mengandung nilai-nilai etis, Politik Hukum adalah perwujudan kehendak dari pemerintah Penyelenggaraan Negara mengenai hukum yang belaku di wilayahnya dan kearah mana kukum itu dikembangkkan, Kaedah Hukum adalah aturan yang dibuat secara resmi oleh penguasa negara mengikat setiap orang dan belakunya dapat dipaksakan oleh aparat negara yang berwenang sehingga berlakunya dapat dipertahankan, Praktik Hukum adalah pelaksanaan dan penerapan hukum dari aturan-aturan yang telah dibuat pada kaedah hukum dalam peristiwa konkrit.

Huda Lukoni, S.H.I., S.H. melihat bagan ini adalah sebagai suatu rangkaian yang tak terpisahkan antara filsafat hukum, serta pembentukan hukum di Indonesia, di Indonesia hukum dibuat sebenarnya adalah sebagai pemenuhan asas legalitas, serta untuk menciptakan masyarakat yang tertib serta kemakmuran yang menyeluruh, karena Indonesia menganut Civil Law Sistem, dimana dalam sistem tersebut peraturan perundang-undangan adalah merupakan pijakan dalam penerapan hukum oleh seorang hakim, melihat bagan diatas sudah sangat ideal bagaimana membentuk sebuah hukum, tetapi bagaimana sebenarnya pembentukan hukum di Indonesia, apakah tidak ada kepentingan yang masuk didalamnya ideal bagaimana membentuk sebuah hukum, tetapi bagaimana sebenarnya pembentukan hukum di Indonesia, apakah tidak ada kepentingan yang masuk didalamnya.

4. DINAMIKA AKTUALISASI NILAI PANCASILA
Aktualisasi nilai Pancasila dituntut selalu mengalami pembaharuan. Hakikat pembaharuan adalah perbaikan dari dalam dan melalui sistem yang ada. Atau dengan kata lain, pembaharuan mengandaikan adanya dinamika internal dalam diri Pancasila. Mengunakan pendekatan teori Aristoteles, bahwa di dalam diri Pancasila sebagai pengada (realitas) mengandung potensi, yaitu dasar kemungkinan (dynamik). Potensi dalam pengertian ini adalah kemampuan real subjek (dalam hal ini Pancasila) untuk dapat berubah. Subjek sendiri yang berubah dari dalam. Mirip dengan teori A.N.Whitehead, setiap satuan aktual (sebagai aktus, termasuk Pancasila) terkandung daya kemungkinan untuk berubah. Bukan kemungkinan murni logis atau kemungkinan objektif, seperti batu yang dapat dipindahkan atau pohon yang dapat dipotong. Bagi Whitehead, setiap satuan aktual sebagai realitas merupakan sumber daya untuk proses ke-menjadi-an yang selanjutnya. Jika dikaitkan dengan aktualisasi nilai Pancasila, maka pada dasarnya setiap ketentuan hukum dan perundang-undangan pada segala tingkatan, sebagai aktualisasi nilai Pancasila (transformasi kategori tematis menjadi kategori imperatif), harus terbuka terhadap peninjauan dan penilaian atau pengkajian tentang keterkaitan dengan nilai dasar Pancasila.
    Untuk melihat transformasi Pancasila menjadi norma hidup sehari-hari dalam bernegara orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-4 yang berkaitan dengan negara, yang meliputi; wilayah, warganegara, dan pemerintahan yang berdaulat. Selanjutnya, untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-3 yang berkaitan dengan bangsa Indonesia, yang meliputi; faktor-faktor integratif dan upaya untuk menciptakan persatuan Indonesia. Sedangkan untuk memahami transformasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, orang harus menganalisis pasal-pasal penuangan sila ke-1, ke-2, dan ke-5 yang berkaitan dengan hidup keagamaan, kemanusiaan dan sosial ekonomis (Suwarno, 1993: 126).[13]
Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan demikian karena dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori Hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif kita, Dengan demikian kita sepakat jika filsafat hukum Indonesia, adalah di mulai dari pemaham kembali (re interpretasi) terhadap pembukaan UUD 1945.



BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :
1)      Ajaran luhur filsafat Pancasila memancarkan identitas theisme-religious sebagai keunggulan sistem filsafat Pancasila dan filsafat Timur umumnya, karena sesuai dengan potensi martabat dan integritas kepribadian manusia. Jadi, bagaimana sistem kenegaraan bangsa itu, ialah jabaran dan praktek dari ajaran sistem filsafat dan atau sistem ideologi nasionalnya masing-masing, dan sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila sebagai ideologi nasional (Weltanschauung); asas kerohanian negara dan jati diri bangsa. Karenanya menjadi asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional bangsa; menjiwai dan melandasi cita budaya dan moral politik nasional, sebagai terjabar dalam asas normatif-filosofis-ideologis-konstitusional.
2)      Secara spekulatif dan secara kritis filsafat hukum berusaha untuk memeriksa gagasan-gagasan tentang hukum yang sudah ada, melihat koherensi, korespondensi dan fungsi hukum yang diciptakan, Indonesia memang menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, kaitannya filsafat hukum terhadap pembentukan hukum di Indonesia adalah filsafat hukum sangat berperan dalam perubahan hukum kearah lebih demokratis, lebih mengarah pada kebutuhan masyarakat yang hakiki, filsafat hukum mengubah tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang pernah berlaku di Indonesia, dimulai dari berlakunya tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP XX/MPRS tahun 1966, kemudian tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari TAP III/MPR/2000, sampai terakhir adalah tata urutan Peraturan Perundang-undangan yang didasari Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang hingga kini berlaku di Indonesia, pengubahan itu atas dasar pembaharuan yang didasari pada asas kemanfaatan dan asas keadilan, jadi pembaharuan hukum lewat filsafat hukum di Indonesia ada pada teori hukumnya, hal ini telah sesuai dengan bunyi kalimat kunci dalam Penjelasan UUD 1945 : Undang-undang dasar menciptakan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan dalam pasal-pasalnya, maka perubahan hukum di Indonesia adalah didasarkan dari ide-ide pasal-pasal dalam Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 (sebagai teori hukumnya). Kita harus tahu pula bahwa fungsi hukum nasional adalah untuk pengayoman, maka perubahan atau pembangunan hukum Indonesia harus melalui proses filsafat hukum yang didalamnya mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat-tingkat kemajuan pembangunan disegala bidang, juga mampu memenuhi kebutuhan masyarakat luas yang cenderung majemuk, yang mana hukum yang diciptakan adalah merupakan rules for the game of life, hukum diciptakan untuk mengatur prilaku anggota masyarakat agar tetap berada pada koridor nilai-nilai sosial budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dan yang terpenting hukum diciptakan sebagai pemenuhan rasa keadilan bagi masyarakat luas, tanpa membedakan ras, golongan, suku, partai, agama, atau pembedaan lain.[14]

B.     SARAN
1)      Pancasila merupakan Grundnorm atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, rumusan Pancasila ini dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka dapat dikatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 adalah filsafat hukum Indonesia, maka Batang Tubuh berikut dengan Penjelasan UUD 1945 adalah teori hukumnya, dikatakan demikian karena dalam Batang Tubuh UUD 1945 itu akan ditemukan landasan hukum positif Indonesia. Teori Hukum tersebut meletakkan dasar-dasar falsafati hukum positif kita, Dengan demikian filsafat hukum Indonesia di mulai dari pemaham kembali (re interpretasi) terhadap pembukaan UUD 1945; hal ini merupakan peran penting bagi aparat pemerintah dalam hal pembuatan produk hukum tersebut selalu dijiwai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum maka setiap butir ketetapan harus mencerminkan sila-sila Pancasila sebagai suatu landasan yang kokoh dalam negara hukum Pancasila.

2)      Hendaknya sering dilakukan diskusi (pembahasan ulang) oleh pakar filsafat hukum terhadap perundang-undangan yang masih belum memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat luas, dan tentunya peran diskusi ilmiah antar pakar filsafat hukum di indonesia sangatlah urgen untuk dilakukan dalam mengubah hukum yang hanya mengedepankan legalitas belaka, tanpa melihat living law yang terjadi dalam masyarakat, serta mengingat sekian lama Indonesia di doktrin oleh Belanda untuk ”dipaksa”, memakai sistem Civil law yang bermuara pada legalitas belaka, yang terkadang sering tidak bermuara pada keadilan yang seutuhnya. 



DAFTAR PUSTAKA

Hartono, Pancasila; ditinjau dari segi historis, cetakan pertama, 1992
Lukoni Huda, Filsafat Hukum dan Perannya dalam Pembentukan Hukum di Indonesia, www.badilag.net
Lab.pancasila.um.ac.idwp...03filsafat-pancasila-mpr-ub-2010.doc.
Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tudjuh Jakarta, 1980
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua , Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006
Mulyono, Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara eprints.undip.ac.id.3_artikel
Oesman Oetojo, Pancasila Sebagai Ideologi; dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, BP-7 Pusat, 1990
Sudjito Bin Atmoredjo, materi perkuliahan pascasarjana magister hukum bisnis





[1] Lukoni Huda, .Filsafat Hukum dan Perannya dalam Pembentukan Hukum di Indonesia, www.badilag.net, hal.1

[2] Lukoni Huda, Op.cit.hal 3-5
[3] Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua , Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006. hal 13
[4].Ibid.hal 24

[5] Hartono, Pancasila; ditinjau dari segi historis, cetakan pertama, 1992,hal 90-92
[6] Oesman Oetojo, Pancasila Sebagai Ideologi; dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, BP-7 Pusat, 1990, hal.88-89

[7] Sudjito Bin Atmoredjo, materi perkuliahan pascasarjana magister hukum bisnis
[8] Oesman Oetojo, Op.cit.hal.133-134
[9] Lukoni Huda, Op.cit.hal 11
[10] Ibid.hal 8-9
[11] Hartono, Op.cit.hal  92-93
[12] Lukoni Huda, Op.cit.hal 11-12
[13] Mulyono, Dinamika Aktualisasi Nilai Pancasila Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara eprints.undip.ac.id.3_artikel. hal 47-50
[14] Lukoni Huda,Op.cit.hal 14-15

KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH BENDAHARAWAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan konsep “Negara hukum” sekarang ini telah menghasilkan Negara hukum kese...