Kamis

PENGGUNAAN ASAS DISKRESI DALAM PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DI INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Pembangunan yang terus – menerus dilakukan untuk mewujudkan tujuan nasional seperti yang dimaksudkan dalam Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 menyebabkan peranan hukum semakin mengedepankan. Namun demikian, intesitas serta kesibukan dalam upaya untuk menyusun suatu tatanan kehidupan yang baru di Indonesia, melalui pembangunan dan modernisasi, ternyata telah memberikan pengaruh terhadap dunia hukum.
Dalam rangka mensejahterahkan masyarakat, terjadi hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang erat antara pemerintah dengan rakyatnya. Dengan perkataan lain, pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service). Dengan adanya fungsi “public service” ini, berarti pemerintah tidak saja melaksanakan peraturan perundangan – undangan itu sendiri. Oleh karenanya pemerintah berhak menciptakan kaidah hukum konkrit yang dimaksudkan guna mewujudkan tujuan peraturan perundang – undangan.[1]
Selanjutnya, keterlibatan hukum yang semakin aktif ke dalam persoalan – persoalan yang menyangkut perubahan sosial, justru memunculkan permasalahan yang mengarahkan penggunaan hukum secara sadar dan aktif sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan yang baru tersebut. Hal ini tampak pada segi pengaturan oleh hukum, baik dari aspek legitimasinya, maupun aspek keefektifan penerapannnya.[2]
Diberikannya tugas pelayanan publik itu membawa suatu konsekuensi yang khusus bagi administrasi negara. Agar dapat menjalankan tugas penyelenggaraan kesejahteraan umum, maka administrasi negara memerlukan kemerdekaan untuk dapat bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri, terutama dalam penyelesaian soal-soal genting yang timbul tiba-tiba dan yang peraturannnya belum ada, yaitu belum dibuat oleh badan-badan kenegaraan yang diserahi fungsi legislatif. Dalam hukum administrasi Negara disebut dengan “pouvoir discrectionnaire” atau “freies ermessen” atau asas diskresi. Istilah ini mengandung kewajiban dan kekuasaan yang luas, yaitu terhadap tindakan yang akan dilakukan dan kebebasan untuk memilih melakukan atau tidak tindakan tersebut.

B.     PERUMUSAN MASALAH     
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Penggunaan Asas Diskresi Dalam Pembentukan Produk Hukum Di Indonesia?”
 


BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN FREIES ERMESSEN / ASAS DISKRESI
Istilah freies ermessen atau (pouvoir discretionnaire, Perancis) berasal dari bahasa Jerman. Kata freies diturunkan dari kata frei dan freie yang artinya : bebas, merdeka, tidak terikat, lepas dan orang bebas. Sedangkan kata ermessen mengandung arti mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, dan keputusan. Jadi secara etimologis, freies ermessen dapat diartikan sebagai ”orang yang bebas mempertimbangkan, bebas menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan”. Selain itu istilah freies ermessen sepadan dengan kata discretionair, yang artinya menurut kebijaksanaan, dan sebagai kata sifat, berarti : menurut wewenang atau kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada undang-undang.
Dalam kepustakaan Ilmu Hukum Administrasi Negara telah banyak pakar yang memberikan batasan mengenai istilah ini. Prajudi Atmosudirdjo, mengatakan :
“….asas diskresi (discretie; freies Ermessen) artinya, pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan “tidak ada peraturannya”, dan oleh karena itu diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan asas legalitas…”
  
Senada dengan pendapat tersebut, Sjachran Basrah, mengatakan bahwa diperlukannya freies Ermessen oleh admnistrasi Negara itu :
“….dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri…., terutama dalam  penyelesaian persoalan – persoalan yang penting yang timbul secara tiba – tiba. Dalam hal demikian, administrasi Negara terpaksa bertindak cepat, membuat penyelesaian. Namun keputusan – keputusan yang di ambil untuk menyelesaiakan masalah itu, harus dapat dipertanggungjawabkan.”
Pada bagian lain dari buku tersebut, freies Ermessen itu di artikan sebagai “kebebasan bertindak dalam batas – batas tertentu” atau “keleluasan dalam menentukan kebijakan – kebijakan melalui sikap tindak administrasi Negara yang harus dapat dipertanggungjawabkan.” Amrah Muslimin, mengartikan freies Ermessen sebagai “lapangan bergerak selaku kebijaksanaannya” atau “kebebasan kebijaksanaan.”[3]
Menurut Saut P. Panjaitan, freies Ermessen adalah kebebasan atau keleluasan bertindak administrasi Negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri guna menyelesaikan persoalan – persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada, dan tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.[4]
Dari beberapa pendapat yang dikutip sebelumnya, pada hakikatnya tidak terdapat perbedaan yang prinsip, sebab inti hakikat yang dikandung adalah sama, yaitu adanya kebebasan bertindak bagi administrasi Negara untuk menjalankan fungsinya secara dinamis guna menyelesaikan persoalan – persoalan penting yang mendesak, sedangkan aturan untuk itu belum ada. namun harus diingat bahwa kebebasan bertindak administrasi Negara tersebut bukan kebebasan dalam arti yang seluas – luasnya dan tanpa batas, melainkan terikat pada batas – batas tertentu yang diperkenankan oleh hukum administrasi Negara.



B.     TINDAKAN ADMINISTRASI NEGARA DALAM FREIES ERMESSEN
Pejabat administrasi (bestuur) selaku pelaksana kebijakan politik negara mempunyai wewenang sebagaimana diperintahkan undang – undang. Berfungsi memimpin masyarakat, mengendalikan pemerintahan, memberi petunjuk, menghimpun aspirasi, menggerakkan potensi, memberi arah, mengkoordinasikan kegiatan, membuka kesempatan, memberi kesempatan, memberi kemudahan, mengawasi, menilai, mendukung, membina, melayani, mendorong dan melindungi masyarakat. Fungsi – fungsi tersebut harus diwujudkan dengan kepastian hukum dan perwujudan keadilan yang sesungguhnya. Untuk kesemuanya itu maka kearifan lokal harus menjadi fokus pembentukan hukum.
Apakah dalam bidang – bidang publik atau menyangkut kepentingan umum yang ada di tengah masyarakat itu semuanya dikelola, diurus, dan diatur pemerintah? Pada kenyataannya, dalam berbagai bidang itu tidak selalu demikian. Intensitas intervensi pemerintah itu juga berbeda – beda bidang satu dengan lainnya. Dalam hal perkawinan, misalnya, intervensi pemerintah itu (melalui organ Depag; KUA) hanya pada pencatatan belaka. Dalam hal lainnya, dapat terjadi intervensi pemerintah itu hanya terbatas dalam pemberian izin, misalnya dalam hal kuasa pertambangan, izin usaha, dan lain – lain. Dengan demikian, lalu apa kriteria untuk menentukan bahwa bidang atau urusan itu merupakan urusan pemerintahan dan termasuk atau menjadi bagian hukum administrasi? Ada tiga kriteria untuk menentukan apa itu urusan pemerintahan, yaitu :
1)      Urusan itu merupakan bidang publik atau menyangkut kepentingan umum (algemen belang);
2)      Ada intervensi atau keterlibatan pemerintah secara langsung atau tidak langsung dalam urusan tersebut;
3)      Peraturan perundang – undangan memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengurus (besturen) dan mengatur (regelen) urusan tersebut.[5]
Hakikat fungsi pemerintah (pejabat administrasi) adalah sebagai pelayan masyarakat. Muaranya adalah kesejahteraan masyarakat yang dilandasi dengan kepastian hukum dan kesesuian substansi hukum dengan budaya hukum masyarakat. Hal ini disertai dengan struktur sebagai pelaksana hukum yang professional dan proporsional. oleh karena itu, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, pertama – tama harus di dukung dengan kemauan politik (political will). hal ini diwujudkan dalam bentuk norma hukum (political law) disamping penggunaan asas – asas umum pemerintahan yang layak sebagai pemungkas. Kaitannya dengan hal tersebut, Deอด Monchy berpendapat, untuk menjamin perlindungan hukum dari para warga dan demi “terlaksananya pemerintahan yang bersih, maka penyelenggara Negara tidak cukup dengan hanya berpegang pada norma undang – undang saja, tetapi juga berpedoman pada asas – asas umum pemerintahan yang layak”.[6]
Dengan adanya freies Ermessen menyebabkan administrasi Negara memiliki kekuasaan bertindak dalam menghadapi persoalan – persoalan mendesak dikarenakan aturannya belum ada, yang terwujud melalui kebijakannya. Pada dasarnya hal ini berarti bahwa administrasi Negara menentukan “apakah hukumnya” bagi persoalan tersebut, dan masalah ini erat kaitannya dengan masalah pertanggungjawabannya. Untuk melihat siapakah yang dapat dipertanggungjawabkan maka terlebih dahulu harus diketahui Badan administrasi Negara mana yang memiliki freies Ermessen : apakah legislatif, ekesekutif, atau yudikatif ? jadi, dengan adanya kepastian pemegang freies Ermessen ini, kita dapat memastikan pertanggunggjawabannya. Oleh karena itu maka perlu dijawab apakah atau siapakah yang dimaksud dengan administrasi Negara itu ?
Dari berbagai batasan mengenai administrasi Negara yang terdapat dalam pelbagai kepustakaan, Saut P. Panjaitan mengutip Pendapat Sjachran Basah yang mengatakan bahwa : “….administrasi Negara, yakni alat kelengkapan Negara (tingkat pusat dan daerah), yang menyelenggarakan seluruh kegiatan bernegara dalam menjalankan pemerintahan….”
Sekilas timbul kesan bahwa batasan diatas merupakan pengertian dalam arti yang luas. Akan tetapi bila kita pelajari secara seksama, ternyata kita dapati pengertian administrasi Negara dalam arti sempit. Sebab, deimikian menurut Sjachran Basah, meskipun dalam rangka “menjalankan seluruh kegiatan bernegara dalam menyelenggarakan pemerintahan” itu, administrasi Negara melakukan sikap tindakan yang berwujud trifungsi, namun hal tersebut janganlah digaduhkan atau dihubungkan dengan teori trias politica dari Montesquieu. Dengan perkataan lain sikap – tindak administrasi Negara yang berwujud trifungsi tadi ( yang berupa : membuat peraturan perundang – undangan dalam arti materiil yang bukan berbentuk Undang – Undang dan berderajat dibawah Undang – Undang, melakukan tindakan administrasi yang nyata dan aktif, serta menjalankan fungsi peradilan ) buakanlah dalam arti trias politica Montesquieu.[7]
Selanjutnya, bahwa adanya freies Ermessen ini mempunyai konsekuensinya sendiri dibidang perudang – undangan, yakni adanya penyerahan kekuasaan legislatif kepada pemerintah sehingga dalam keadaan tertentu dan/atau dalam porsi dan tingkat tertentu pemerintah dalam mengeluarkan peraturan perundangan (produk legislasi) tanpa persetujuan lebih dulu dari parlemen.
Menurut E.Utrecht, ada beberapa implikasi dalam bidang peraturan perundang – undangan yang bisa dimiliki oleh pemerintah berdasarkan freies Ermessen, yaitu : Pertama, kewenangan atas inisiatif sendiri yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundangan yang setingkat dengan undang – undang tanpa meminta persetujuan dari parlemen lebih dulu (contoh : lihat Pasal 22 UUD 1945). Kedua, kewenangan karena delegasi perundang – udangan dari UUD yaitu kewenangan untuk membuat peraturan perundang – undangan yang derajatnya lebih dari undang – undang dan berisi masalah – masalah untuk mengatur ketentuan – ketentuan yang ada didalam satu undang – undang (lihat Pasal 5 (2) UUD 1945).
Selain kewenangan atas inisiatif dan karena delegasi dalam bidang perundang – undangan ini, pemerintah juga mempunyai droit function, yaitu kekuasaan untuk menafsirkan (baik memperluas maupun mempersempit) sendiri mengenai ketentuan – ketentuan yang bersifat enunsiatif. Meskipun sebagai konsekuensi logis dari freies Ermessen pemerintah diberi kewenangan atas inisiatif, delegasi dan droit function dalam perundang – undangan, namun bukan berarti pemerintah boleh berbuat sewenang – wenang. Pemerintah dilarang melakukan tindakan – tindakan yang bersifat ­detournement de pouvoir (melakukan sesuatu diluar tujuan kewenangan yang diberikan) atau onrechtmatig overheidsdaad (perbuatan melawan hukum oleh penguasa), sebab setiap perbuatan pemerintah yang merugikan warganya karena ­detournement de pouvoir atau onrechtmatig overheidsdaad dapat dituntut dimuka hakim baik melalui peradilan administrasi Negara maupun melalui peradilan umum.[8]
Kewenangan untuk membuat ketentuan organik dari berbagai ketentuan peraturan perundang – undangan akan mewujudkan fungsi admnistrasi untuk menciptakan masyarakat madani, yakni masyarakat sejahtera. Landasan pemikiran yang demikian, akan melahirkan asumsi – asumsi, yaitu :
(1)   Bahwa pemberian kewenangan bebas atas dasar asas – asas umum pemerintahan yang layak adalah upaya untuk menghindari kebuntuan, perwujudan fungsi pemerintah, sebagai upaya mensejahterahkan rakyat. Tentunya harus di dukung oleh pelaksana hukum (law enforcement) yang professional ;
(2)   Memberi peluang para pejabat administrasi menggunakan wewenangnya sedemikian luas dan berpeluang keluar dari bingkai normatif, peluang untuk berwawasan kenegaraan dan kebangsaan, terbentuknya pemerintahan yang bersih dan berwibawa ;
(3)   Perubahan struktur kekuasaan pemerintah dengan meletakkan otonomi kepada daerah sebagai upaya memberdayakan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan asumsi, bahwa pemerintah daerah mampu dan kreatif dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kemauan politik dimaksud menguatkan alasan pentingnya penerapan asas – asas umum pemerintahan yang layak dan pengkajian kearifan lokal yang menjunjung tinggi harkat, martabat sebagai harga diri manusia untuk selanjutnya, dijadikan asas – asas hukum (rechtsbeginsel) dan dijadikan dasar kaidah hukum di Indonesia.[9]

Guna Mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa pemerintah perlu mematuhi dan melaksanakan Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) dalam penyelenggaraan pemerintah. Berkaitan dengan AAUPB, Muchsan (1992: 29-30) mengklasifikasikannya sebagai berikut :
(1)   Asas – asas prosedural yang murni, yakni asas – asas yang berkaitan dengan cara pembentukan suatu perbuatan administratif. Asas – asas ini terdiri dari (a) Asas that no man may judge in his own causa atau juga disebut asas likehood bias; (b) Asas audi et alteram partem; (c) Asas pertimbangan dari suatu perbuatan hukum administratif harus sesuai dengan konklusinya dan pertimbangan, serta konklusi tersebutharus berdasarkan fakta – fakta yang benar.
(2)   Asas yang berkaitan dengan isi/materi dari perbuatan hukum admisnistratif, meliputi (a). Asas kepastian hukum (the principle of legal security); (b).  Asas keseimbangan (the principle of proportionality); (c). Asas kecermatan/hati – hati (the principle of carefulness); (d). Asas ketajaman dalam menentukan sasaran (the principle of good object); (e). Asas permainan yang layak (the principle of fairplay); (f). Asas kebijakan (the principle of cleverness); (g). Asas gotong royong (the principle of solidarity).[10]
Dengan adanya freies Ermessen ini, maka administrasi Negara dapat menjalankan fungsinya secara dinamis dalam menyelenggarakan kepentingan umum, sehingga dalam mengahadapi hal – hal yang sifatnya penting dan mendesak yang aturannya belum tersedia itu, administrasi Negara atas inisiatifnya sendiri dapat langsung bertindak tanpa menunggu instruksi lagi. Jadi, administrasi Negara dapat langsung berpijak kepada asas kebijaksanaan. denagn demikian sifatnya adalah spontan.
Uraian diatas menunjukan bahwa freies Ermessen merupakan kekecualian terhadap asas legalitas dalam arti yang sempit dengan prinsip wetmatigeheid van bestuur – nya. Hal ini bukan berarti dikesampingkan sama sekali asas legalitas, karena sikap tindak administrasi Negara harus dapat di uji berdasarkan peraturan perundang – undangan lainnya yang lebih tinggi ataupun berdasarkan ketentuan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal ini tetap dipergunakan asas legalitas, hanya saja dalam pengertian yang lebih luas dan fleksibel yang tidak saja berdasarkan pada peraturan perundang – undangan yang tertulis, tetapi juga berdasarkan pada ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Hal ini tercermin dalam rumusan freies Ermessen menurut Saut P. Panjaitan, yang tercakup dalam kata – kata “dapat dipertanggungjawabkan.”
Sehubungan dengan hal itu, Prajudi Atmosudirdjo, menyatakan : “Diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari pada asas legalitas, yaitu asas hukum yang menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi Negara harus berdasarkan ketentuan undang – undang.”[11]

C. PENGGUNAAN ASAS DISKRESI (Freies Ermessen) DALAM PEMBENTUKAN PRODUK HUKUM DI INDONESIA
 Menurut Prof. Muchsan, S.H., didalam membuat suatu produk hukum aparat yang berwenang dapat menggunakan dua (2) dasar, yaitu :
1.      Wetmatig ( dasar hukum positif )
ini merupakan dasar yang ideal, karena produk hukum yang akan dibuat oleh aparat yang berwenang merupakan produk hukum yang berpatokan atau berlandaskan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi secara hirarki peraturan perundangan.
2.      Doelmatig ( kebijakan / kearifan lokal )
ialah produk hukum yang dibuat tanpa adanya landasan hukum peraturan perundang – undangan  yang lebih tinggi secara hirarki peraturan perundangan.
dasarnya diambil dari teori hukum yang dikenal adanya “Asas Diskresi (discrestionaire principle) atau disebut juga asas kebebasan bertindak, dan sebagai landasan hukumnya (diskresi) adalah : Algemene Beginselen Van Behoolijk Bestuur / The Principle Of Good Public Administration atau disebut : Asas –Asas Umum Pemerintahan Yang Baik.[12]
Pemberlakuan asas – asas umum pemerintahan yang layak / baik (Algemene Beginselen Van Behoolijk Bestuur) sebagai norma akan lebih mewujudkan fungsi dan tujuan hukum yang sesungguhnya dan berbagai instrumen bagi hakim dalam mempertimbangkan fungsi administrasi. oleh karena itu, penerapan Algemene Beginselen Van Behoolijk Bestuur, berfungsi sebagai :[13] 
(1)   Sebagai tali pengikat antara berbagai kaidah hukum yang akan menjamin keterpaduan kaidah hukum dalam suatu ikatan sistem;
(2)   Menjamin kaidah hukum dibentuk dan dilaksanakan sesuai dengan tujuan hukum, misalnya asas kecermatan untuk kepastian hukum;
(3)   Menjamin keluwesan (fleksibilitas) penerapan kaidah hukum pada situasi konkrit; dan
(4)   Sebagai instrumen untuk mengerahkan kaidah hukum. Hakim tidak boleh menerapkan suatu kaidah hukum yang bertentangan dengan asas hukum umum yang berlaku.

Namun, menurut Prof. Muchsan, S.H., terhadap penggunaan asas diskresi oleh aparat yang berwenang/administrasi Negara ternyata mengundang “dilema”, yaitu di satu sisi pejabat administrasi/aparat yang berwenang “harus mengeluarkan suatu keputusan” yang sifatnya/terlihat adanya perbuatan sewenang – wenang (karena tidak berdasarkan peraturan perundang – undangan), dan di sisi lain apabila pejabat administrasi/aparat yang berwenang “tidak mengeluarkan suatu keputusan”, maka tujuan pembangunan nasional (demi kesejahteraan) sulit dilakukan. Jadi, penggunaan asas diskresi tetap digunakan, akan tetapi penggunaannya harus dibatasi. Terhadap Pembatasan diskresi, beliau membaginya menjadi empat (4) syarat yang harus diperhatikan aparat berwenang/admnistrasi negara dalam menggunakan diskresi, yaitu :
(1)   Diskresi bisa digunakan apabila terjadi kekosongan hukum.
Contoh : Indonesia adalah Negara berkembang (developing country), tentunya hukum dan masyarakat ikut tumbuh berkembang, serta bergerak cepat. Dalam perkembangan yang begitu cepat tentunya terjadi kekosongan hukum, karena belum ada pengaturannya terhadap permasalahan baru, karena belum ada peraturan perundangan yang mengaturnya.
(2)   Adanya kebebasan penafsiran / intrepretasi.
Contoh : Pembuat undang – undang membuat suatu undang – undang yang dalam penjelasannya dikatakan “cukup jelas”, disitulah terjadi kebebasan untuk menafsirkannya.
(3)   Diskresi bisa digunakan apabila ada delegasi perundang – undangan (delegatie van wetgeving).
Contoh : Hinder Ordonantie (undang-undang gangguan), terdapat dalam satu Pasal yang menyatakan bahwa yang memberi ijin adanya perusahaan adalah kepala daerah, asal tidak menimbulkan bahaya (qwalijk). Unsur “bahaya” tersebut tidak dijabarkan dalam H.O. Jadi H.O. mendelegasikannya kepada kepala daerah untuk memberikan penjabarannya.
(4)   Diskresi bisa digunakan demi pemenuhan kepentingan umum.
Contoh : Kepres 55/1993 Tentang Pembebasan Hak Atas Tanah. dalam Kepres tersebut, kepentingan umum dijabarkan menjadi 12.[14]

Melihat perkembangan yang semakin cepat dalam masyarakat pada suatu Negara modern saat ini, maka dituntut pula kesiapan administrasi Negara untuk mengantispasi perkembangan yang terjadi itu. Dalam hal ini, sudah barang tentu asas legalitas ( dalam arti: wetmatigeheid van bestuur ) tidak dapat lagi dipertahankan secara kaku. Sebab administrasi Negara bukan hanya terompet dari suatu peraturan perundang – undangan, melainkan dalam melaksanakan tugasnya itu, mereka wajib bersikap aktif demi terselenggaranya tugas – tugas  pelayanan publik, yang semuanya itu tidak dapat ditampung dalam hukum yang tertulis saja. Oleh karenanya maka diperlukan freies Ermessen.
Apabila dihubungkan dengan pendapat Sjachran Basah terdahulu, maka implementasi freies Ermessen melalui sikap – tindak administrasi Negara ini dapat berwujud :
a)      Membentuk peraturan perundang – undangan dibawah undang – undangan yang secara materiil mengikat umum;
b)      Mengeluarkan beschikking yang bersifat konkrit, final dan individual;
c)      Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif;
d)     Menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam hal “keberatan” dan “banding administratif.”


 BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :
Terhadap penggunaan asas diskresi dalam pembentukan produk hukum di Indonesia, yaitu pada dasarnya diskresi muncul karena adanya tujuan kehidupan bernegara yang harus dicapai, tujuan bernegara dari faham negara kesejahteraan adalah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara Indonesia-pun merupakan bentuk negara kesejahteraan modern yang tercermin dalam pembukaan UUD 1945. Dalam paragraf keempat dari pembukaan UUD 1945 tersebut tergambarkan secara tegas tujuan bernegara yang hendak dicapai. Untuk mencapai tujuan bernegara tersebut maka pemerintah berkewajiaban memperhatikan dan memaksimalkan upaya keamanan sosial dalam arti seluas-luasnya. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah harus aktif berperan mencampuri bidang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (public service) yang mengakibatkan administrasi negara tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun bertindak dengan dalih ketiadaan peraturan perundang-undangan (rechtsvacuum). Oleh karena itu untuk adanya keleluasaan bergerak, diberikan kepada administrasi negara (pemerintah) suatu kebebasan bertindak yang seringkali disebut fries ermessen (Jerman) ataupun pouvoir discretionnaire (Perancis).
Kebebasan bertindak sudah tentu akan menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya menyimpangi asas legalitas dalam arti sifat ”pengecualian” jenis ini berpeluang lebih besar untuk menimbulkan kerugian kepada warga masyarakat. Oleh karena itu terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Batasan toleransi dari diskresi ini dapat disimpulkan dari pemahaman yang diberikan oleh Prof. Muchsan, S.H.,yaitu : Diskresi bisa digunakan apabila terjadi kekosongan hukum, adanya kebebasan penafsiran / intrepretasi, diskresi bisa digunakan apabila ada delegasi perundang – undangan (delegatie van wetgeving), dan diskresi bisa digunakan demi pemenuhan kepentingan umum.

B.     SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa dalam hal ada suatu aturan yang mengatur tentang hal tertentu, akan tetapi aturan tersebut tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, maka Badan/Pejabat administrasi pemerintahan yang berwenang disarankan untuk menggunakn diskresi dengan mencari alternatif/upaya lain yang tidak melanggar hukum dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB). Dalam hal ada suatu aturan yang mengatur tentang hal tertentu, dan aturan tersebut dapat dilaksanakan, maka tidak boleh dilakukan diskresi, akan tetapi menerapkan aturan yang berlaku.
Bahwa Penulis sependapat dengan pendapat Prof. Muchsan, S.H., yang mengatakan bahwa diskresi sebaiknya bisa digunakan apabila terjadi kekosongan hukum, adanya kebebasan penafsiran / intrepretasi, diskresi bisa digunakan apabila ada delegasi perundang – undangan (delegatie van wetgeving), dan diskresi bisa digunakan demi pemenuhan kepentingan umum.




DAFTAR PUSATAKA

Fahmal Muin H.A, Peran Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Kreasi Total, 2008
Marbun SF, dkk, Dimensi – Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi, UII Press, Yogyakarta, 2011
MD Mahfud,Moh & Marbun SF, Pokok – Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,Yoyakarta, 2000
Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981
_______, Catatan Materi Perkuliahan Politik Hukum Program Magister Hukum UGM, 2011
Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi Dan Peradilan Administrasi, FH UII Press, Yogyakarta, 2009
Sunggono Bambang, Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994
Tjandra Riawan W, Peradilan Tata Usaha Negara; Mendorong Terwujudnya Pemerintahan Yang bersih Dan Berwibawa, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2009








[1]Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal.3
[2] Sunggono Bambang, Hukum Dan Kebijaksanaan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal.1
[3] Marbun SF, dkk, Dimensi – Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi, UII Press, Yogyakarta, 2011,hal.108-109
[4] Ibid.hal.133-114
[5] Ridwan, Tiga Dimensi Hukum Administrasi Dan Peradilan Administrasi, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, hal.40
[6] Fahmal Muin H.A, Peran Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Kreasi Total, 2008, hal.101-103
[7] Marbun SF, dkk,Op.cit.hal 111-112
[8] MD Mahfud,Moh & Marbun SF, Pokok – Pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty,Yoyakarta, 2000, hal.46-47
[9] Fahmal Muin H.A,Op.cit.hal.105-106
[10] Tjandra Riawan W, Peradilan Tata Usaha Negara; Mendorong Terwujudnya Pemerintahan Yang bersih Dan Berwibawa, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hal.127-128
[11] Marbun SF, dkk,Op.cit.hal 114
[12] Muchsan, Catatan Materi Perkuliahan Politik Hukum Program Magister Hukum UGM, 2011
[13] Fahmal Muin H.A, Peran Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Kreasi Total, 2008, hal.85-86

[14] Muchsan, Catatan Materi Perkuliahan Politik Hukum Program Magister Hukum UGM, 2011

Rabu

KONSEKUENSI YURIDIS DARI KEMAJEMUKAN BANGSA INDONESIA TERHADAP PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Indonesia adalah bangsa besar yang terdiri atas berbagai suku, kebudayaan, dan agama. Kemajemukan itu merupakan kekayaan dan kekuatan yang sekaligus menjadi tantangan bagi bangsa Indonesia.Tantangan itu sangat terasa terutama ketika bangsa Indonesia membutuhkan kebersamaan dan persatuan dalam menghadapi dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para pendiri negara menyadari bahwa keberadaan masyarakat yang majemuk merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang harus diakui, diterima, dan dihormati, yang kemudian diwujudkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
 Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa dan budaya yang sangat majemuk. Implikasi dari kemajemukan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia adalah beragamnya pula sistem budaya dalam masyarakat, dan munculnya masalah kritikal. Yang dimaksud dengan sistem budaya adalah kepercayaan, nilai-nilai, dan norma-norma untuk mengatur hubungan sosial masyarakat. Sistem budaya itu hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman bagi tingkah laku manusia dalam kehidupan. Kondisi demikian merupakan suatu fenomena yang harus dipahami dan dijadikan landasan dalam menentukan arah pembangunan hukum itu sendiri. Dalam masyarakat yang berubah diperlukan adanya suatu penelitian yang dan kajian terhadap fenomena perubahan itu sendiri, yang kemudian dijadikan landasan pembangunan hukum.


B.     PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimana Konsekuensi Yuridis Dari Kemajemukan Bangsa Indonesia Terhadap Pembangunan Hukum Nasional ?”


   
BAB II
PEMBAHASAN

A.    NEGARA SEBAGAI KESATUAN MASYARAKAT
Negara itu dipandang dari dua segi perwujudannya, yakni sebagai satu bentuk masyarakat yang memenuhi syarat – syarat tertentu dan / atau sebagai gejala hukum terbentuknya atau lahirnya suatu Negara, pun pula syarat –syarat berdirinya dan musnahnya suatu Negara itu ditentukan oleh hukum (national legal order) semata – mata. Sarjana yang berpendirian demikian itu antara lain Hans Kelsen, ia berpendapat bahwa persoalan mengenai permulaan dan pengakhiran adanya satu itu merupakan “legal Problem”, yang prinsipnya ditentukan oleh hukum internasional. Selanjutnya menurut Kelsen, yang dimaksud dengan “national legal order” itu ialah satu kesatuan atau sistem yang didukung dan berlaku (valid) bagi satu Negara, artinya yang melingkupi satu Negara itu dan unsur pokok, yakni wilayah (territory), penduduk atau rakyat (people) dan kekuasaan (power) yang mengatur dan menentukan kesatuan unsur – unsur lainnya (one territory, one people, one power). Kekuasaan yang sifatnya khas bagi Negara baik ke Dalam terhadap rakyat yang mendukungnya atau ke Luar terhadap pengakuan Negara – Negara lain itu dalam teorinya disebut Kedaulatan (sovereignty).
Pendapat lain yang memandang Negara itu sebagai satu bentuk masyarakat yang tertentu, antara lain C.F.Strong, yang menyatakan bahwa Negara  itu adalah satu masyarakat yang disusun secara politis (a state is society politically organised). Dalam hal ini perlu dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan “politically organised” ialah bahwa Negara itu dalam bentuk kekuasaannya didasarkan secara kenegaraan, seperti kata Kelsen atau “coercive order”.
Selain itu, Dr.J.H.A. Logmann melihat Negara itu sebagai satu gejala masyarakat, artinya satu bentukan yang tidak abstrak namun yang terbentuk menurut perkembangan sejarahnya, satu kenyataan historis yang mengadung dasar – dasar hukum pula. Negara menurut beliau adalah satu organisasi kekuasaan yang satu “gezagsorganisatie”, karena menurut pandangan formil Negara itu merupakan satu kesatuan dari pada fungsi – fungsi yang dapat bertindak ke luar, sebagai penguasa yang tugas dan lingkungan kewenangannya ditentukan oleh hukum, yakni hukum tata Negara. Tiap – tiap fungsi dalam organisasi Negara dalam kerangka positif dapat disebut “ambt” atau pegawai.
Pandangan Logmann tentang Negara itu sangat dekat dengan pandangan Prof.Mr.R. Kranenburg, dalam definisinya bahwa Negara itu adalah satu sistem dari pada semua fungsi – fungsi dan alat – alat perlengkapan yang mencakup satu wilyah tertentu. Dari sudut kemasyarakatannya Kranenburg memandang “staat” itu sebagai "groepsorganisatie”, suatu susunan kelompok manusia secara teratur menurut sejarah, yakni yang terjadi bila antara satu kelompok manusia yang menyatakan diri berdasarkan keadaan hidup yang sama (gelyke levensomstandigheden).
Jadi, dari berbagai pendapat secara singkat seperti yang diutarakan diatas, ialah pengertian ‘Negara’ baik yang didasarkan atas teori kemasyarakatan maupun berdasarkan sejarah dan / atau hukum yang murni itu, satu sama lain tidaklah ‘divergeren’ atau bertentangan, melainkan saling isi – mengisi, saling melengkapi, yakni bahwa pengertian Negara sebagai satu bentuk masyarakat yang memenuhi syarat tertentu tidak dapat mengabaikan unsur – unsur hukumnya, dan sebaliknya teori kenegaraan atas dasar hukum murni itupun tidak dapat mengelakan segi Negara itu sebagai satu kenyataan masyarakat (social reality).
Dasar – dasar Negara pada umumnya memiliki tiga unsur pokok yang obyektif bagi pengertian Negara, yakni wilayah, rakyat dan kekuasaan yang terorganisasi itu hanya merupakan dasar – dasar pemikiran Negara itu secara abstrak. untuk dapat memahami pengertian ‘negara’ itu sebagai satu ‘social reality’ diperlukan pengertian lebih lanjut tentang dasar – dasar Negara itu dalam bentuknya masing – masing yang sesungguhnya. Dengan perkataan lain, untuk mengenal Negara itu dalam bentuknya menurut kenyataan kenegaraan yang sifatnya beraneka ragam, perlu diselidiki mengenai dasar – dasar Negara itu menurut ketentuan dasar bentuk Negara itu masing – masing in concreto.
Dasar – dasar Negara itu sumbernya adalah terdapat perumusan norma – norma pokok yang merupakan ‘fundament’ dari pada bentukan Negara itu masing – masing di dalam sistem hukum dasar yang di sebut Konstitusi atau Undang – Undang Dasar. Berhubung dengan sifat konstitusi yang semacam itu Lord Bryce mendefinisikannya, bahwa konstitusi itu adalah ‘a frame of political society, organised through and by the law’. Dari definsi tersebut ternyata bahwa hukum dasar satu Negara itu dalam satu sistem konstitusionilnya dapat merupakan hukum yang tertulis (by the law), namun mungkin juga tak tertulis (through the law). Hukum dasar tak tertulis itu ialah banyak terdapat dalam sistem konstitusionil negara Inggeris, yang dikenal dengan istilah ‘convention’. Adapun isi konstitusi atau pokok – pokok kenegaraan yang diatur dalam konstitusi itu pada umumnya merupakan ‘principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relation between the two ar adjusted’, yakni dasar – dasar atau pokok – pokok mengenai kekuasaan pemerintah, hak – hak mereka yang diperintah serta hubungan antara pemerintah dan yang diperintah itu.
Sebagai suatu bentuk masyarakat yang mengandung unsur – unsur hukum, maka Negara dalam dasarnya itu mengandung pula pokok – pokok kemasyarakatan (maatschappelijke beginselen)  maupun pokok – pokok hukum (rechtsbeginselen) pula yang disebut juga asas –asas hukum tata Negara. Segala pokok atau asas kenegaraan itu diatur dan ditetapkan dalam Undang – Undang Dasar Negara untuk diselenggarakan lebih lanjut secara konsekuen dalam peraturan – peraturan hukum organik kenegaraan.[1]  


B.     KONSEP KEMAJEMUKAN BANGSA INDONESIA
J.S. Furnivall (1967), seorang sarjana bangsa Belanda yang banyak menulis tentang Indonesia, memberikan suatu gambaran tentang masyarakat majemuk ini, dia mengatakan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat dalam mana sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Suatu masyarakat adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat berbeda satu sama lain.
Masyarakat yang demikian ditandai oleh kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, oleh berkembangnya sistem nilai dari kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya dengan penganutan para anggotanya masing-masing secara tegar dalam bentuknya yang relatif murni,serta oleh sering timbulnya konflik-konflik sosial, atau setidak-tidaknya oleh kurangnya integrasi dan saling ketergantungn di antara kesatuan-kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya. Atau kalau kita ingin meminjam istilah Clifford Geertz (1989), maka masyarakat majemuk adalah merupakan masyarakat yang terbagi-bagi kedalam sistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, dalam mana masing-masing sub sistem terikat kedalam oleh ikatan-ikatan yang bersifat primordial.[2]
Dengan mengacu pada teori yang dikembangkan Van den Berghe, seolah menyatakan bahwa masyarakat majemuk tidak dapat digolongkan begitu saja ke dalam salah satu diantara dua jenis masyarakat menurut pendekatan Emile Durkheim (1966). Suatu masyarakat majemuk tidak dapat disamakan dengan masyarakat yang memiliki unit-unit yang bersifat segmenter, akan tetapi sekaligus juga tidak disamakan pula dengan masyarakat yang memilki diferrensiasi atau spesialisasi yang tinggi. Yang disebut pertama merupakan masyarakat yang terbagai-bagai ke dalam berbagai-bagai kelompok berdasarkan garis keturunan tunggal, akan tetapi memiliki struktur kelembagaan yang bersifat homogeneous. Yang disebut kedua, sebaliknya merupakan suatu masyarakat dengan tingkat deferrensiasi fungsional yang tinggi dengan banyak lembaga-lembaga kemasyarakatan, akan tetapi bersifat komplementer dan saling tergantung satu sama lain. Di dalam keadaan yang demikian, menggunakan terminologi Emile Durkheim, maka Van den Berghe menyatakan bahwa baik solidaritas mekanis yang diikat oleh kesadaran kolektif maupun solidaritas oraganis yang diikat oleh saling ketergantungan di antara bagian-bagian dari suatu sistem sosial, tidak mudah dikembangkan atau ditumbuhkan dalam masyarakat yang bersifat majemuk.
Untuk lebih memperjelas gambaran tentang masalah-masalah keanekaragaman yang ada pada masyarakat Indonesia ini; dilakukan dua bentuk pendekatan, yaitu menurut pendekatan fungsionalisme struktural dan pendekatan konflik di bawah ini.

1. Pendekatan Struktural Fungsional
Dalam pandangan struktural fungsional bahwa suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi di atas landasan dua hal berikut; pertama, suatu masyarakat senantiasa terintegrasi di atas tumbuhnya konsensus diantara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental. Kedua, Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi juga oleh karena berbagai anggota masyarakat sekaligus menjadi anggota berbagai-bagai kesatuan sosial (cros-cutting affiliations); oleh karena dengan demikian setiap konflik akan terjadi di antara suatu kesatuan sosial dengan kesatuan-kesatuan sosial yang lain segera akan dinetralisir oleh adanya loyalitas ganda (cross-cutting loyalities) dari para anggota masyarakat terhadap berbagai-bagai kesatuan sosial.
Apabila kita mengikuti pandangan dasar dari para penganut fungsionalisme struktural, mulai dari Auguste Comte melalui Emile Durkheim sampai Talcott Parsons dan para pengikutnya, maka faktor yang mengintegrasikan masyarakat Indonesia tentulah berupa kesepakatan dari para warga masyarakat Indonesia akan nilai-nilai umum tertentu. Mengikuti pandangan Parsons, maka kelangsungan hidup masyarakat Indonesia tidak saja menuntut tumbuhnya nilai-nilai umum tertentu yang disepakati bersama oleh sebagian besar orang-orang Indonesia, akan tetapi lebih daripada itu nilai-nilai umum tersebut harus pula mereka hayati benar melalui proses sosialisasi.
Pada tingkat tertentu keduanya tentu saja mendasari pula terjadinya integrasi sosial pada masyarakat yang bersifat majemuk, oleh karena tanpa keduanya suatu kehidupan bersama bagaimanapun tidak mungkin terjadi; segmentasi dalam bentuk terjadinya kesatuan-kesatuan sosial yang terikat kedalam oleh ikatan-ikatan primordial dengan sub kebudayaan yang berbeda satu sama lain, mudah sekali menimbulkan konflik diantara kesatuan-kesatuan sosial tersebut. Sekurangnya akan muncul dua tingkatan konflik dari keadaan ini , yaitu : pertama, konflik yang dalam tingkatannya bersifat ideologis; merupakan bentuk konflik antara sistem nilai yang dianut oleh para anggotanya serta menjadi ideologi dari berbagai-bagai kesatuan sosial; dan kedua, konflik yang dalam tingkatannya bersifat politis, merupakan bentuk-bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan, dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas di dalam masyarakat. Didalam situasi konflik, maka sadar atau tidak sadar setiap fihak yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh solidaritas ke dalam diantara sesama anggotanya, membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan untuk keperluan kesejahteraan dan pertahanan bersama.; mendirikan sekolah-sekolah untuk memperkuat identitas kultural, bersaing di dalam bidang pendidikan, sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya.

2. Pendekatan Konflik
Keterangan-keterangan yang dikemukakan oleh teori fungsionalisme struktural berkaitan dengan proses integrasi dalam masyarakat majemuk sebenarnya cukup membingungkan, hal itu berkisar pada apabila konflik dianggap potensial di dalam masyarakat yang bersifat majemuk, dan apabila konsensus hanya dapat tumbuh dalam derajat yang terbatas, maka bagaimana mungkin suatu masyarakat majemuk dapat bertahan dalam waktu yang panjang ?
Menurut pendekatan konflik, integrasi sosial di dalam masyarakat majemuk akan bisa dilaksanakan menurut dua keadaan, yaitu : pertama, integrasi sosial bisa terwujud atas dasar paksaan (coercion) dari satu kelompok atau kesatuan sosial yang dominan atas kelompok-kelompok atau kesatuan-kesatuan sosial yang lain; dan kedua, integrasi sosial itu bisa terwujud karena adanya saling ketergantungan diantara berbagai kelompok atau kesatuan sosial dalam bidang ekonomi.
Pandangan para penganut pendekatan konflik tersebut memperoleh kebenarannya terutama di dalam konteks masyarakat Indonesia pada masa penjajahan, dimana sejumlah kecil orang-orang kulit putih, yaitu melalui kekuatan militer dan kekuatan politiknya, menguasai sejumlah besar pendapatan nasional. Dalam derajat tertentu pandangan tersebut juga memiliki kebenarannya untuk melihat keadaan masyarakat Indonesia sesudah jaman kemerdekaan, di mana kelemahan-kelemahan daripada mekanisme pengendalian konflik-konflik sosial selama ini telah mengundang hadirnya kesatuan atau kekuatan sosial yang dominan untuk sedikit banyak memaksakan kekuasaannya untuk menjamin agar sistem sosial tetap dapat berfungsi.
Disisi lain, pandangan fungsionalisme struktural memperoleh pembenaran sendiri, oleh karena bagaimanapun juga pemaksaan tersebut akan tetap berada di dalam batas konsensus masyarakat mengenai nailai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental; di luar itu maka hubungan-hubungan kekuasaan akan melahirkan terjadinya perpecahan atau bahkan hancurnya masyarakat Indonesia.[3]
Sifat majemuk masyarakat Indonesia memang telah menjadi sebab dan kondisi bagi timbulnya konflik –konflik yang sedikit banyak bersifat lingkaran setan (vicious circle), dan yang oleh karenanya mendorong tumbuhnya proses integrasi sosial diatas landasan coercion. Akan tetapi di lain fihak, proses integrasi tersebut juga terjadi di atas landasan konsensus bangsa Indonesia mengenai nilai-nilai fundamental tertentu. Kelahiran bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, sangat jelas menunjukkan betapa nasionalisme Pancasila telah menjadi daya spiritual yang sejak awal mempersatukan bangsa Indonesia.
Dalam kajian tentang masyarakat majemuk pada masyarakat Indonesia, Furnivall membaginya menjadi dua periode, yaitu pada masa kolonial dan pada masa setelah kemerdekaan. Pada masa kolonial digambarkan bahwa masyarakat Indonesia terdiri atas sejumlah tatanan sosial yang hidup berdampingan tetapi tidak berbaur, namun menurutnya kelompok Eropa, Cina dan pribumi saling melekat laksana kembar siam dan akan hancur bilamana dipisahkan

1. Masa penjajahan Belanda
Pada masa penjajahan, konflik yang bersifat horisontal antara golongan-golongan yang mempunyai latar belakang ras dan agama yang berbeda, sekaligus merupakan konflik yang bersifat vertikal antara golongan orang Eropa sebagai lapisan kelas atas masyarakat dengan golongan Timur Asing (khususnya golongan Tinghoa) sebagai golongan menengah, dan golongan pribumi sebagai lapisan bawah yang dikuasai. Dengan perkataan lain, dimensi ras dan agama yang membedakan berbagai-bagai golongan di dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu bertemu sekaligus dengan dimensi stratifikasi sosial.
Didalam situasi yang demikian, maka bentuk coercion dianggap satu-satunya faktor yang berfungsi mengintergrasikan masyarakat Indonesia pada waktu itu. Dengan sebuah perumpamaan, Furnivall menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda laksana suatu konfederasi antara sejumlah negara, yang dipersatukan oleh suatu perjanjian atau di dalam batas-batas suatu konstitusi semata-mata demi tujuan-tujuan tertentu; namun keadaan ini akan tidak dapat disebut sebagai suatu union, oleh karena masing-masing hidup di dalam kehidupan sendiri-sendiri sebagai bagian-bagian yang terpisah satu sama lain. Apabila bagian-bagian suatu union terintegrasi secara sukarela dengan kemungkinan bagi setiap bagian untuk menarik diri pada setiap saat secara sukarela pula, maka bagian-bagian dari masyarakat Indonesia pada masa Hindia-Belanda terintegrasi semata-mata oleh kekuasaan kolonial dan oleh paksaan dari suatu kekuatan ekonomi tertentu; tanpa coercion ini maka masyarakat Hindia-Belanda sebagai keseluruhan akan punah oleh anarki.

2. Masa kemerdekaan
Keadaan masyarakat Indonesia setelah masa pendudukan Hindia-Belanda tidak separah seperti pada masa itu, konflik yang ditemukan sesudah revolusi kemerdekaan bukanlah konflik antara golongan-golongan yang bersifat eksklusif, melainkan konflik antara golongan yang sedikit banyak bersifat silang-menyilang (cross-cutting). Sesudah revolusi kemerdekaan, konflik antara golongan–golongan di dalam masyarakat Indonesia berubah menjadi tidak bersifat eksklusif lagi; perbedaan suku bangsa, yang pada masa penjajahan lebih merupakan perbedaan ras, tidak lagi jatuh berhimpitan dengan perbedaaan-perbedaaan agama, daerah, dan pelapisan sosial.
Dengan perkataan lain, perbedaan-perbedaan suku bangsa , agama, daerah, dan pelapisan sosial saling silang-menyilang satu sama lain, keadaan mana menghasilkan suatu bentuk keanggotaaan golongan yang bersifat silang menyilang pula. Cross cutting affiliation yang demikian telah menyebabkan konflik-konflik antara golongan di Indonesia menjadi terlalu tajam. Kalaupun kemudian misalnya terjadi konflik antar suku bangsa, maka keadaan itu akan segera tereduksi oleh bertemunya loyalitas keagamaan, daerah dan pelapisan sosial dari para anggota sukubangsa yang terlibat dalam pertentangan tersebut; demikian juga sebaliknya, apabila yang terjadi adalah konflik antara agama, daerah, atau pelapisan sosial.
Oleh karena cross cutting affiliation senantiasa menghasilkan cross cutting loyalities itulah maka sampai pada suatu tingkat tertentu masyarakat Indonesia juga terintegrasi di atas dasar tumbuhnya perbedaan-perperbedaan suku bangsa, agama, daerah, dan pelapisan sosial yang bersifat silang menyilang (cross-cutting). Adalah oleh karena kurang dimilikinya sifat-sifat itu, maka konflik antara golongan Tionghoa dengan golongan-golongan lainnya yang bisa disebut sebagai golongan pribumi, mudah sekali terjadi, bahkan tidak jarang menjadi konflik yang menimbulkan kekerasan; sebagai mana kita ketahui bersama, lebih dari golongan-golongan yang lain, maka golongan Tionghoa adalah yang paling bersifat eksklusif dilihat dari sudut agama, tempat tinggal, dan pelapisan sosial. Namun demikian oleh kareana jumlah mereka tidak terlalu besar, keadaan ini tidak mengurangi besarnya peranan struktur kemasyarakatan yang bersifat silang-menyilang sebagai faktor yang dapat mengintegrasikan masyarakat secara keseluruhan.
Bersama-sama dengan tumbuhnya konsensus nasional mengenai nilai-nilai nasionalisme yang terwujud dalam Pancasila yang senantiasa bertanggapan secara dinamis dengan mekanisme pengendalian konflik-konflik yang bersifat coercive, maka struktur masyarakat Indonersia yang bersifat silang-menyilang itu telah menjadi landasan mengapa masyarakat Indonesia tetap dapat lestari dari masa ke masa, kendati ia harus mengarungi samudera yang penuh dengan gelombang dan badai pertentangan.[4]
Dengan cara yang lebih singkat, Pierre L. Van den Berghe (1967) menyebutkan beberapa karakteristik berikut sebagai sifat-sifat dasar dari suatu masyarakat majemuk, yakni :
(1)   Terjadinya segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok yang sering kali memiliki kebudayaan yang berbeda satu sama lain ;
(2)   Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer ;
(3)   Kurang mengembangkan konsensus diantara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar ;
(4)   Secara relatif seringkali mengalami konflik-konflik diantara kelompok yang satu dengan kelompok yuang lain ;
(5)   Secara relatif integarasi sosial tumbuh diatas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi;
(6)   Serta adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lain.

Setiap kehidupan bersama tentu akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi, dan dasarnya sangat sederhana, yaitu bahwa setiap orang memiliki potensi yang berbeda dengan orang-orang lainnya, baik dasar pengetahuan, pertimbangan, orientasi kepentingan, ataupun pengalaman. Keluarga, sebagai unit terkecil dari suatu kesatuan sosial, tidak selalu ada dalam keseimbangan, walaupun kedudukan-kedukan, peranan-peranan, serta nilai-nilai dan norma-norma yang ada di dalamnya diatur secara jelas; dalam keluarga, kontrol sosial antara anggota satu terhadap anggota lainnya relatif dapat dilaksanakan dengan mudah, tetapi tidak jarang terjadi pertentangan-pertentangan yang akhirnya menimbulkan hilangnya keutuhan keluarga yang berangkutan. Dalam kelompok sekecil keluarga pun keadaan persatuan dan perpecahan sangat memungkinkan terjadi, apalagi bila diimplementasikan dalam bentuk pengelompokkan yang lebih besar, tetangga, masyarakat, terlebih masyarakat multikultural.[5]
Masyarakat Indonesia yang memiliki keragaman nilai-nilai budaya sebagai dasar dalam berprilaku, dan telah menjadi sistem budaya, maka telah menjadi keharusan dalam kehidupan masyarakatnya terdapat norma-norma yang mengatur gerak langkah manusianya sebagai anggota masyarakat. Sebagai makhluk budaya, perilaku manusia memerlukan pedoman atau acuan dalam bertingkah laku. Oleh karena itu didalam melakukan tindakan-tindakan atau perilaku dalam kehidupannya, manusia dilingkupi oleh sistem nilai atau himpunan nilai-nilai. Sebagai wujud ideal kebudayaan yang memberi acuan manusia dalam berperilaku, nilai-nilai tersebut seolah-olah mempunyai tingkatan-tingkatan atau gradasi dalam kedudukannya. Pembahasan mengenai sistem nilai budaya terdahulu, merupakan inti yang menjiwai semua pedoman yang mengatur tingkah laku warga masyarakat yang bersangktuan. Pedoman tingkah laku yang dimaksudkan itu di antaranya adalah norma-norma yang hidup di masyarakat atau dikatakan juga sebagai norma sosial.


C.    TATANAN NILAI PANCASILA SEBAGAI KONSEKUENSI YURIDIS DARI KEMAJEMUKAN BANGSA INDONESIA
Manusia adalah insan yang hidup berkelompok (zoon politicon) yang menampilkan insan sosial (homo politicus) sekaligus aspek insan usaha (homo economicus), dalam arti bahwa naluri hidup berkelompoknya adalah untuk mencapai kesejahteraan bersamanya. Sebagai insan yang berpikir, maka berdasarkan iman, cipta, rasa dan karsanya seseorang akan memiliki pandangan hidup yang akan menjawab permasalahan yang berkaitan dengan hidupnya.
 Didalam kehidupan berkelompoknya, yang di Indonesia didalilkan dalam berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, maka masing – masing akan mengadakan penyesuaian – penyesuaian pandangan hidupnya sehingga terbentuklah pandangan hidup kelompok. Didalam kehidupan antar kelompok, maka apabila tidak terjadi suatu penggabungan kelompok, maka masing – masing anggota kelompok yakin bahwa pandangan hidup kelompoknya merupakan suatu kebenaran sejauh yang dapat dipikirkan oleh manusia, sehingga tumbuhlah falsafah hidup yang bersangkutan dari pandangan hidup berkelompok tersebut. Didalam kehidupan berkelompok tersebut meningkat menjadi bernegara, maka falsafah hidup tersebut disebut di dalam Rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia disebut sebagai filosofische grondslag dari pada Negara yang didirikan.
Falsafah hidup suatu bangsa akan menjelmakan suatu tata nilai yang di cita-citakan bangsa yang bersangkutan, ia membentuk keyakinan hidup berkelompok sekaligus menjadi tolak ukur kesejahteraan kehidupan berkelompok sesuai yang dicita-citakan bangsa yang bersangkutan. Sebagai yang dicita – citakan maka ia membentuk ide – ide dasar dari hal segala aspek kehidupan berkelompok. Kesatuan yang bulat dan utuh dari ide – ide dasar tersebut kita sebut ideologi. Dengan demikian suatu ideologi merupakan suatu kelanjutan atau konsekuensi logis dari pada pandangan hidup bangsa, falsafah hidup bangsa dan akan berupa seperangkat tata nilai yang dicita – citakan akan direalisir didalam kehidupan berkelompok.[6]
*      Tatanan nilai-nilai Pancasila yang dimaksud adalah sebagai berikut :
1.      Nilai materiil
Nilai ini adalah yang terindah, sifatnya pokok, tetapi kebutuhannya terbatas. Tuhan, Hukum semesta, dan alam menjamin berbagai kemudahan untuk memenuhi kebutuhan materiil. Nilai materiil itu harus di konkritkan, materi bukan sebagai tujuan, tetapi sebagai kelengkapan. (segala sesuatu yang mampu melahirkan kebahagiaan, baik secara fisik maupun lahiriah) Nilai-nilai materiil ini penting,tetapi hanya sebatas hal-hal tertentu.
2.      Nilai vital
Nilai-nilai yang berupa kemudahan-kemudahan bagi manusia, dalam rangka melakukan aktivitas-aktivitasnya. Nilai ini mengandung beragam kontekstual Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, ketertiban, kemakmuran. Hukum menjadi nilai vital yang tinggi. Pada nilai vital ini, kebutuhan materiil harus dapat terpenuhi, kebutuhan rohaniah juga harus terpenuhi.
3.      Nilai Rohaniah
a)      Nilai kebenaran / kenyataan
b)      Nilai estetika / keindahan
c)      Nilai moral / etika
Akhlak, melalui suatu tata cara yang santun dan sopan. Kaitannya dengan kepekaan terhadap hati.
Nilai moralitasnya : hukum harus bisa memberikan ketentraman dan kenyamanan terhadap manusia. Ketika ada hukum, kita merasa terlindungi, terjamin.
d)     Nilai religius / Ketuhanan
Nilai kerohanian merupakan nilai yang repenting, pada bagian-bagian di dalam pancasila. Setiap orang tentu pada ujung atau puncaknya akan mencari Tuhan,pencarian seperti ini ada yang dilakukan secara mudah atau sulit. Hukum harus memiliki nilai religius seperti ini, tidak boleh memisahkan dari nilai agama / Ketuhanan dengan mengatur segala sesuatunya di dalam dunia ini. Nilai kerohanian, nilai kebenaran (penting dalam aplikasinya di berbagai ilmu). Berbicara mengenai ilmu, berbicara kebenaran, sebagai nilai rohani yang dapat menentramkan hati kita.
*      Nilai – nilai tersebut diatas kemudian dioperasionalkan dalam bentuk norma.
a)      Nilai positif dioperasionalkan menjadi perintah
b)      Nilai negatif diperasionalkan menjadi larangan
c)      Sanksi / hukuman merupakan sarana untuk penegakan norma[7]
*   Undang – Undang Dasar 1945 menggunakan 2 (dua) cara didalam menentukan petunjuk – petunjuk tentang nilai – nilai  dasar tersebut :
a.       Yang pertama ialah dengan jelas diberikan petunjuk tentang suatu tatanan dasar;
b.      Nilai suatu tatanan dasar diserahkan pada Undang-Undang untuk merumuskannya, artinya dengan persetujuan (wakil) rakyat pula.
*      Beberapa tatanan dasar dengan petunjuk – petunjuknya adalah sebagai beikut :
a)      Tatanan bermasyarakat, nilai – nilai dasarnya ialah tidak boleh ada eksploitasi sesama manusia (penjajahan), berprikemnusiaan dan berkeadilan sosial (Alinea I Pembukaan).
b)      Tatanan bernegara, dengan nilai dasar merdeka, berdaulat, bersatu adil dan makmur (Alinea II Pembukaan)
c)      Tatanan kerja sama antar Negara atau tatanan luar negeri dengan nilai tertib dunia, kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Alinea IV Pembukaan)
d)     Tatanan pemerintahan daerah dengan nilai permusyawaratan dan mengakui asal usul keistimewaan daerah (Pasal 18)
e)      Tatanan keuangan Negara ditentukan dengan Undang – Undang (Pasal 23)
f)       Tatanan hidup beragama dengan nilai dasar dijamin oleh Negara kebebasannya serta beribadahnya dengan agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29)
g)      Tatanan bela negara, hak dan kewajiban warga Negara merupakan nilai dasarnya (Pasal 30)
h)      Tatanan pendidikan diatur dengan Undang – Undang (Pasal 31)
i)        Tatanan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat
j)        Tatanan hukum dan keikutsertaan dalam pemerintahan dengan nilai – nilai dasar kesamaan bagi setiap warga Negara dan kewajiban menjunjungnya tanpa kecuali (Pasal 27 ayat 1)
k)      Tatanan pekerjaan dan penghidupan, dengan nilai dasar harus layak dari segi kemanusiaan
l)        Tatanan budaya dengan nilai dasar, berdasarkan budaya daerah, menuju kemajuan adab, dan persatuan serta tidak menolak budaya asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
m)    Tatanan kesejahteraan sosial dengan nilai dasar kemakmuran masyarakat yang diutamakan dan bukan kemakmuran orang seorang
n)      Tatanan gelar dan tanda kehormatan diatur dengan Undang – Undang (Pasal 15)

Penjabaran nilai tersebut di atas menjadi suatu keharusan agar diperoleh suatu gambaran yang lebih konkrit dari setiap tatanan sehingga memudahkan perumusan haluan Negara ataupun pembangunan di setiap bidangnya.[8]
Pokok – pokok pikiran tentang hakekat, sifat dan bentuk Negara serta pemerintah Negara Republik Indonesia telah dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945. Pembukaan UUD 1945 merupakan jiwa Proklamaso Kemerdekaan 17 Agustus 1945 ialah jiwa Pancasila, mengandung empat (4) pokok pikiran, antara lain :
1)      Negara persatuan, ialah Negara  yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mengatasi segala faham golongan dan perorangan, mengakui segala agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini merupakan perwujudan sila ke-3 Pancasila.
2)      Negara bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dalam rangka mewujudkan Negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. dalam hal ini Negara berkewajiban memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadila sosial. Ini merupakan perwujudan sila ke-5 Pancasila.
3)      Negara berkedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Negara kita berkedaulatan rakyat mempunyai sistem pemerintahan demokrasi, yang kita sebut Demokrasi Pancasila. Ini merupakan perwujudan sila ke-4 Pancasila.
4)      Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Negara kita bukan Negara ‘atheis’ tetapi juga bukan ajaran ‘theokrasi’. Negara kita menjunjung tinggi semua agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini merupakan perwujudan sila ke-1 dan sila ke-2 Pancasila.[9]


D.    PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
Dalam suatu masyarakat yang sedang mengalami perubahan, dinamika masyarakat akan membawa pengaruh terhadap perubahan nilai di dalamnya, perubahan nilai akan mengubah cara pandang masyarakat yang pada gilirannya pada perubahan pola hidup, tingkah laku atau karakter masyarakat, yang apabila tidak dilakukan pengaturan, maka sangat mungkin terjadinya benturan-benturan kepentingan di antara mereka. Keadaan demikian merupakan suatu fenomena yang harus dipahami dan dijadikan landasan dalam menentukan arah pembangunan hukum itu sendiri. Pembangunan hukum tersebut harus dilakukan dalam konteks pembuatan peraturan perundang-undangan, maka idealnya adalah bahwa aturan yang dibuat tersebut akan lebih mudah mengimplementasikannya terhadap suatu kelompok masyarakat yang menjadi akar terbentuknya persatuan itu, dengan kata lain aturan hukum tersebut haruslah berakar dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam hubungan ini cita hukum Pancasila tidak bisa dilepaskan sama sekali dalam proses dalam pembangunan hukum itu.[10]
Sistem budaya Indonesia juga mengembangkan sistem normatif nilai-nilai dasarnya sendiri, yang tidak berakar secara utuh pada salah satu budaya masyarakat etnik atau tradisi keagamaan melainkan berakar pada semua sistem budaya yang ada. Nilai-nilai dasarnya telah dirumuskan menjadi ideologi Negara yakni Pancasila. Unsur pokok sistem normatif bangsa Indonesia adalah Undang-undang Dasar Negara. Sedangkan unsur-unsur penting lainnya dari sistem normatif itu adalah semua norma hukum resmi yang diharapkan diterapkan dan dipatuhi seluruh anggota masyarakat dalam kegiatan mereka sebagai warga negara Republik Indonesia. Norma-norma itu mengatur hak dan kewajiban semua warga Negara Indonesia dan siapa saja selama mereka tinggal di wilayah ini
Pancasila dalam kedudukannya sebagai dasar dan ideologi Negara yang tidak dipersoalkan lagi bahkan sangat kuat, maka pancasila itu harus dijadikan paradigma (kerangka berpikir, sumber nilai dan orientasi arah) dalam pembangunan hukum, termasuk semua upaya pembaharuannya. Pancasila sebagai dasar Negara memang berkonotasi yuridis dalam arti melahirkan peraturan perundangan yang tersusun secara hierarkis dan bersumber darinya; sddangakan pancasila sebagai ideologi dapat dikonotasikan sebagai program sosial politik tempat hukum menjadi salah satu alatnya dan karenanya juga harus bersumber darinya.
Beberapa alasan lain yang dikemukakan bahwa Pancasila harus menjadi paradigma dalam pembangunan hukum adalah :
1.      Penjelasan UUD 1945
Secara resmi, sejak amandemen UUD 1945 sebanyak empat kali, penjelasan UUD 1945 tidak lagi menjadi bagian UUD Indonesia. Tetapi, gagasan – gagasan yang terkandung di dalamnya tetaplah relevan untuk dijadikan sumber hukum materiil, bukan sumber hukum dalam artinya yang formal.
Menurut penjelasan UUD 1945, pembukaan menciptakan pokok – pokok pikiran yang terkandung dalam Pasal – Pasal UUD 1945 tersebut. Artinya, Pasal – Pasal pada Batang Tubuh UUD 1945 merupakan penjabaran normatif tentang pokok – pokok pikiran yang terkandung didalam Pembukaan UUD 1945. Pokok – pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan UUD dan merupakan cita hukum yang menguasai konstitusi (baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis). Dengan demikian, semua produk hukum dan penegakkannya di Indonesia haruslah didasarkan pada pokok pikiran yang ada didalam UUD 1945 termasuk, bahkan yang terutama, Pancasila. Pancasila itulah yang merupakan cita hukum. Pancasila dapat menjadi penguji kebenaran hukum positif sekaligus menjadi arah hukum positif tersebut untuk dikristalisasikan dalam bentuk norma yang imperatif untuk mencapai tujuan Negara. Dari sini dapat dimengerti bahwa cita hukum harus dapat dibedakan dari konsep tentang hukum: yang pertama terletak di dalam ide dan cita, sedangkan yang kedua merupakan kenyataan yang harus bersumber dari cita tersebut.



2.      TAP MPRS No.XX/MPRS/1966
Didalam tata hukum baru, TAP MPR/S sudah tidak dikenal, tetapi dasar pikiran tentang Pancasila yang dimuat dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 tetap cocok untuk menjelaskan kedudukan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 tetap dapat dijadikan sumber hukum materiil. Didalamnya disebutkan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, yang berarti bahwa semua sumber, produk dan proses penegakan hukum haruslah mengacu pada Pancasila sebagai sumber nilai utamanya. Selanjutnya dala TAP tersebut menyatakan bahwa : “sumber dari segala tertib hukum Indonesia adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita – cita hukum …”. Pandangan hidup, kesadaran dan cita – cita hukum ini dapat diambil dari sumber materiil yang historis, sosiologis, antropologis dan filosofis yang semuanya terkandung dalam nilai – nilai Pancasila. Dalam kaitan dengan sumber hukum formal haruslah diartikan bahwa sumber hukum formal apapun haruslah tetap bersumber pada Pancasila dan tidak keluar dari kandang nilai – nilainya; sebab sebagai sumber hukum materiil, Pancasila itu merupakan cita hukum yang harus mengalir pada seluruh produk hukum di Indonesia.

3.      Norma Fundamental Negara
Dasar – dasar pemikiran di atas diperkuat lagi oleh pandangan para pakar filsafat Notonagoro yang pada pidato Dies Natalis UGM 10 November 1955, menyebut Pancasila sebagai “norma fundamental Negara“ (staatsfundamentalnorm). Staatsfundamentalnorm merupakan norma tertinggi yang kedudukannya lebih tinggi dari pada UUD dan berdasarkan norma yang tertinggi inilah konstitusi dan peraturan perundang – undangan harus dibentuk. Menurut A. Hamid S. Attamimi, adalah Hans Nawiasky yang merupakan orang pertama dalam literatur menggunakan istilah staatsfundamentalnorm dan dengan sadar menyatakan tidak menggunakan istilah grundnorm, karena grundnorm telah digunakan untuk hukum dasar atau konstitusi. Grundnorm yang biasa dipakai untuk konstitusi ini menurut Nawiasky masih bisa berubah – ubah, misalnya karena pemberontakan, kudeta atau perubahan resmi yang cara dan prosedurnya ditentukan oleh konstitusi itu sendiri. Sedangkan kedudukan staatsfundamentalnorm lebih tinggi dari grundnorm, bahkan tidak dapat diubah. Inilah yang dapat menjelaskan mengapa secara filosofis kedudukan Pembukaan (yang didalamnya memuat Pancasila) itu dibedakan dari Batang Tubuh UUD 1945. Pancasila yang ada di dalam Pembukaan merupakan bagian dari staatsfundamentalnorm yang tidak dapat diubah, sedangkan Batang Tubuh UUD 1945 merupakan grundnorm yang meskipun sulit, dapat diubah dengan prosedur dan cara tertentu. Itulah sebabnya, ketika melakukan amandemen sampai empat kali UUD 1945, yang di amandemen hanya Batang Tubuh ke bawah. Istilah Batang Tubuh inipun sekarang dihapus, diganti dengan istilah “Pasal – Pasal”.

Sebagai Paradigma dalam pembaruan tatanan hukum, Pancasila itu dapat dipandang sebagai “cita hukum” maupun sebagai “staatsfundamentalnorm”. sebagai cita hukum, Pancasila dapat memiliki fungsi konstitutif maupun fungsi regulatif. Dengan fungsi konstitutifnya, Pancasila menentukan dasar suatu tata hukum yang member arti dan makna bagi hukum itu sendiri sehingga tanpa dasar yang diberikan oleh Pancasila itu, hukum akan kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum. Dan dengan fungsi regulatifnya, Pancasila menentukan apakah suatu hukum positif sebagai produk itu adil ataukah tidak adil. selanjutnya sebagai staatsfundamentalnorm, Pancasila yang menciptakan konstitusi, menentukan isi dan bentuk berbagai peraturan perundang – undangan yang lebih rendah yang seluruhnya tersusun secara hierarkis. Dalam susunan hierarkis ini, Pancasila menjamin keserasian atau tiadanya kontradiksi antara berbagai peraturan perundang – undangan baik secara vertikal maupun horizontal. Ini menimbulkan konsekuensi bahwa jika terjadi ketidakserasian atau prtentangan antara satu norma hukum dengan norma hukum yang secara hierarkis lebih tinggi, apalagi dengan Pancasila, berarti terjadi inkonstitusionalitas dan ketidaklegalan (illegality) dan karenanya norma hukum yang lebih rendah itu menjadi batal dan harus dibatalkan demi hukum.[11]



KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH BENDAHARAWAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan konsep “Negara hukum” sekarang ini telah menghasilkan Negara hukum kese...