Kamis

PENGAWASAN TERHADAP PRODUK HUKUM YANG BERBENTUK KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA MELALUI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat) bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Hal tersebut secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen ketiga yang menyatakan; “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Karena negara Indonesia merupakan negara hukum, tiap tindakan penyelenggara negara harus berdasarkan hukum. Peraturan perundang-undangan yang telah diadakan lebih dahulu, merupakan batas kekuasaan penyelenggaraan negara. Undang Undang Dasar yang memuat norma-norma hukum dan peraturan-peraturan hukum harus ditaati, juga oleh pemerintah atau badan-badannya sendiri. Selain itu Negara Indonesia juga menganut konsepsi negara kesejahteraan (welfare state), hal tersebut terdapat pada kewajiban pemerintah untuk mewujudkan tujuan-tujuan negara sebagaimana yang termuat dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Di dalam teori negara kesejahteraan (welfare state), untuk mewujudkan negara kesejahteraan sangat dituntut peran serta negara dalam mencampuri segala aspek kehidupan masyarakat. Sedangkan di dalam negara hukum, setiap aspek tindakan pemerintah baik dalam lapangan pengaturan maupun dalam lapangan pelayanan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan atau asas dapat melakukan tindakan pemerintahan tanpa dasar kewenangan. Sebagai konsekuensi negara Indonesia adalah negara hukum maka semua perbuatan negara atau pemerintah termasuk perbuatan dalam mencampuri masyarakat tersebut harus berdasarkan hukum yang berlaku. Oleh karena itu, tugas pemerintah dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadi sangat luas, bukan saja menjaga keamanan semata-mata melainkan juga secara aktif turut serta dalam urusan-urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan konsepsi tersebut diperlukan pemerintahan yang efektif, kuat dan bersih, serta kemerdekaan bertindak administrasi atas inisiatif sendiri, salah satunya dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
 Benturan kepentingan antara pemerintah dan warga masyarakat pasti akan ada, hal ini disebabkan campur tangan negara terhadap kegiatan-kegiatan individu dan masyarakat mempunyai kelemahan-kelemahan. Kekuasaan yang dimiliki oleh negara apalagi tidak dikontrol cenderung akan menjadi absolut, tirani dan diktator. Kondisi tersebut merupakan salah satu pertimbangan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yaitu untuk menyelesaikan sengketa yang kemudian timbul sebagai akibat terjadinya benturan kepentingan antara pemerintah dengan warga masyarakat. PTUN dalam hal ini bertugas melakukan kontrol dari segi hukum (legalitas) apabila ada sengketa, sehingga diperlukan penyelesaian dan atau pengawasan yudisial oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang akan menilai suatu KTUN itu melanggar atau tidak terhadap hak seseorang atau badan hukum perdata.

B.     PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Pengawasan Terhadap Produk Hukum Yang Berbentuk Keputusan Tata Usaha Negara Melalui Peradilan Tata Usaha Negara?”

BAB II
PEMBAHASAN


A.    DASAR HUKUM PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara)
Mengingat pentingnya PTUN, niat pemerintah untuk membentuk PTUN telah ada sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) baru merdeka, dengan dicantumkannya lembaga peradilan tata usaha negara dengan istilah peradilan tata usaha pemerintahan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman sebagai peraturan pelaksanaan dari Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, hal ini disebabkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24[1] tidak memerinci mengenai pembagian kekuasaan kehakiman melainkan memberikan kewenangan delegasi kepada undang - Undang untuk mengatur lebih lanjut mengenai rincian pembagian kekuasaan kehakiman dalam hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1948. Selanjutnya ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor II/ 1960 memerintahkan “diadakan peradilan administratif”[2]. Ketentuan mengenai Peradilan Tata Usaha Negara kemudian diatur lebih lanjut pada tahun 1964 dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana dalam Pasal 7 ayat (1) yang mencantumkan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu lingkungan Pengadilan, maka sebagai usaha melaksanakan ketentuan Pasal tersebut, LPHN menyusun kembali Rancangan Undang Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang kemudian dapat disahkan dalam sidang plenonya pada tanggal 10 Januari 1966, yang selanjutnya pada tahun 1967, DPRGR mengajukan usul inisiatif mengenai Rancangan Undang Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pada tahun 1970, diundangkan Undang Undang No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menggantikan Undang Undang No. 19 tahun 1964, dimana dalam Pasal 10 ayat (1) undang-undang tersebut juga menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan Tata Usaha Negara. Demikian pula dalam repelita II, ditetapkan perlunya dibentuk Peradilan Administrasi, maka diadakan usaha untuk membuat persiapan penyusunan undang-undang peradilan tata usaha negara. Sehubungan hal ini, Departemen Kehakiman dengan kerjasama UNPAD, mengadakan penelitian mengenai peradilan administasi negara. Demikian pula Persahi dalam Munas di Prapat pada tahun 1972 telah membahas permasalahan peradilan administrasi Negara di Indonesia. Dengan dicantumkannya RUU Peradilan Administrasi dalam Repelita, yang kemudian dimuat dalam Tap MPR No. IV/MPR/1978 menetapkan bahwa perlu diusahakan terwujudnya peradilan tata usaha negara, maka usaha kearah penyusunan RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara makin mendekati hasil yang nyata. Untuk merealisir Ketetapan MPR tersebut, BPHN menyusun naskah akademis tentang susunan, kekuasaan, dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Sementara itu Menteri Kehakiman membentuk Panitia Interdepartemen Penyusunan RUU Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan mendasarkan naskah tersebut, dan dari bahan hasil simposium, maka panitia menyusun RUU tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Kemudian pada tanggal 28-30 November 1978, Mahkamah Agung mengadakan lokakarya mengenai hubungan Mahkamah Agung dengan Badan-Badan Peradilan Tata Usaha Negara[3]. Setelah melalui proses panjang, dari uraian diatas selama lebih 22 tahun, gagasan penyusunan RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang dilakukan baik oleh pihak eksekutif, yudikatif, dan perguruan tinggi maupun dari kalangan profesi, maka baru pada tanggal 29 Desember 1986 dibentuk dan diundangkannya UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (LN 1986 No. 77 dan TLN No. 3344). Undang-undang inipun baru bisa diterapkan secara efektif setelah selama 5 tahun mengalami “slapende regeling”, dengan dikeluarkanya PP (Peraturan Pemerintah) No. 7 tahun 1991 tentang Penerapan Undang-undang No. 5 tahun 1986, yang dituangkan dalam LN 1991 No. 8 pada tanggal 14 Januari 1991.[4]
Oleh karena itu, keberadaan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dimulai dengan lahirnya Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 9 tahun 2004 dan Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 serta mulai beroperasi pertama kali pada tanggal 14 Januari 1991 dengan diterbitkan PP No.7 Tahun 1991 tentang penerapan Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang – Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1990 Tentang Pembentukan PT.TUN Jakarta, Medan dan Ujung Pandang serta Keppres No. 52 Tahun 1990 Tentang pembentukan PTUN Jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang, sekarang telah meliputi 4 Pengadilan Tinggi TUN serta 26 Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam Pasal 47 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang - Undang nomor 9 tahun 2004 dan Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 telah diatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan di Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan mengadili. Pengadilan TUN mempunyai kompetensi menyelesaikan sengketa tata usaha negara di tingkat pertama, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara untuk tingkat banding dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi dan peninjauan kembali.
Khusus untuk sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 48 Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan TUN sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang nomor 51 tahun 2009 maka Pengadilan Tinggi TUN dapat memeriksa, memutus dan menyelesaikannya sebagai badan peradilan tingkat pertama dan terhadap putusan PT.TUN tersebut tidak tersedia upaya hukum banding melainkan langsung mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.
Kompetensi (kewenangan) suatu badan Pengadilan untuk mengadili suatu perkara dapat dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi absolut. Kompetensi relatif berhubungan dengan kewenangan Pengadilan untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan wilayah hukumnya. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan Pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan peradilan administrasi yang berwenang untuk menilai keabsahan suatu Keputusan Tata Usaha Negara dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah, sebagaimana dimaksud pada Pasal-Pasal; 1 butir (b,c,d), 3, 47, 53, dan 97 ayat (9) UU No. 5/1986. Dalam Pasal 1 butir b disebutkan bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan butir c-nya menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Kemudian pada butir d dirumuskan bahwa Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk dalam sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam praktek, adanya kontrol ini sering juga dilihat sebagai sarana untuk mencegah timbulnya segala suatu bentuk tindakan atas penyimpangan tugas pemerintahan yang dilakukan dari apa yang telah digariskan dalam peraturan perundangan. Memang disinilah letak inti atau hakekat dari suatu pengawasan. Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara juga diartikan sebagai kecenderungan tekad pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi warga negara terhadap kekuasaan pemerintah dalam melaksanakan urusan pemerintahan.[5]

B.     PENGAWASAN YUDISIAL TERHADAP PRODUK HUKUM YANG BERBENTUK KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Pengawasan dalam perspektif hukum administrasi negara merupakan sarana untuk mendorong pemerintah agar mematuhi perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal itu diperlukan agar pemerintah tidak melakukan perbuatan yang melanggar tujuan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang – undangan.
Pejabat administrasi di dalam menjalankan tugas kewajibannya senantiasa melakukan perbuatan, yakni suatu tindakan bersifat aktif atau pasif yang tidak lepas dari kekuasaan yang melekat padanya karena inhaerent atau als zodanig dalam menunaikan tugas-jabatannya.[6] Dalam melaksanakan kewajibannya tersebut pejabat administrasi harus mempunyai kewenangan sebagai dasar hukumnya. Dalam hal demikian dapat kita katakan, bahwa[7] kekuasaan itu bersumber pada hukum, yaitu ketentuan - ketentuan hukum yang mengatur pemberian wewenang tadi. Berkenaan dengan kekuasaan ini, kita teringat akan pendapat John Emerick Edwed Dalberg Acton atau lebih dikenal dengan Lord Acton yang menyatakan bahwa : “power tends to corrupt and absolute power tends to corrupt absolutely.”
Sehubungan dengan pengertian pengawasan, Muchsan[8] berpendapat: “Pengawasan pada hakikatnya suatu tindakan menilai (menguji) apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan. Dengan pengawasan tersebut akan dapat ditemukan kesalahan-kesalahan yang akhirnya kesalahan-kesalahan tersebut akan diperbaiki dan yang terpenting, sampai kesalahan tersebut terulang kembali.” Perbuatan tercela yang dilakukan oleh aparat pemerintah, tendensinya akan menimbulkan kerugian bagi pihak yang terkena perbuatan tersebut. Demi keadilan perbuatan yang demikian ini pasti tidak dikehendaki adanya. Menyadari hal ini, Negara selalu akan berusaha untuk mengendalikan aparatnya, jangan sampai melakukan perbuatan tercela itu. Sehubungan dengan ini, diadakanlah suatu sistem pengawasan (control system) terhadap perbuatan aparat pemerintah, dengan tujuan untuk menghindari terjadinya perbuatan yang merugikan masyarakat, setidak-tidaknya menekan seminimal mungkin terjadinya perbuatan tersebut.[9]
Mengacu pada pendapat Muchsan tersebut, pengawasan yang dilakukan secara efektif merupakan prasyarat yang mutlak diperlukan untuk mendorong terwujudnya pemerintah yang bersih dan berwibawa. Hal ini disebabkan adanya sistem koreksi untuk meluruskan perbuatan pemerintah yang tercela merupakan upaya untuk mewujudkan akuntabilitas publik terhadap setiap perbuatan pemerintah yang bila dilaksanakan secara efektif, simultan dan objektif akan mampu mendorong terwujudnya pemerintah yang bersih dan berwibawa.
Sebagaimana pernah dikemukakan terdahulu bahwa dalam konsep negara kesejahteraan (welfare state), maka tugas pemerintah dalam menyelenggarakan kepentingan umum menjadi sangat luas, bukan hanya semata-mata menjaga keamanan, melainkan juga secara aktif turut serta dalam urusan-urusan kemasyarakatan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mewujudkan konsepsi tersebut, dalam melakukan tindakannya, pemerintah memerlukan keleluasaan (Freies Ermessen, Discretionair) dalam menentukan kebijakan-kebijakannya, dimana salah satunya dapat berupa Keputusan Tata Usaha Negara. Akan tetapi dalam suatu negara hukum adalah menjadi suatu syarat bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum, artinya sikap tindak pemerintah tersebut haruslah dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral maupun secara hukum.
Oleh karena sendi-sendi negara hukum tetap harus dipertahankan dan agar pada satu sisi tindakan pemerintah itu, serta dalam menyelenggarakan pemerintahan tidak keluar dari jalur negara hukum dan pada sisi lain warga negara atau masyarakat tetap dijamin perlindungan hak-hak asasinya, maka diperlukan sistem pengawasan. Dalam sistem ketatanegaraan di negara kita sesungguhnya sistem pengawasan terhadap perbuatan pemerintah dapat dilakukan dari dan atau oleh beberapa pihak, yaitu; instansi pemerintahan yang lebih atas, instansi yang mengambil keputusan itu sendiri, masyarakat melalui perwakilan (DPR RI/DPRD), instansi yang khusus ditunjuk untuk mengadakan pengawasan, dan juga peradilan tata usaha negara.
Dari beberapa pihak dan cara pengawasan tersebut di atas maka dapat dirinci dalam beberapa segi sebagai berikut:
(1). Ditinjau dari segi kedudukan suatu badan atau organ yang melaksanakan pengawasan:
a. pengawasan intern,
b. pengawasan ekstern.
(2). Ditinjau dari segi saat/waktu dilaksanakannya:
a. pengawasan preventif (a-priori),
b. pengawasan represif (a posteriori).
(3). Pengawasan dari segi hukum.[10]
Sejalan dengan pendapat diatas, Muchsan mengklasifikasikan pengawasan terhadap pemerintah meliputi pengawasan yuridis oleh lembaga peradilan, pengawasan fungsional oleh lembaga pengawasan fungsional seperti inspektorat jenderal, pengawasan politik oleh parlemen, pengawasan ombudsman dan pengawasan masyarakat (social control).[11] Sedangkan fungsi pengawasan dari Peradilan TUN dalam klasifikasi pengawasan-pengawasan tersebut, dapat diletakkan sebagai pengawasan secara yuridis (Juridicial and legal control).
Konsep dasar dari pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak dapat dipisahkan dari introduksi FJ. Stahl, seorang sarjana dari Jerman, tentang Konsep Negara Hukum (Rechstaat), dimana sebagai negara hukum harus memiliki unsur-unsur yaitu; (a) mengakui dan melindungi hak-hak asasi manusia; (b) untuk melindungi hak asasi tersebut maka penyelenggaraan negara harus berdasarkan pada teori Trias Politica; (c) yang dalam menjalankan tugasnya, pemerintah berdasar atas undang-undang; dan (d) apabila dalam menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang tersebut pemerintah masih melanggar hak asasi maka diperlukan adanya peradilan administrasi yang akan menyelesaikannya.[12]
Sebagai lembaga pengawas (judicial control), ciri-ciri yang melekat pada peradilan TUN adalah:[13]
1.      Pengawasan yang dilakukan bersifat “external control”, karena ia merupakan lembaga yang berada di luar kekuasaan pemerintahan.
2.      Pengawasan yang dilakukan lebih menekankan pada tindakan represif atau lazim disebut “control a posteriori”, karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol.
3.      Pengawasan itu bertitik tolak pada segi “legalitas”, karena hanya menilai dari segi hukum (rechmatigheid)-nya saja.
Dikaitkan dengan teori mengenai fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, apabila klasifikasi pengawasan yang diuraikan oleh Lotulung di atas dipergunakan untuk menganalisis fungsi pengawasan dari Peradilan TUN, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pengawasan dari Peradilan TUN meliputi:
(1)   Ditinjau dari segi kedudukannya, pengawasan dari Peradilan TUN bersifat ekstern, karena dilakukan oleh suatu badan atau lembaga yang secara organisatoris berada di luar struktur organisasi pemerintahan;
(2)   Ditinjau dari waktu/saat dilaksanakannya pengawasan, pengawasan dari Peradilan TUN bersifat a-posteriori, karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol; dan
(3)   Ditinjau dari dasar pertimbangan pengawasannya, pengawasan dari Peradilan TUN merupakan control segi hukum Karena hanya menggunakan dasar pertimbangan dari aspek hukumnya saja.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai sebuah badan peradilan, PTUN memiliki hukum formil atau hukum acara dan hukum materiil. Hukum materiil adalah hukum yang berisikan materi hukuman, sedangkan hukum formil adalah hukum yang mengatur tentang tata cara bagaimana melaksanakan hukum materiel.[14] Menurut Rozali Abdullah,[15] hukum acara PTUN adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya hukum tata usaha Negara (hukum administrasi negara).
Pada umumnya, secara teoritis cara pengaturan terhadap hukum formal dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:[16]
1.      Ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materielnya atau dengan susunan, kompetensi dari badan yang melakukan peradilan dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya.
2.      Ketentuan prosedur berperkara diatur tersendiri masing-masing dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainnya.
Apabila mengikuti penggolongan terhadap hukum formal di atas maka UU PTUN termasuk dalam kelompok yang pertama karena dalam UU PTUN tersebut memuat hukum materiil sekaligus hukum formil. Terkait dengan acara pemeriksaan di PTUN dapat dilakukan dengan acara pemeriksaan singkat, pemeriksaan persiapan, pemeriksaan permohonan penangguhan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), pemeriksaan dengan acara cepat dan pemeriksaan dengan acara biasa. Pengaturan mengenai acara pemeriksan di PTUN tersebut diatur dalam Pasal 53 sampai dengan Pasal 141 UU PTUN. Dalam pemeriksaan dengan acara biasa, sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa dari gugatan penggugat, terlebih dahulu melalui prosedur rapat permusyawaratan dan pemeriksaan persiapan, setelah melalui kedua prosedur itu tidak ada lagi alasan bagi hakim untuk menyatakan dalam suatu penetapan bahwa gugatan tidak dapat diterima atau tidak berdasar, maka selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa dengan acara biasa. Pemeriksaan dengan acara biasa ini diatur dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 97 UU PTUN. Pemeriksan dengan acara biasa ini dilakukan melalui beberapa tahapan, mulai dari tahap pembacaan surat gugatan (Pasal 74 ayat (1), tahap jawaban tergugat (Pasal 74 ayat (1), tahap replik (Pasal 75 ayat (1), tahap duplik (Pasal 75 ayat (2), tahap pembuktian (pada tahap pembuktian ini kepada pihak-pihak diberikan kesempatan mengajukan bukti-bukti surat atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, pengetahuan hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 100), Tahap kesimpulan (Pasal 97 ayat (1), tahap putusan (Pasal 97 ayat (1), Pasal 108 dan Pasal 109).
Terkait dengan pembuktian dalam PTUN, sistem pembuktian hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil, berbeda hukum acara perdata yang dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal. Dalam Pasal 107 UU PTUN disebutkan bahwa : “hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.” Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materiil. Berbeda dengan sistem pembuktian acara perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, hakim PTUN dapat menetukan sendiri apa yang harus dibuktikan, siapa yang harus dibebani pembuktian, apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim sendiri, alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian dan kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan.


C.    PENGAWASAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA BERDASARKAN ASAS – ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK TERHADAP KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA
Adanya kemerdekaan bertindak admnisitrasi atas inisiatif sendiri ini tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa antara pemerintah dan warga masyarakat, bahkan pelanggaran terhadap hak seseorang atau badan hukum perdata, sehingga diperlukan penyelesaian dan atau pengawasan yudisial oleh Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang akan menilai suatu KTUN itu melanggar atau tidak terhadap hak seseorang atau badan hukum perdata tadi. Dalam melakukan pengawasan yudisial ini menurut Kuntjoro Purbopranoto[17], berdasarkan hukum tak tertulis, dapat dilakukan melalui penormaan Asas Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) sebagai yang telah pernah disosialisasikannya, dimana menurut pendapatnya, selain asas pemerintahan yang layak dari Crince Le Roy sebanyak 11 butir, juga ditambah dengan asas kebijaksanaan dan asas penyelengaaraan kepentingan umum. Adapun asas pemerintahan yang layak menurut Crince Le Roy, dalam rangkuman kuliahnya pada penataran lanjut Hukum Tata Usaha Negara Tata Pemerintahan di Fakultas Hukum Airlangga tahun 1978, meliputi asas-asas; kepastian hukum, keseimbangan, bertindak cermat, motivasi, tidak boleh mencampuradukan kewenangan, kesamaan dalam pengambilan keputusan, permainan yang layak, keadilan atau kewajaran, menanggapi penghargaan yang wajar, meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal dan perlindungan atas pandangan hidup pribadi.[18]
Semula implementasi AAUPB dicarikan landasannya pada Pasal 27 ayat (1) UU No. 14/1970 jo UU No. 35/1999, dan Pasal 53.2 sub c UU No. 5/1986. Namun dalam perkembangannya telah diformulasikan adanya asas-asas umum pemerintahan negara yang baik melalui UU No. 28/1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka kiranya Peradilan Tata Usaha Negara dapat menggunakan momentum ini untuk mengefektifkan fungsi kontrolnya terhadap Pemerintah dalam rangka menegakkan supremasi hukum. Kontrol yudisial harus diletakkan sebagai premis untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat dan bersih. Melalui kontrol yudisial yang efektif dapat ditemukan value mengenai prinsip-prinsip pemerintahan yang bersih.
Guna mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa pemerintah perlu mematuhi dan melaksanakan Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) dalam penyelenggaraan pemerintah. Berkaitan dengan AAUPB, Muchsan[19] (1992: 29-30) mengklasifikasikannya sebagai berikut :
(1)   Asas – asas prosedural yang murni, yakni asas – asas yang berkaitan dengan cara pembentukan suatu perbuatan administratif. Asas – asas ini terdiri dari (a) Asas that no man may judge in his own causa atau juga disebut asas likehood bias; (b) Asas audi et alteram partem; (c) Asas pertimbangan dari suatu perbuatan hukum administratif harus sesuai dengan konklusinya dan pertimbangan, serta konklusi tersebut harus berdasarkan fakta – fakta yang benar.
(2)   Asas yang berkaitan dengan isi/materi dari perbuatan hukum admisnistratif, meliputi (a). Asas kepastian hukum (the principle of legal security); (b).  Asas keseimbangan (the principle of proportionality); (c). Asas kecermatan/hati – hati (the principle of carefulness); (d). Asas ketajaman dalam menentukan sasaran (the principle of good object); (e). Asas permainan yang layak (the principle of fairplay); (f). Asas kebijakan (the principle of cleverness); (g). Asas gotong royong (the principle of solidarity).
Selanjutnya, pemberlakuan asas – asas umum pemerintahan yang layak / baik (Algemene Beginselen Van Behoolijk Bestuur) sebagai norma akan lebih mewujudkan fungsi dan tujuan hukum yang sesungguhnya dan berbagai instrumen bagi hakim dalam mempertimbangkan fungsi administrasi. oleh karena itu, penerapan Algemene Beginselen Van Behoolijk Bestuur, berfungsi sebagai :[20] 
(1)   Sebagai tali pengikat antara berbagai kaidah hukum yang akan menjamin keterpaduan kaidah hukum dalam suatu ikatan sistem;
(2)   Menjamin kaidah hukum dibentuk dan dilaksanakan sesuai dengan tujuan hukum, misalanya asas kecermatan untuk kepastian hukum;
(3)   Menjamin keluwesan (fleksibilitas) penerapan kaidah hukum pada situasi konkrit; dan
(4)   Sebagai instrumen untuk mengerahkan kaidah hukum. Hakim tidak boleh menerapkan suatu kaidah hukum yang bertentangan dengan asas hukum umum yang berlaku.
Untuk itu, hakim Tata Usaha Negara dapat menemukan dan merumuskan AAUPB yang selanjutnya dijadikan pedoman bagi pemerintah dalam melaksanakan kewenangan Tata Usaha Negaranya. Tahapan penerapan AAUPB yang disebut juga asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL), menurut Hamidi adalah sebagai berikut:[21]
1) Tahap pengumpulan fakta, meliputi; proses administratif, merumuskan fakta, melakukan pembuktian. Tahap ini sering disebut tahap meng-konstantir
2) Tahap mengidentifikasikan hukum, terdiri atas; penilaian/pengujian fakta, kualifikasi hukum, proses penerapan hukum. Tahap ini disebut tahap mengkualifisir.
3) Tahap merumuskan AAUPL, dimana setelah membuat pertimbangan hukum, menentukan AAUPL yang dilanggar, menjatuhkan putusan. Tahap ini disebut tahap mengkonstituir.
Pada tahapan mengkonstantir diatas merupakan langkah induksi, sedangkan pada tahapan mengkualifisir dan mengkonstituir merupakan langkah deduksi. Sesungguhnya keberadaan AAUPB telah terakomodasi dalam Pasal 53 ayat (2) sub b dan c UU No. 5/ 1986, yaitu larangan penyalahgunaan wewenang dan larangan bertindak sewenang-wenang. Diluar yang telah diatur tersebut, Hakim TUN secara yurisprudensial dapat membentuk hukum untuk menetapkan berlakunya suatu AAUPB yang mengikat bagi pemrintah. Pembentukan AAUPB harus bertitik tolak dari fakta-fakta sengketa TUN seputar kebenaran materiil pembentukan suatu keputusan TUN melalui konstatasi, kualifikasi dan konstitusi. Undang-undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme secara normatif telah merumuskan asas umum pemerintahan negara yang baik sebagaimana dirumuskan di dalam Pasal 3, yaitu asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan, dan norma hukum, untuk mewujudkan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi kolusi dan nepotisme. Asas-asas umum penyelenggara negara meliputi: asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas. Dari rumusan Pasal tersebut, kiranya dapat juga melengkapi dasar penilaian terhadap keabsahan Keputusan Tata Usaha Negara oleh Hakim Tata Usaha Negara melalui rechstoepassing. Dasar atas penilaian tersebut dapat ditempatkan pada Pasal 53 ayat (2) sub a UU No. 5 tahun 1986, yaitu Keputusan Tata Usaha Negara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, ini merupakan langkah deduksi.
Perumusan dan penerapan AAUPB menjadi batas-batas penggunaan kewenangan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara. Sebagai norma hukum, AAUPB itu mempunyai pengaruh pada tiga bidang, yaitu:
1.      Pada bidang penafsiran dan penerapan dari ketentuan perundang-undangan.
2.      Pada bidang pembentukan beleid pemerintahan dimana organ pemerintah diberi kebebasan kebijaksanaan oleh perundang-undangan atau tidak terdapat ketentuan-ketentuan yang membatasi kebebasan kebijaksanaan yang akan dilakukan itu.
3.      Pada waktu pelaksanaan kebijaksanaan.
Sebagai lembaga pengawas (judicial control), ciri-ciri yang melekat pada Pengadilan Tata Usaha Negara adalah :
1.      Pengawasan yang dilakukan bersifat “external control “ karena ia merupakan lembaga yang berada diluar kekuasaan administrasi negara (bestuur)
2.      Pengawasan yang dilakukan lebih menekankan pada tindakan represif atau lazim disebut “control a posteriori “ karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol
3.      Pengawasan itu bertitik tolak pada segi “legalitas” karena hanya menilai dari segi hukum (rechtmatig)-nya saja.
Fungsi pengawasan PTUN nampaknya sulit dilepaskan dari fungsi perlindungan hukum bagi masyarakat (individu-individu), karena dapat memposisikan individu berada pada pihak yang lebih lemah bila berhadapan di Pengadilan, sementara tolok ukur bagi Hakim Administrasi dalam mengadili Sengketa Administrasi Negara adalah Pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (sering disebut Pasal “payung” atau menghidupkan kompetensi PTUN diantara Pasal-Pasal yang lain), yang menentukan alasan-alasan untuk dapat digunakan dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Ketentuan dalam ayat tersebut merupakan juga dasar pengujian (toetsingsgronden) dan dasar pembatalan bagi hakim dalam menilai apakah Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bersifat melawan hukum atau tidak, untuk kemudian keputusan yang digugat itu perlu dinyatakan batal atau tidak.
Sementara itu, isi ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 dimaksudkan sebagai berikut : Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah : (a).Keputusan Administrasi negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (b). Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan Asas-asas umum pemerintahan yang baik atau layak (AAUPB/AAUPL) Dari rumusan di atas, ditemukan asas larangan “penyalahgunaan wewenang “ dan asas larangan “bertindak tidak sewenang-wenang “ keduanya termasuk bagian dari Asas asas umum pemerintahan yang baik ( AAUPB ).
Menurut Indroharto[22], urgensi keberadaan Azas asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL) yang tersirat dalam Pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 adalah, disamping dapat digunakan untuk menggugat juga merupakan dasar-dasar (kriteria atau ukuran) yang digunakan Hakim Administrasi dalam menguji atau menilai (toetsingsgronden) apakah Keputusan Administrasi Negara (beschikking) yang disengketakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Lebih lanjut, Indroharto memerinci dasar-dasar pertimbangan untuk menguji Keputusan Administrasi Negara yang dapat digugat kedalam empat ukuran, yakni; (1). Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (2). Melanggar larangan detournement de pouvoir, (3). Menyimpang dari nalar yang sehat (melanggar larangan willekeur), (4). Bertentangan dengan Asas-asas umum pemerintahan yang layak.
Jadi yang perlu diperhatikan dalam penerapan Asas asas umum pemerintahan yang layak secara konkrit adalah memperhatikan pandangan-pandangan, ide-ide kondisi yang dianut dalam sistem dan praktek pemerintahan baik politik, kultural maupun ideologi. Dengan demikian, Hakim Administrasi perlu berpedoman pada beberapa dasar pertimbangan di atas, karena para hakim pada saat menerapkan hukum (Asas asas umum pemerintahan yang layak) bertindak sebagai penemu hukum, pembentuk hukum, pembaharu hukum, penegak hukum dan sebagai benteng keadilan). Sementara penerapan asas hukum oleh Hakim Administrasi di Pengadilan menurut Philipus M.Hadjon,[23] secara teknis dapat didekati dengan dua cara yaitu melalui penalaran hukum induksi dan deduksi. Di dalam Metode induksi, langkah pertama yang dilakukan hakim dalam menangani sengketa adalah merumuskan fakta, mencari hubungan sebab-akibat dan mereka-reka probabilitasnya.
Kemudian diikuti dengan metode deduksi, yang diawali dengan mengumpulkan fakta-fakta, dan setelah fakta berhasil dirumuskan, selanjutnya dilakukan upaya “penerapan hukum (asas hukum)”. Langkah utama dalam penerapan hukum adalah mengidentifikasi aturan aturan hukum. Dari langkah ini akan dijumpai suatu kondisi hukum yang bermacam-macam. Pertama, adanya kekosongan hukum (kekosongan peraturan perundang-undangan) jika hal ini terjadi, maka hakim berpegang pada asas “ius curia novit” hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Upaya inilah yang sering disebut sebagai metode Penemuan hukum (rechtsvinding) Kedua, akan terjadi kondisi antinomi (konflik norma hukum ). Solusinya berlakulah prinsip-prinsip asas lex posterior derogat legi priori, asas lex specialis derogat lex generalis dan asas lex superior derogat legi inferior. Ketiga, dalam menghadapi norma hukum yang kabur, maka hakim berpegang pada rasio hukum yang terkandung dalam peraturan hukum, untuk selanjutnya menetapkan metode interprestasi yang tepat, sedangkan menurut Bagir Manan[24], untuk mempertemukan antara kaidah hukum dengan peristiwa hukum atau fakta, diperlukan berbagai metode yaitu metode penafsiran dan metode konstruksi.

BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :
Bahwa eksistensi Pengadilan administrasi negara (PTUN) adalah selain sebagai salah satu ciri negara hukum modern, juga memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta aparatur pemerintahan itu sendiri karena Pengadilan administrasi negara (PTUN) melakukan kontrol yuridis terhadap perbuatan hukum publik badan atau pejabat administrasi negara. Kaitannya dengan prinsip-prinsip dalam good governance pada dasarnya menjadi pedoman bagi pejabat administrasi negara dalam melaksanakan urusan pemerintahan yaitu mencegah terjadinya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), menciptakan birokrasi yang semakin baik, transparan, dan effisien, serta membangun prinsip-prinsip yang lebih demokratis, objektif dan profesional dalam rangka menjalankan roda pemerintahan menuju terciptanya keadilan dan kepastian hukum dalam masyarkat.
Bahwa peradilan administrasi negara (PTUN) merupakan sarana perlindungan hukum represif, yang memberikan perlindungan hukum bagi rakyat dengan mengemban fungsi peradilan. Fungsi tersebut dilaksanakan sedemikian rupa sehingga senantiasa menjamin dan menjaga keserasian hubungan antara rakyat dengan pemerintah berdasarkan asas kerukunan yang tercermin dalam konsep negara hukum di Indonesia.

B.     SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa dalam negara kesejahteraan, tugas-tugas publik pemerintah semakin luas, oleh karena itu Peradilan Tata Usaha Negara harus lebih meningkatkan kontrol yudisial secara efektif terhadap penggunaan kewenangan Tata Usaha Negara yang mengeluarkan produk hukum yang berbentuk keputusan, agar terciptanya aparatur negara yang bersih dan berwibawa menuju kepada tercapainya masyarakat yang dicita-citakan.
Bahwa guna mewujudkan pemerintah yang bersih dan berwibawa pemerintah perlu memperhatikan dan melaksanakan Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) dalam penyelenggaraan pemerintahan, sehingga tercipta birokrasi yang semakin baik, transparan, dan effisien, serta membangun prinsip-prinsip yang lebih demokratis, objektif dan profesional dalam rangka menjalankan roda pemerintahan menuju terciptanya keadilan dan kepastian hukum dalam masyarkat.

 
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Rozali H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. 3, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994
Darwin Prints., Hukum Acara Pidana, Djambatan, Jakarta, 1989
Effendie Lotulung Paulus., Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
Fahmal Muin H.A, Peran Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Kreasi Total, 2008
Hadjon P.M., Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatic (nasional), Makalah Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember 1994
Hamidi, J., Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL) di Lingkungan Indonesia (Upaya Menuju Clean and Stable Government), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999
Harahap Zairin., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005
Indroharto., Asas-asas umum pemerintahan yang baik”, Mahkamah Agung, Jakarta, 1985
Lopa. B dan Hamzah A., Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, ed. 2, cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 1993
Manan Bagir., “Pemecahan Persoalan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Ceramah penataran hakim agama se-Indonesia, diselenggarakan Depag RI 20 Nopember 1993
Mangkoedilogo Benyamin., Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Orientasi Pengenalan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982
Marbun SF., et al., Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,”Perkembangan Tipe Negara Hukum dan Peranan Hukum Administrasi Negara di Dalamnya”, UII Press, Yogyakarta, 2002
Martiman P., Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993
Muchsan., Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992
Purbopranoto Kuntjoro., Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1982
Sujata Antonius dan Surachman RM., Ombudsman Indonesia ditengah Ombudsman Internasional Sebuah Antologi, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002
Salman Otje dan Damian Eddy (Editor)., Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan : Kumpulan Karya Tulis Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, Bandung,  2002
Tjandra Riawan W., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,Universitas Atma Jaya. Yogyakarta, 2002
_______________., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma jaya, Yogyakarta, 2005
_______________., Peradilan Tata Usaha Negara; Mendorong Terwujudnya Pemerintahan Yang bersih Dan Berwibawa, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2009



[1] Isi Pasal 24 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum diamandemen adalah:
“Ayat (1) : Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain bagi badan Kehakiman menurut Undang-Undang.
Ayat (2): Susunan dan kekuasaan badan-badan Kehakiman itu diatur dengan Undang- Undang.” (Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandemen.)
[2] Lopa B dan Hamzah A.., Mengenal Peradilan Tata Usaha Negara, ed. 2, cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, hal. 21
[3] Mangkoedilogo Benyamin., Lembaga Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Orientasi Pengenalan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal.126-127
[4] Tjandra Riawan W., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,Universitas Atma Jaya. Yogyakarta, 2002, hal.5
[5] Martiman P., Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Ghalia Indonesia, 1993, Jakarta, hal.12
[6] Sujata Antonius dan Surachman RM., Ombudsman Indonesia ditengah Ombudsman Internasional Sebuah Antologi, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002, hal.11
[7] Salman Otje dan Damian Eddy (Editor), Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan : Kumpulan
Karya Tulis Mochtar Kusumaatmadja, Alumni, Bandung,  2002, hal.5
[8] Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992, hal.73
[9] Ibid, hal.36
[10] Marbun, SF.,et al, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara,”Perkembangan Tipe Negara Hukum dan Peranan Hukum Administrasi Negara di Dalamnya”, UII Press, Yogyakarta, 2002, hal.268-269
[11]Tjandra, Riawan W., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Universitas Atma jaya, Yogyakarta, 2005, hal. 201
[12] Marbun, SF.,et al, Op.cit.hal.7
[13] Effendie Lotulung Paulus, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal.xvii
[14] Darwin Prints, Hukum Acara Pidana, Djambatan, Jakarta, 1989, hal. 1
[15] Abdullah Rozali H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Cet. 3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 1-2
[16] Harahap Zairin., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 22
[17] Purbopranoto Kuntjoro., Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1982, hal.29
[18] Marbun, SF.,et al, Op.cit.hal.206
[19]Tjandra Riawan W, Peradilan Tata Usaha Negara; Mendorong Terwujudnya Pemerintahan Yang bersih Dan Berwibawa, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hal.127-128
[20] Fahmal Muin H.A, Peran Asas – Asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, Kreasi Total, 2008, hal.85-86

[21] Hamidi, J., Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak (AAUPL) di Lingkungan Indonesia (Upaya Menuju Clean and Stable Government), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 92
[22] Indroharto, Asas-asas umum pemerintahan yang baik”, Mahkamah Agung, Jakarta, 1985
[23] Hadjon P.M., “Pengkajian Ilmu HukumDogmatic ( nasional)”, Makalah Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember 1994, hlm. 12-14
[24] Manan Bagir, “Pemecahan Persoalan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Ceramah penataran hakim agama se-Indonesia, diselenggarakan Depag RI 20 Nopember 1993, hlm. 11-15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH BENDAHARAWAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan konsep “Negara hukum” sekarang ini telah menghasilkan Negara hukum kese...