BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Secara garis besar fungsi pada alat pemerintahan terbagi 2, yaitu: fungsi
memerintah (besturen functie), dan fungsi
pelayanan (verzogen functie). Adapun tugas pemerintah
Indonesia sebagaimana yang terlukis dalam Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945
sebagai berikut :
1)
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia.
2)
Memajukan kesejahteraan umum.
3)
Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4)
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Guna
merealisir fungsi Negara atau lebih dikenal dengan tujuan Negara tersebut
diatas, memerlukan berbagai sarana dan prasarana dalam menunjang dan memudahkan
pelayanan terhadap masyarakat. Sarana tersebut antara lain dapat berupa, Pertama, sumber daya manusia (man power) yang berupa keterampilan dan
kemampuan aparatur Negara yang ada, dengan disesuaikan pada tingkat pendidikan
keuangan dan benda. Kedua, Keuangan (money) yaitu untuk belanja aparatur Negara
dalam keperluannya misalnya gaji, membeli alat-alat tulis, dan lain-lain.
Sedangkan benda (in natura) merupakan
fasilitas-fasilitas Negara guna memperlancar kerja aparat di dalam menjalankan
fungsinya melayani masyarakat, seperti : kendaraan dinas, rumah dinas, gedung
perkantoran, dan sebagainya. Benda-benda Negara tersebut kemudian terbagi atas
dua, yaitu: (1) berbentuk tanah; dan (2) barang dan jasa.
Berkaitan hal
tersebut diatas, Leon Duguit yang merupakan murid dari Proudhon, lalu
memberikan tiga (3) konsep berpikir tentang kedudukan Negara terhadap benda,
antara lain :
1.
Semua benda Negara tujuannya untuk memenuhi kepentingan umum;
2.
Kemampuan untuk memenuhi kepentingan umum dari benda itu
berbeda-beda;
3.
Bunyi teorinya : “kedudukan hukum Negara terhadap benda
berbanding terbalik dengan kemampuan benda itu dalam memenuhi kepentingan
umum”.
B.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah
sebagai berikut : “Bagaimanakah Kedudukan Hukum Negara Terhadap Benda Menurut
Teori Leon Duguit Dan Aplikasinya Di Indonesia?”
BAB II
PEMBAHASAN
A. KEDUDUKAN HUKUM NEGARA TERHADAP BENDA
Negara dalam
menjalankan tujuan kesejahteraan bagi rakyatnya, yaitu dengan berperan
sebagai aparat pemerintah dalam menjalankan berbagai aktifitas sesuai dengan
fungsinya, sangatlah memerlukan sarana yang mutlak demi menunjang terlaksananya
roda pemerintahan. Sarana mutlak yang dimaksudkan salah satunya ialah berbentuk
in natura (benda). Namun, tidak serta
merta Negara menjadi pemilik dari benda tersebut, oleh karena itu sarana yang
berbentuk benda itu kemudian memerlukan pengaturan lebih lanjut agar tidak
menimbulkan kekuasaan yang absolut dari Negara terhadap benda itu. Sehingga
terhadap timbulnya pengaturan tersebut menciptakan ilmu hukum baru, yaitu hukum
benda Negara (public domain/public
natural law).
Menurut Prof.
Muchsan[1] Hukum Benda Negara atau public natural law ialah rangkaian
peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara benda dan Negara dalam
rangka melaksanakan fungsinya.
Berdasarkan
definisi diatas, maka dapat diuraikan beberapa unsur dari pengertian hukum
benda Negara, yaitu :
1.
Kumpulan peraturan hukum, berarti meliputi hukum tertulis
(UUPA) dan tidak tertulis (hukum adat).
2.
Yang yang diatur khusus, antara hubungan benda dan Negara, ini
berarti bicara tentang bagaimana kedudukan Negara terhadap benda.
3.
Benda-benda yang digunakan untuk melaksanakan fungsi Negara.
Dalam menjalankan fungsi, Negara mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi memerintah
dan fungsi pelayanan, maka benda-benda itu kemudian digunakan dalam
melaksanakan fungsi Negara.
Yang
terpenting dari penjelasan tersebut diatas adalah unsur kedua, yaitu kedudukan hukum Negara terhadap benda
tersebut. Kedudukan hukum Negara terhadap benda dapat dilihat dari 2 (dua)
sudut pandangan, yaitu:
a)
Dari segi teoritis, yaitu pandangan-pandangan atau doktrin
para ahli; dan
b)
Dari segi yuridis, yaitu peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
Menurut suatu
pendapat yang sejak dahulu (sejak awal abad ke-19) diterima umum di Negeri
Perancis dan dibeberapa Negara lain, maka mengenai kedudukan hukum dari
kepunyaan Negara itu harus diadakan pembagian dalam :
1.
Kepunyaan privat (domaine
prive);
2.
Kepunyaan publik (domaine
public);
Yang pertama membuat teori semacam ini ialah Guru Besar
bangsa Perancis yang bernama Proudhon.[2]
Pertama, kepunyaan privat meliputi
benda-benda yang dipakai oleh aparat pemerintah dalam melakukan tugas-tugasnya.
Kemanfaatan benda-benda tersebut secara langsung lebih digunakan lebih
digunakan aparat pemerintah (jarang dipakai oleh umum); seperti : kebun-kebun, rumah
dinas, gedung badan usaha Negara dan sebagainya.
Kedua, Kepunyaan publik meliputi
benda-benda yang disediakan oleh pemerintah untuk dipakai oleh masyarakat.
Kemanfaatan benda-benda tersebut dapat dinikmati secara langsung oleh
masyarakat umum, seperti jalan umum,
jembatan, pelabuhan, lapangan olah raga dan sebagainya (termasuk
kantor-kantor pemerintah untuk melayani publik).[3]
Menurut
Proudhon pula, karena kepunyaan publik itu tidak tunduk pada hukum perdata
biasa maka kedudukan pemerintah terhadap domaine
public itu bukanlah sebagai eigenaar
(pemilik) melainkan hanya sebagai pihak yang menguasai (beheren) dan mengawasi.[4]
Prof. Muchsan[5] kemudian menjelaskan pendapat
Proudhon mengenai kedudukan hukum Negara terhadap benda ialah hanya sebatas
sebagai pelindung (la protection).
Oleh karena Negara hanya sebagai pelindung, maka Negara dianggap memiliki
kedudukan yang terhormat, akan tetapi kewenangan Negara terhadap benda sangat
kecil. Hal tersebut didasari dari hipotesa yang dikemukakan oleh Proudhon, yaitu “semakin besar kekuasaan Negara maka akan semakin kecil kekuasaan
rakyat, atau sebaliknya semakin kecil kekuasaan Negara maka semakin besar
kekuasaan rakyat”.
Selanjtnya, Leon
Duguit kemudian memberikan tiga (3) konsep berpikir untuk melengkapi pemikiran
dari Proudhon tentang kedudukan Negara terhadap benda, antara lain :
1.
Semua benda Negara tujuannya untuk memenuhi kepentingan umum;
2.
Kemampuan untuk memenuhi kepentingan umum dari benda itu
berbeda-beda;
3.
Bunyi teorinya : “kedudukan hukum Negara terhadap benda berbanding
terbalik dengan kemampuan benda itu dalam memenuhi kepentingan umum”.
Kemudian, Leon
Duguit sebagaimana yang dikutip oleh Prof.Muchsan,[6] menjelaskan bahwa kemampuan
benda dalam memenuhi kepentingan umum dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
bagian, yaitu:
a)
Sempurna, seperti: Pasar Malioboro Yogyakarta dimana berbagai
lapisan masyarakat dapat terpenuhi kepentingannya;
b)
Sedang, seperti: gedung fakultas hukum UGM dimana hanya
lapisan masyarakat tertentu yaitu civitas UGM saja yang dapat menikmati benda
Negara tersebut; dan
c)
Kurang, seperti: mobil dinas yang hanya diperuntukkan bagi
aparat pemerintah tertentu dengan jabatan yang dimiliki.
Berdasarkan
pengelompokkan kemampuan Negara diatas, Leon Duguit kemudian memberikan angka
presentase (%), yang menunjukan bahwa kedudukan hukum Negara terhadap benda
berbanding terbalik dengan kemampuan benda itu dalam memenuhi kepentingan umum,
yakni jika angkanya antara 51%-100%, dapat dikatakan: ”sempurna”, sehingga
kedudukan negara terhadap benda menunjukan fungsi “Negara sebagai pelindung”;
dan jika angkanya 31%-50%, disebut : “sedang”, dalam artian bahwa kedudukan
negara terhadap benda memberi fungsi : “Negara sebagai penguasa”; serta jika angkanya
antara 0%-30%, maka disebut : “kurang”,
dan sebagai konsekuensinya maka kedudukan Negara terhadap benda memberi fungsi
: “Negara sebagai pemilik”.[7]
Untuk
jelasnya, bahwa kemampuan benda Negara dalam memenuhi kepentingan umum bersifat
sempurna apabila kedudukan hukum Negara sebagai pelindung. Kemampuan benda
dalam memenuhi kepentingan umum sedang, jika kedudukan hukum Negara ialah sebagai
penguasa atas benda. Kemampuan benda dalam memenuhi kepentingan umum menjadi
sangat kurang apabila kedudukan hukum Negara terhadap benda sebagai pemilik.
B. APLIKASI KEDUDUKAN HUKUM NEGARA TERHADAP BENDA DI
INDONESIA MENURUT TEORI LEON DUGUIT
Menurut hukum positif
Indonesia pemerintah/Negara tidak bisa disebut pemilik (eigenaar) atas benda-benda obyek agraria. Secara yuridis formal UU
No.5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria (aslinya : Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria) telah menegaskan bahwa : “Dengan berlakunya UUPA maka buku
II BW sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik dinyatakan dicabut”.
Selain itu UUPA mencabut Agrarische Wet
tahun 1870 (UUPA zaman Hindia Belanda), Domain
Verkelaring (tanah-tanah yang tak dapat dibuktikan sebagai hak eigendom,
menjadi milik Negara) dan Koninklijk
Besluit dengan peraturan pelaksanaannya (hak eigendom keagrarian).
Dengan adanya
ketentuan yang ditegaskan dalam awal diktum UUPA itu maka di Indonesia tidak
dikenal adanya pemilikan oleh Negara terhadap publik domein agraris, tetapi
hukum di Indonesia hanya mengenal “hak menguasai”.
Jadi jelasnya
berdasarkan UUPA, Negara Indonesia dalam bidang keagrarian tidak mengenal domein verkelaring (tanah tak bertuan
menjadi milik Negara); yang dikenal hanyalah hak menguasai oleh Negara.
Dasar mengenai
hak menguasai oleh Negara ini secara sangat mendasar ditentukan dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Selanjutnya, Pasal 2 UUPA menyatakan bahwa : “Bumi, air dan
ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan
tinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.
Sedangkan, Pasal 2 ayat (2) menyatakan bahwa yang dimaksud
hak menguasai oleh Negara adalah kewenangan untuk :
1.
Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.
2.
Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3.
Menentukan dan mengatur hubungan- hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.[8]
Wewenang yang bersumber pada hak menguasai Negara tersebut
digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang
merdeka, berdaulat, adil dan makmur (Pasal 2 ayat 3).[9]
Berkaitan
dengan kewenangan Negara untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan; adapun
cara perolehan hak atas tanah demi kepentingan umum oleh Negara, yaitu berupa :
(1)
Pencabutan hak atas tanah;
(2)
Pembebasan hak atas tanah;
(3)
Pengadaan tanah;
(4)
Tukar-menukar tanah;
(5)
Pelepasan hak atas tanah.
Selain itu,
adapun benda-benda Negara berupa barang dan jasa. Menurut Adrian Sutedi,[10] Pengadaan dan jasa publik
adalah kegiatan pemerintah untuk memperoleh sumber daya dan material dalam
rangka melaksanakan fungsinya. Pengadaan barang dan jasa publik juga dapat
digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan atau hasil pembangunan dalam
bidang sosial dan ekonomi.
Howlett dan Ramesh kemudian membedakan
barang/jasa menjadi empat (4) macam barang/jasa, antara lain:
a.
Barang/jasa privat
Ini adalah barang/jasa yang derajat ekslusivitas dan derajat
keterhabisannya sangat tinggi, seperti misalnya makanan atau jasa potong rambut
yang dapat dibagi-bagi untuk beberapa pengguna, tetapi yang kemudian tidak
tersedia lagi untuk orang lain apabila telah dikonsumsi oleh seorang pengguna.
b.
Barang/jasa publik
Ini adalah barang/jasa yang derajat ekslisivitas dan derajat
keterhabisannya sangat rendah, seperti misalnya penerangan jalan atau keamanan,
yang tidak dapat dibatasi penggunaannya, dan tidak habis meskipun telah
dinikmati oleh banyak pengguna.
c.
Peralatan publik
Peralatan publik ini kadang-kadang disebut juga sebagai
barang/jasa semi publik, yaitu barang/jasa yang tingkat ekslusivitas tinggi,
tetapi keterhabisannya rendah. Contoh barang/jasa semi publik adalah jembatan
atau jalan raya yang tetap masih digunakan pengguna lain setelah dipakai oleh
seorang pengguna, tetapi yang memungkinkan untuk dilakukan penarikan biaya kepada
setiap pemakai.
d.
Barang/jasa milik bersama
Barang/jasa milik bersama adalah barang/jasa yang tingkat
eksklusivitasnya rendah, tetapi tingkat keterhabisannya tinggi. Contoh
barang/jasa milik bersama adalah ikan di laut yang kuantitasnya berkurang setelah
terjadi pemakaian, tetapi yang tidak mungkin dilakukan penarikan biaya secara
langsung kepada orang yang menikmatinya.[11]
Barang/jasa
sebagai benda Negara dapat pula diklasifikasikan sebagai barang/jasa publik yaitu
seperti pengelolaan air dan jalan raya.
1. Pengelolaan Air
Kedudukan hukum Negara
terhadap benda selain tanah, misalnya pengelolaan air bersih untuk kepentingan
umum yang diatur di dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, UU No. 11/1974 tentang
Pengairan yang kemudian diperbaharui
lagi dalam UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air.
Dalam Pasal 6 UU No. 7/2004
menyebutkan kedudukan hukum Negara sebagai yang menguasai air dan dipergunakan
sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.
UU Sumber Daya Air mengatur
hal-hal pokok dalam pengelolaan sumber daya air, dan meskipun UU SDA membuka
peluang peran swasta untuk mendapatkan hak guna usaha air dan izin. Akan tetapi
Negara tetap dalam kuasa melaksanakan hak penguasaan atas air, agar tidak
mengakibatkan penguasaan air jatuh pada
pihak swasta, oelh karena itu Negara perlu untuk merumuskan kebijakkan (beleid), melakukan tindakan pengurusan (bestuursdaat), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (touzhicthoudendaad) (Mochtar, 2005). Posisi Negara dalam
hubungannya dengan kewajiban yang ditimbulkan berkaitan dengan air sebagai hak
asasi manusia sangat jelas, yaitu Negara harus member penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak manusia atas air (the right to water) (Irianto, 2005).[12]
2. Pengelolaan Jalan
Jalan merupakan benda publik
yang menduduki arti sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun
kehidupan sosial masyarakat. Pemerintah diberikan wewenang sebagai penguasa
dalam pengelolaan jalan berdasarkan hak menguasai Negara. Pengurusan jalan (administration of roads) merupakan
salah satu tugas pemerintah yang paling utama/penting didalam rangka pelayanan
kepada kemasyarakatan (staatzorg,
staatsbemoienis).
Negara bertanggungjawab atas
penyediaan fasilitas umum yang layak yang harus diatur dengan undang-undang
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat 3 dan ayat 4 UUD 1945. Undang-undang
yang lahir dari ketentuan tersebut diatas adalah UU No. 13 Tahun 1980 Tentang Jalan,
yang kemudian disempurnakan lagi dengan dikeluarkannya UU No. 38 Tahun 2004
tentang Jalan.
Mengenai konsep penguasaan Negara
atas jalan, baik dalam UU No.13 Tahun 1980 (Pasal 1 ayat 2, Pasal 6 ayat 1 dan
Pasal 7 ayat 1 dan 2) dilanjutkan dalam Pasal 13 UU No.38 Tahun 2004.
Penguasaan atas jalan ada pada Negara. Penguasaan oleh Negara tersebut memberi
wewenang kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk melaksanakan
penyelenggaraan jalan (Pasal 13 UU No.38 Tahun 2004.[13]
Selanjutnya, mengenai bagaimana cara pemerintah memperoleh
benda-benda publiek domein dapat dilakukan
melalui :[14]
1.
Cara hukum keperdataan
Yaitu pemerintah melakukan
perubahan status hukum dari benda-benda yang semula dikuasai oleh orang atau
badan hukum perdata menjadi publiek
domein berdasarkan cara-cara peralihan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan dibidang hukum keperdataan, misalnya jual beli, tukar
menukar, sewa menyewa, atau menggunakan lembaga daluwarsa. Manakala pemerintah
bertindak menggunakan cara ini, pemerintah yang memiliki dual function bertindak dalam kapasitas sebagai pelaku hukum
perdata (civil actor). Meskipun
demikian, seringkali peratura-peraturan dibidang hukum publik dalam batas
tertentu dapat mempengaruhi tindakan hukum pemerintah tersebut. Misalnya,
menyangkut pembatasan penggunaan anggaran, tata cara pengadaan (antara lain
dengan menggunakan mekanisme tender), dan lain-lain. Masyarakat seringkali
lebih merasa diuntungkan apabila pemerintah melakukan tindakan hukum untuk
memperoleh benda-benda publiek domein
melalui cara-cara hukum perdata. Hal itu disebabkan antara lain instrumen hukum
perdata lebih memberikan jaminan perlindungan hukum bagi masyarakat karena
melalui prosedur kesepakatan instrumen hukum perdata lebih lebih biasa
dipergunakan dalam hubungan hukum antar warga masyarakat, dan sebagainya.
2.
Melalui cara hukum publik
Yaitu pemerintah melakukan
perubahan status hukum dari benda-benda
yang semula dikuasai oleh orang atau badan hukum perdata menjadi publiek domein berdasarkan cara-cara
peralihan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dibidang hukum publik.
Cara tersebut dilakukan misalnya melalui pencabutan hak atas tanah (onteigening), pembebasan hak (prijsgeving), dan pelepasan hak.
Melalui cara ini, pemerintah bertindak dalam kapasitas sebagai penguasa (overhead) yang memiliki wewenang
menguasai yang bersumber dari hak menguasai Negara. Apabila pemerintah
menggunakan cara-cara hukum publik, harus diimbangi dengan sistem perlindungan
hukum yang memadai bagi rakyat baik secara preventif (melalui hak inspraak) mapun melalui secara represif
melalui perintah pencabutan beschikking
oleh pejabat atasan atau oleh pengadilan administrasi. Pengambilan hak-hak
individual untuk diubah menjadi publiek
domein harus dilakukan dengan kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan
kompensasi bagi rakyat tidak mengalami kerugian/penurunan kualitas
kesejahteraan hidup sebagai akibat perubahan status hak-hak individual menjadi publiek domein.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :
Bahwa kedudukan
hukum negara terhadap benda menurut teori Leon Duguit ialah :
1.
Semua benda Negara tujuannya untuk memenuhi kepentingan umum;
2.
Kemampuan untuk memenuhi kepentingan umum dari benda itu
berbeda-beda;
3.
Bunyi teorinya : “kedudukan hukum Negara terhadap benda
berbanding terbalik dengan kemampuan benda itu dalam memenuhi kepentingan
umum”.
Untuk itu,
kemampuan benda Negara dalam memenuhi kepentingan umum bersifat “sempurna”
apabila kedudukan hukum Negara sebagai pelindung yaitu berkisar angka antara
51%-100%. Selain itu, kemampuan benda dalam memenuhi kepentingan umum bersifat “sedang”
apabila kedudukan hukum Negara yaitu Negara sebagai penguasa, ialah berkisar
angka antara 31%-50%. Serta jika kemampuan benda Negara dalam memenuhi
kepentingan umum bersifat “kurang” apabila kedudukan hukum Negara sebagai
pemilik, maka berkisar angka antara 0%-30%.
Bahwa kedudukan hukum negara terhadap benda
menurut teori Leon Duguit dalam aplikasinya di Indonesia, ialah menurut hukum
positif Indonesia pemerintah/Negara tidak bisa disebut pemilik (eigenaar) atas benda-benda obyek
agraria. Secara yuridis formal UU No.5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria.
Oleh karena itu, dengan adanya ketentuan yang ditegaskan dalam awal diktum UUPA
itu maka di Indonesia tidak dikenal adanya pemilikan oleh Negara terhadap
publik domein agraris, tetapi hukum di Indonesia hanya mengenal “hak menguasai.”
Dasar mengenai hak menguasai oleh Negara ini secara sangat mendasar ditentukan
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : “Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Bahwa selain tanah sebagai benda, adapun benda-benda Negara berupa
barang dan jasa Negara yang dapat pula diklasifikasikan sebagai barang/jasa
publik yaitu seperti pengelolaan air dan jalan raya.
1. Pengelolaan Air
Kedudukan hukum Negara terhadap benda selain tanah, misalnya
pengelolaan air bersih untuk kepentingan umum yang diatur di dalam UUD 1945
Pasal 33 ayat 3, UU No. 11/1974 tentang Pengairan yang kemudian diperbaharui lagi dalam UU No. 7/2004 tentang
Sumber Daya Air. Dalam Pasal 6 UU No. 7/2004 menyebutkan kedudukan hukum Negara
sebagai yang menguasai air dan dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran
rakyat.
2. Pengelolaan Jalan
Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas umum yang
layak yang harus diatur dengan undang-undang sebagaimana diamanatkan dalam
Pasal 33 ayat 3 dan ayat 4 UUD 1945. Undang-undang yang lahir dari ketentuan
tersebut diatas adalah UU No. 13 Tahun 1980 Tentang Jalan, yang kemudian
disempurnakan lagi dengan dikeluarkannya UU No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
DAFTAR PUSTAKA
Hadjon Philipus. M et.al, Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Kedua, Gajah Mada University Press Yogyakarta, 1993
MD Moh.Mahfud & Marbun
SF., Pokok-Pokok Hukum administrasi
Negara, Liberty, Yogyakarta, Cetakan Keempat 2006
Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha
Negata, Program Pasca Sarjana Magister Hukum KeNegaraan-UGM, Yogyakarta,
2012
Sutedi Adrian., Aspek hukum Pengadaan Barang Dan Jasa Dan
Berbagai Permasalahannya, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2009
Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi Negara, Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008
Utrecht E, Pengantar Hukum Administrasi Negara
Indonesia, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986
[1] Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program Pasca
Sarjana Magister Hukum KeNegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012
[2] Utrecht E, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Pustaka Tinta Mas,
Surabaya, 1986, hlm.238
[3]
MD Moh.Mahfud &
Marbun SF., Pokok-Pokok Hukum
administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, Cetakan Keempat 2006, hlm.141
[5] Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan.., Op.cit.
[6] Ibid.
[7] Prof.Muchsan berpendapat bahwa jika “Negara sebagai pemilik” ini
berarti “pemilik semu (pseudo eigenaar)” bukanlah pemilik sesungguhnya, karena
Negara hanya menguasai bukan memiliki benda. Oleh karena itu, menurut beliau
tidak tepat jika tanah Negara dipasang pengumuman/di cap sebagai “tanah milik
negara”
[8] MD Moh.Mahfud & Marbun SF., Pokok-Pokok Hukum..,Op.cit.hlm.146-147
[9] Hadjon Philipus. M et.al, Pengantar
Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Kedua, Gajah Mada University Press Yogyakarta, 1993, hlm.183
[10] Sutedi Adrian., Aspek hukum Pengadaan Barang Dan Jasa Dan
Berbagai Permasalahannya, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta, 2009, hlm.48
[11] Tjandra W. Riawan., Hukum Administrasi Negara, Universitas
Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008, hlm. 96-97.
[12] Ibid. hlm.130
[13] Ibid. hlm.131-133
[14] Ibid.hlm.92-93