BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan
konsep “Negara hukum” sekarang ini telah menghasilkan Negara hukum
kesejahteraan (social service staat; welvaarstat). Konsekuensinya, dalam
suatu Negara yang demikian ini, tugas Negara sebagai servis publik adalah
menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial (yang oleh Lemaire disebutnya dengan : bestuurzog)
bagi masyarakatnya.[1]
Untuk dapat menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial, Negara
sangatlah memerlukan sarana yang mutlak demi menunjang terlaksananya roda
pemerintahan. Sarana mutlak yang dimaksudkan salah satunya ialah berbentuk modal
(keuangan). Namun, tidak serta merta Negara menjadi pemilik dari benda
tersebut, oleh karena itu sarana yang berbentuk benda itu kemudian memerlukan
pengaturan lebih lanjut agar tidak menimbulkan kekuasaan yang absolut dari Negara
terhadap benda itu. Pengaturan yang dimaksud pada akhirnya menciptakan ilmu
hukum baru, yaitu hukum keuangan Negara (
public finance law (Inggris) atau fiscal
recht (Belanda) ).
Terkait dengan
kewajiban tersebut, dalam pengelolaan keuangan Negara pemerintah selalu
berusaha menghindarkan terjadinya kekurangan kekayaan karena alasan apapun yang
disebabkan kesalahan dalam pengelolaan oleh pejabatnya, agar pemerintah tetap
dapat menyediakan layanan kepada masyarakat sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan. Beranjak dari konsep dasar seperti tersebut, dalam setiap kejadian
kekurangan kekayaan Negara, baik dalam bentuk uang maupun barang, yang
kemudian dikenal dengan istilah kerugian Negara, pemerintah hanya
mewajibkan langkah-langkah pemulihan kemampuan keuangan Negara, agar pemerintah
tetap dapat memenuhi kewajibannya untuk menyediakan layanan kepada masyarakat.[2] Selanjutnya,
Pejabat yang dimaksud dalam pengelolaan keuangan Negara dikenal pula bendahara
sebagai pengelola keuangan Negara. Bandahara adalah setiap orang atau Badan
yang diberi tugas untuk dan atas nama Negara menerima, menyimpan dan
membayar/menyerahkan uang atau surat berharga atau barang. Bendahara ini bukan
merupakan bendahara umum keuangan Negara, melainkan bendahara pada
kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian Negara/lembaga non kementerian,
dan lembaga Negara.[3]
Ketika Negara mengalami
kerugian akibat pengelolaan keuangan Negara yang tidak benar, Negara wajib
mengenakan tuntutan ganti kerugian kepada pihak yang melakukannya. Pengenaan tuntutan
ganti kerugian bertujuan untuk memulihkan keuangan Negara yang mengalami kekurangan dan dikembalikan pada
keadaan semula sehingga dapat digunakan kembali dalam mencapai tujuan Negara.[4]
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah
sebagai berikut : “Bagaimanakah Konsekuensi
Yuridis Terhadap Timbulnya Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi Oleh
Bendaharawan?”
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN KERUGIAN KEUANGAN
NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Pada
hakekatnya kejahatan korupsi juga termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini
bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:[5]
(1)
Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan
kejahatan (disguise of purpose or intent);
(2)
Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan
si korban (reliance upon the ingenuity or carelesne of the victim);
(3)
Penyembunyian pelanggaran (concealement of the
violation).
Korupsi
bukanlah hal baru dalam sejarah peradaban manusia. Gejalanya telah sejak lama
dirasakan dan menjadi bahan diskusi di berbagai belahan dunia. Bahkan sebuah
ungkapan dari Lord Acton yang berbunyi : “power
tends to corrupt, absolutely power corrupt absolutely”, seolah menjadi
sebuah idiom yang berlaku seumur hidup. Berbagai pengajaran baik dalam ruang
lingkup hukum maupun politik menggunakan ungkapan dari Lord Acton ini sebagai
logika awal.
Dalam Norma
umum di masyarakat maupun norma khusus semisal perundangan, istilah korupsi
bisa saja dimaknai beragam. Perbedaaan pengertian ini menyebabkan implikasi
hukum dan sosial yang berbeda pula di mata masyarakat. Sebuah tindakan korupsi
yang merugikan keuangan Negara boleh jadi secara norma sosial dianggap sebagai
tindakan wajar dan tidak melanggar. Ini karena pandangan dan pemahaman suatu
masyarakat terhadap perbuatan korupsi berbeda dengan masyarakat lainnya.
Korupsi
dalam bahasa Latin disebut Corruptio – corruptus, dalam bahasa Belanda
disebut corruptie, dalam Bahasa Inggris disebut corruption, dalam
bahasa Sansekerta didalam Naskah Kuno Negara Kertagama tersebut corrupt arti
harfiahnya menunjukkan kepada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan
dengan keuangan.[6] Menurut M. Dawam
Rahardjo,[7]
korupsi merupakan perbuatan melanggar hukum yang berakibat rusaknya tatanan
yang sudah disepakati. Tatanan itu bisa berwujud pemerintahan, administrasi,
atau manajemen. Sedangkan, menurut Transparansi Internasional, korupsi adalah
“perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara
tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat
dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada
mereka.”[8]
Salah satu unsur yang mendasar dalam
tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian keuangan Negara. Sebelum
menentukan adanya kerugian keuangan Negara, maka perlu ada kejelasan definisi
secara yuridis pengertian keuangan Negara. Berbagai peraturan perundang-undangan
yang ada saat ini belum ada kesamaan tentang pengertian keuangan Negara. Pasal
1 angka (1) Undang-undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
mendefinisikan keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik Negara berhubung pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.[9]
Sedangkan secara teoritis, pengertian keuangan Negara dapat dilihat dari
beberapa pandangan para ahli, sebagaimana dikutip oleh W.Riawan Tjandra,[10]
yakni :
Ø Menurut M.Ichwan
Keuangan Negara adalah rencana kegiatan secara kuantitatif (dengan
angka-angka diantaranya diwujudkan dalam jumlah mata uang), yang akan
dijalankan untuk masa mendatang, lazimnya 1 (satu) tahun mendatang.
Ø Menurut Geodhart
Keuangan Negara merupakan keseluruhan undang-undang yang
ditetapkan secara periodik yang memberikan kekuasaan pemerintah untuk
melaksanakan pengeluaran mengenai periode tetrtentu dan menunjukkan alat
pembiayaan yang diperlukan untuk menutup pengeluaran tersebut.
Ø
Menurut Van der Kemp[11]
Keuangan Negara adalah semua hak yang dapat dinilai dengan
uang demikian pula segala sesuatu (baik berupa uang ataupun barang) yang dapat
dijadikan milik Negara berhubungan dengan hak-hak tersebut.
Untuk mengetahui
karakteristik tindak pidana korupsi di Indonesia dapat dilihat di dalam UUTPK
(Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) dalam arti materil sebagaimana diatur dalam Pasal
2 dan Pasal 3 UUPTPK diuraikan berikut ini;
Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999;
“Setiap orang
yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suau korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”
Bunyi
Pasal ini mensyaratkan beberapa karakteristik unsur-unsur tindak pidana yaitu:
(1)
Setiap
orang;
(2)
Secara
melawan hukum;
(3)
Perbuatan
memperkaya diri atau orang lain atau korporasi;
(4)
Dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Dalam hukum pidana istilah “sifat
melawan hukum” adalah 1 (satu) frase yang memiliki 4 (empat) makna. Keempat
makna tersebut adalah sifat melawan hukum umum, sifat melawan hukum khusus,
sifat melawan hukum formal dan sifat melawan hukum materiil. Sifat melawan
hukum umum diartikan sebagai syarat umum dapat di pidananya suatu perbuatan sebagaimana
definisi perbuatan pidana oleh Ch. J. Enschede sebagai “een menseijk gedraging die val binnen de grenzen van delictsomschrijving,
wederrechtelijk is en aan schuld te wijten” (perbuatan pidana adalah suatu
perbuatan manusia yang termasuk dalam rumusan delik, melawan hukum dan
kesalahan yang dapat dicelakan padanya).
Sifat melawan hukum khusus,
biasanya kata “melawan hukum” dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian
sifat melawan hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu
perbuatan. Sebenarnya penyebutan kata “melawan hukum” secara eksplisit dalam
rumusan delik merujuk pada ilmu hukum Jerman yang diajarkan sejumlah pakar
antara lain, Zevenbergen dan pengikutnya di Belanda, Simon. Menurut padangan
ini, melawan hukum hanya merupakan unsur delik sepanjang disebutkan dengan
tegas dalam peraturan perundang-undangan.
Berbeda dengan pandangan sebagian
besar ilmuan hukum pidana Belanda[12] yang berangkat dari anggapan bahwa siapa yang melakukan
suatu perbuatan perundang-undangan pidana berarti ia melakukan tindak pidana
dan dengan demikian bertindak secara melawan hukum. Dengan kata lain,
kendatipun kata “melawan hukum” tidak disebutkan dalam rumusan delik, maka
secara diam-diam sifat melawan hukum tersebut telah ada dalam suatu delik.
Lebih tegasnya lagi dinyatakan oleh Hazewinkel Suringa, “De wederrechtelijkheid is slects daar, waar de wet haar noemt, element
en verder allen maar het kenmerk van ieder delict” (melawan hukum merupakan
unsur mutlak jika disebutkan dengan tegas dalam undang-undang, jika tidak maka
sifat melawan hukum adalah sebagai ciri suatu peristiwa pidana).
Sifat melawan hukum formal mengandung
arti semua bagian (unsur-unsur) dari rumusan delik telah dipenuhi. Sebaliknya,
sifat melawan hukum material terdapat 2 (dua) pandangan. Pertama, sifat melawan hukum material dilihat dari sudut
perbuatannya. Hal ini mengandung arti perbuatan yang melanggar atau
membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungai oleh pembuat
undang-undang dalam rumusan delik
tertentu. Kedua, sifat melawan hukum
material dilihat dari sudut sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna
bertentangan dengan hukum yang tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat,
asas-asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam
masyarakat. Perkembangan selanjutnya,[13] sifat melawan hukum material ini masih dibagi lagi menjadi
sifat melawan hukum material dalam fungsinya yang negatif dan sifat melawan
hukum material dalam fungsinya yang positif.
Sifat melawan hukum material
dalam fungsinya yang negatif berarti meskipun perbuatan memenuhi unsur delik
tetapi tidak bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat, maka perbuatan
tersebut tidak dipidana. Sebaliknya, sifat melawan hukum material dalam
fungsinya yang positif, mengandung arti bahwa meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan tersebut
dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma
kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Apabila dikaji Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi berikut penjelasannya, maka
secara jelas terlihat bahwa sifat melawan hukum dalam undang-undang tersebut
mengandung ke-4 (keempat) makna sebagaimana telah diuraikan diatas. Sifat
melawan hukum umum dan sifat melawan hukum formal telah melekat dengan
sendirinya, mengingat korupsi adalah perbuatan pidana. Sementara sifat melawan
hukum khusus tergambar dari kata-kata “melawan hukum” yang ada dalam rumusan
delik. Sedangkan sifat melawan hukum material secara eksplisit dicantumkan
dalam Penjelasan.[14]
Kerugian Negara berkaitan dengan Pasal
2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah
dan ditambah dengan Undang-undang No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang menyebutkan bahwa salah satu unsur yang harus dipenuhi
dalam mengungkapkan terjadinya tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara. Menurut
Nieuwenhuis,[15]
kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan pihak yang satu disebabkan
oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak
lain.
Unsur
“dapat merugikan keuangan Negara”
memang merupakan delik formil,[16] artinya tidak perlu telah
terjadi kerugian keuangan atau perkeonomian Negara. Kendati begitu, menurut
Andi Hamzah, tetap harus dibuktikan “dapatnya
Negara rugi”. Jadi, harus dipanggil ahli akuntan untuk menilai menurut
perhitungannya, dapatkah Negara rugi. Andi Hamzah menilai berlebihan terhadap
penafsiran yang mengatakan “dapat
merugikan keuangan Negara” adalah “potensial”
merugikan keuangan Negara. Alasannya, kata “potensial”
itu luas sekali artinya. Misalnya, semua orang potensial melakukan kejahatan,
sedangkan yang melakukan kejahatan hanya minoritas dari rakyat. Jadi, menurut
Andi Hamzah, terlampau luas jika kata”dapat”
diartikan “potensial”. Mestinya tetap
ada perhitungan oleh akuntan mengenai “dapatnya
Negara rugi”.[17]
Unsur kerugian Negara sering menjadi polemik karena memiliki pengertian
yang dapat dilihat dari beberapa perspektif hukum, yaitu berdasarkan perspektif
hukum administrasi negarra, hukum perdata dan hukum pidana, yang lebih lanjut
akan diuraikan sebagai berikut :[18]
(1)
Pengertian
kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum administrasi Negara, dapat dilihat
dari ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang
nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai. Rumusan pengertian kerugian Negara dalam Undang-Undang No. 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara ini sama dengan rumusan pengertian
kerugian Negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang No. 15
Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
(2)
Pengertian
kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum perdata terkait dengan pengertian
keuangan Negara yang dikelola oleh perusahaan Negara/perusahaan daerah
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.
Jadi kerugian Negara disini adalah berkurangnya Kekayaan Negara/Kekayaan Daerah
yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga atau
saham, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah yang
disebabkan oleh perbuatan yang melanggar norma atau aturan yang telah
ditetapkan berdasarkan ketentuan yang berlaku dalam Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseoan Terbatas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara.
(3)
Pengertian
kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum pidana adalah suatu perbuatan yang
menyimpang terhadap penggunaan dan pengelolaan keuangan Negara sehingga dapat
dikualifikasikan sebagai perbuatan merugikan Negara atau dapat merugikan Negara
sebagai tindak pidana korupsi, dengan pemenuhan unsur-unsur : pertama, perbuatan tersebut merupakan
perbuatan melawan hukum, baik dalam pengertian formil maupun materil atau
penyalahgunaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya, dan kedua, para pihak ada yang diperkaya dan
diuntungkan, baik si pelaku sendiri, orang lain atau korporasi (Pasal 2 dan Pasal
3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
Jika mengacu pada pengertian kerugian Negara berdasarkan perspektif hukum
administrasi Negara maka pengertiannya disini adalah pengertian kerugian Negara
yang memaknai pengertian keuanan Negara, sehingga berbeda dengan kerugian Negara
yang terdapat dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan
pengertian yang spesifik dan merupakan lex
specialias derogat legi generalis sistematis, yaitu meskipun sama-sama
bersifat khusus, tetapi yang mendominasi adalah lingkup kepentingannya dalam
hal ini adalah pidana. Tegasnya penerapannya harus melihat kepada lingkup
permasalahannya, jika menyangkut masalah pidana maka yang diberlakukan adalah
hukum pidana, sehingga mengesampingkan hukum perdata dan hukum administrasi Negara.
Sebagai contoh dalam praktek selama ini dalam hal penerapan pengertian Pegawai
Negeri, walaupun diatur di dalam Undang-Undang Kepegawaian Nomor 8 Tahun 1974
jo. UU No. 43 Tahun 1999, tetapi yang digunakan dalam tindak pidana korupsi
adalah pengertian pegawai negeri di dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo.
Undang-Undang jo. No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tinak Pidana Korupsi,
bahkan pengertian sesama hukum pidana termuat dalam KUHP juga diabaikan.
Dengan
memperhatikan rumusan keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
No. 31 Tahun 1999, maka kerugian keuangan Negara tersebut dapat berbentuk :[19]
1.
Pengeluaran suatu sumber/kekayaan Negara/daerah (dapat
berupa uang, barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan.
2.
Pengeluaran suatu sumber/kekayaan Negara/daerah lebih
besar dari yang seharusnya menurut kriteria yang berlaku.
3.
Hilangnya sumber/kekayaan Negara/daerah yang seharusnya
diterima (termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu, barang fiktif).
4.
Penerimaan sumber/kekayaan Negara/daerah lebih
kecil/rendah dari yang seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak,
kualitas tidak sesuai).
5.
Timbulnya suatu kewajiban Negara/daerah yang seharusnya
tidak ada.
6.
Timbulnya suatu kewajiban Negara/daerah yang lebih
besar dari yang seharusnya.
7.
Hilangnya suatu hak Negara/daerah yang seharusnya
dimiliki/diterima menurut aturan yang berlaku.
8.
Hak Negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang
seharusnya diterima.
B. SUMBER KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
Dalam kasus kerugian Negara, ada empat akun besar yang bisa
menjadi sumber dari kerugian Negara, sebagaimana dikemukakan oleh Theodorus M.
Tuanakotta[20] dalam
bukunya Menghitung Kerugian Keuangan Negara
dalam Tindak Pidana Korupsi menggambarkannya dalam pohon kerugian keuangan Negara
yang dijelaskan seperti di bawah ini. Pohon kerugian keuangan Negara mempunyai
empat (4) cabang, dalam hal ini yaitu akun. Masing-masing akun mempunyai cabang
yang menunjukkan kaitan antara perbuatan melawan hukum dengan akun-akun
tersebut. Keempat akun tersebut adalah :
(1)
Aset (Asset)
(2)
Kewajiban (Liability)
(3)
Penerimaan (Revenue)
(4)
Pengeluaran (Expenditure)
Dengan menggunakan istilah bahasa Inggris diatas,
pohon kerugian keuangan Negara ini sering disebut dengan R.E.A.L tree.
a)
Kerugian Keuangan Negara Berkenaan Dengan
Aset
Terdapat 5 sumber kerugian keuangan Negara terkait dengan aset. Seperti
yang dijelaskan pada bagian di bawah ini.
1. Pengadaan Barang dan Jasa
Bentuk
kerugian keuangan Negara dari pengadaan barang dan jasa adalah pembayaran yang
melebihi jumlah seharusnya. Bentuk kerugian ini dapat berupa:
a)
Markup untuk barang yang
spesifikasinya sudah sesuai dengan dokumen tender dan kuantitasnya sesuai
dengan pesanan, tetapi harganya lebih mahal.
b)
Harga secara total
sesuai dengan kontrak, tetapi kualitas dan/atau kuantitas barang lebih rendah
dari yang disyaratkan.
c)
Syarat penyerahan
barang lebih istimewa sedangkan syarat pembayaran tetap, sehingga menimbulkan
kerugian bunga.
d)
Syarat pembayaran
lebih baik, tetapi syarat lainnya seperti kualitas dan kuantitas tetap,
sehingga menimbulkan kerugian bunga.
e)
Kombinasi dari
beberapa kerugian di atas.
2. Pelepasan Aset
Bentuk dan
kerugian yang dapat ditimbulkan:
a)
Penjualan aset yang
dilakukan berdasarkan nilai buku sebagai patokan dimana panitia penjualan
menyetujui harga jual di atas harga buku. Sehingga, para pelaku bisa berkelit
bahwa penjualan aset telah menguntungkan Negara. Padahal pada kenyataannya,
penjualan tersebut bisa dilakukan dengan atau tanpa tender. Praktik tender yang
curang serupa dengan proses tender pada pengadaan barang dan jasa seperti yang
telah dijelaskan di atas.
b)
Penjualan tanah dan
bangunan “diatur” melalui NJOP hasil kolusi dengan pejabat terkait. NJOP di
sini berperan sebagai nilai buku seperti pada poin “a” di atas.
c)
Tukar guling (ruilslag)
tanah dan bangunan milik Negara dengan tanah, bangunan, atau aset lain. Dengan
demikian aset ditukar dengan aset sehingga nilai pertukarannya sulit ditentukan.
Masalah lainnya adalah surat kepemilikan, penguasaan atas tanah, peruntukan
tanah yang diterima dalam tukar guling. Aset Negara yang bernilai tinggi di-ruilslag
dengan tanah bodong (substance disamarkan melalui form).
d)
Pelepasan hak Negara
untuk menagih. Para makelar perkara (biasa disebut juga dengan makelar kasus
atau markus) memberikan perangsang kepada penguasa untuk menghilangkan hak
tagih. Atau sebaliknya, penegak hukum melihat peluang untuk berkooptasi dengan
para markus. Besarnya kerugiannya bukan semata-mata hilangnya jumlah pokok,
tetapi juga kerugian bunga sejak hak tagih hilang sampai terpidana membayar
kembali berdasakan putusan majelis hakim.
3. Pemanfaatan Aset
Hal ini
dilakukan ketika lembaga-lembaga Negara mempunyai aset yang belum dimanfaatkan
secara penuh, “salah beli”, atau “salah urus” dan pihak ketiga meihat peluang
untuk memanfaatkan kekayaan Negara ini, tetapi bukan melalui transaksi jual
beli, seperti sewa, kerja sama operasional, atau kemitraan strategis.
Bentuk
kerugian keuangan Negara dari pemanfaatan aset antara lain:
(1)
Negara tidak
memperoleh imbalan yang layak jika dibandingkan dengan harga pasar.
(2)
Negara ikut menanggung
kerugian dalam kerja sama operasional yang melibatkan aset Negara yang
“dikaryakan” kepada mitra usaha.
(3)
Negara kehilangan aset
yang dijadikan jaminan kepada pihak ketiga. Misalnya aset tersebut dijadikan
sebagai inbreng.
Potensi terjadinya kerugian menjadi lebih besar ketika asetnya tidak
bertuan. Contohnya adalah aset yang dibangun Pemerintah Pusat dengan dana APBN,
tetapi tidak tercatat sebagai aset baik di Pemerintah Pusat maupun Pemda.
4. Penempatan Aset
Penempatan aset merupakan penanaman atau investasi dari dana-dana milik Negara.
Kerugian keuangan Negara terjadi ketika adanya unsur kesengajaan menempatkan
dana-dana tersebut pada investasi yang tidak seimbang antara risk dan reward-nya.
Apabila mereka memiliki kelebihan dana, mereka sering tergoda untuk melakukan
penempatan aset dengan resiko yang relatif tinggi dibandingkan dengan
imbalannya. Ciri yang sering menonjol adalah tidak sejalannya usaha baru dengan
bisnis inti. Ketika usaha barunya gagal, mereka sering berdalih bahwa ini
bukanlah kerugian keuangan Negara, melainkan sekadar business loss
yang sangat lazim di dunia bisnis. Apabila penempatan aset memberikan hasil
atau keuntungan, para pejabat dapat menerima keuntungan. Sebaliknya, ketika
penempatan aset menimbulkan kerugian, mereka “lepas tangan”.
Penempatan aset merupakan kiat para pelaku kejahatan berkerah putih
dimana seluruh transaksi didukung dengan dokumen hukum yang sah dan lengkap.
Bentuk luarnya sempurna, tapi substansinya bodong.
Bentuk-bentuk
kerugian Negara dari penempatan aset antara lain:
1)
Imbalan yang tidak
sesuai dengan risiko.
Besarnya
kerugian sebesar selisih bunga ditambah premi untuk faktor tambahan risiko
dengan imbalan yang diterima selama periode sejak dilakukannya penempatan aset
sampai dengan pengembaliannya.
2)
Jumlah pokok yang
ditanamkan dan yang hilang. Besarnya kerugian sebesar jumlah pokok dan bunga.
3)
Jika ada dana-dana
pihak ketiga yang ikut hilang dan ditalang oleh Negara, maka kerugiannya adalah
sebesar jumlah pokok dari dana talangan beserta bunganya.
5. Kredit Macet
Kredit diberikan dengan melanggar rambu-rambu perkreditan, baik yang
ditetapkan oleh BI maupun oleh Bank BUMN itu sendiri dimana sebenarnya kredit
ini sudah diperkirakan akan macet. Bankir yang menjadi koruptor tersebut akan
menggunakan alasan bahwa kredit macet merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari risiko perbankan. Pemberian kredit dengan cara ini merupakan kejahatan
kerah putih, dilakukan dalam bentuk kolusi antara pejabat bank dan sarat dengan
benturan kepentingan.
Oleh karena proses pemberian kredit dilakukan dengan cara melawan hukum,
bentuk kerugian Negara berupa jumlah pokok dan bunga tanpa dikurangi hair
cut.
b) Kerugian Keuangan Negara
Berkenaan Dengan Kewajiban
Terdapat 3 jenis kerugian Negara berkaitan dengan kewajiban di antaranya
perikatan yang menimbulkan kewajiban nyata, kewajiban bersyarat yang menjadi
nyata, dan kewajiban tersembunyi.
1. Perikatan yang Menimbulkan Kewajiban
Nyata
Dokumentasinya terlihat sah, tetapi isinya sebenarnya bodong, dimana
transaksi istimewa diselipkan diantara transaksi normal karena mengetahui bahwa
transaksi ini akan bermasalah. Sifat fraud-nya adalah penjarahan
kekayaan Negara melalui penciptaan transaksi fiktif yang menyerupai transaksi
normal. Bentuk kerugiannya adalah jumlah pokok kewajiban dan bunga selama
periode sejak timbulnya kewajiban nyata sampai dengan pengembalian dana oleh
terpidana.
2. Kewajiban yang berasal dari kewajiban
bersyarat
Pejabat lembaga Negara, BUMN, dan lain-lain mengadakan perikatan dengan
pihak ketiga yang pada awalnya merupakan contingent liability. Laporan
keuangan lembaga tersebut tidak menunjukkan adanya kewajiban karena masih
merupakan kewajiban bersyarat. Pada akhirnya, pihak ketiga tidak mampu memenuhi
kewajibannya sehingga lembaga Negara yang menjadi penjaminnya memiliki kewajiban
nyata yang sebelumnya adalah kewajiban bersyarat.
Bentuk kerugian keuangan Negara adalah sebesar jumlah pokok kewajiban dan
bunga selama periode sejak kewajiban bersyarat berubah menjadi kewajiban nyata
sampai saat pengembalian dana tersebut oleh terpidana.
3. Kewajiban Tersembunyi
Kewajiban tersembunyi mencuat dalam kasus aliran dana suatu lembaga besar
yang diduga untuk membantu mantan pejabatnya mengatasi masalah hukum. Dalam
praktiknya, kantor-kantor akuntan yang termasuk dalam Big Four
senantiasa memfokuskan suatu audit pada pengeluaran untuk masalah hukum karena legal
expenses merupakan tempat persembunyian segala macam biaya yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
Hal ini mengakibatkan adanya kecenderungan dari pihak pimpinan lembaga untuk
membersihkan pembukuan ketika auditor menemukan penyimpangan ini, yaitu dengan
dua cara:
a)
Menciptakan aset bodong
untuk menghindari pengeluaran fiktif.
b)
Aset bodong tersebut
dihilangkan melalui kewajiban kepada pihak yang masih terafiliasi.
Bentuk kerugian Negara adalah sebesar jumlah pokok kewajiban dan bunga
sejak periode dana diterima oleh pelaku kejahatan sampai saat pengembaliannya.
Dari ketiga jenis ranting kewajiban di atas, pola penghitungan kerugian
keuangan Negara cukup sederhana.
c) Kerugian Keuangan Negara
Berkenaan dengan Penerimaan
Penerimaan Negara
umumnya ditetapkan dengan undang-undang, misalnya:
(1)
Penerimaan yang
bersumber dari perpajakan atau bea dan cukai,
(2)
Penerimaan pemerintah
yang merupakan bagian pemerintah atas pengelolaan minyak dan gas bumi, batu
bara, serta mineral lainnya.
(3)
Penerimaan Negara
bukan pajak (PNBP). PNBP ini dapat ditemukan di hampir semua lembaga namun
pertanggungan jawabnya tidak selalu ada atau terbuka untuk diperiksa oleh BPK,
sehingga penerimaan ini rawan korupsi. Contohnya di Perguruan Tinggi,
Rektor, Dekan, dan pejabat struktural lainnya mempunyai kewenangan atas PNBP.
Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara dapat kita lihat ada tiga sumber
kerugian keuangan Negara sebagai berikut.
1. Wajib Bayar Tidak Menyetor Kewajibannya
Inisiator:
pihak ketiga yang menjadi wajib pungut.
Contoh: Dalam beberapa Undang-Undang wajib bayar menghitung dana
menyetorkan kewajibannya ke kas Negara. Kelalaian para wajib bayak akan
menimbulkan kerugian keuangan Negara. Negara bukan saja tidak menerima jumlah
yang menjadi kewajiban wajb bayar, tetapi juga kehilangan bunga atas penerimaan
tersebut karena adanya unsur waktu (keterlambatan menyetor).
(1) Penerimaan Negara Tidak Disetor Penuh
oleh Pejabat yang Bertanggung Jawab
Inisiator: Lembaga Negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun
pejabat yang berwenang tidak meminta dilakukannya setoran penuh.
Contoh: Selisih antara ”tarif tinggi” dan ”tarif rendah” dalam pengurusan
dokumen keimigrasian di Kedutaan Besar RI di Malaysia.
(2) Penyimpangan dalam Melaksanakan Diskresi
Berupa Pengurangan Pendapatan Negara
Inisiator: Lembaga Negara yang bersangkutan menjadi penyetor, namun ada
kewenangan untuk melakukan pemotongan penerimaan Negara.
Secara substansi ketiga ranting di atas merupakan penerimaan Negara yang
tidak disetorkan sebagian atau seluruhnya, atau tidak disetorkan tepat waktu.
Dengan demikian perhitungannya yakni, Jumlah kerugian Negara = sebesar jumlah
penerimaan Negara yang tidak disetorkan ditambah bunga untuk periode sejak saat
penerimaan Negara seharusnya disetorkan sampai saat terpidana mengembalikan
penerimaan Negara tersebut. Secara umum pola perhitungannya sama dengan pola
perhitungan kewajiban, yaitu pokok ditambah bunga.
c) Kerugian Keuangan Negara
Berkenaan dengan Pengeluaran
Kerugian keuangan Negara terjadi karena pengeluaran Negara dilakukan
lebih dari seharusnya, atau pengeluaran Negara seharusnya tidak dilakukan,
dan/atau pengeluaran Negara dilakukan lebih cepat.
Dari Pohon Kerugian Keuangan Negara, kerugian keuangan Negara berkenaan
dengan transaksi pengeluaran dapat terjadi karena hal-hal berikut.
1.
Kegiatan
Fiktif/Pengeluaran Fiktif
Tidak
dilaksanakannya kegiatan yang dicantumkan dalam anggaran (APBN, APBD, anggaran
BUMN, dan seterusnya) tetapi dilaporkan seolah-olah sudah dilaksanakan.
Contoh: Kepala daerah/pejabat daerah memerintahkan bawahannya untuk
mencairkan dan menggunakan dana/anggaran yang tidak sesuai dengan
peruntukannya, kemudian mempertanggungjawabkan pengeluaran-pengeluaran dimaksud
dengan menggunakan bukti-bukti yang tidak benar atau fiktif.
2.
Pengeluaran
Berdasarkan Ketentuan Perundang-Undangan yang Sudah Tidak Berlaku Lagi
Contoh: pengeluaran Pemda, pejabat Pemda menerbitkan peraturan daerah
dengan merujuk peraturan perundang-udangan yang tidak berlaku. Kepala daerah
menerbitkan peraturan daerah sebagai dasar pemberian upah pungut atau honor
dengan menggunakan dasar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang
tidak berlaku lagi.
3. Pengeluaran
Bersifat Resmi, Tetapi Dilakukan Lebih Cepat
Contoh: dalam kasus pembayaran kepada pemasok atau kontraktor, pembayaran
kepada mereka dilakukan sebelum kemajuan kerja yang disepakati tercapai.
Jadi penghitungannya yakni, Jumlah kerugian Negara = sebesar uang yang
dibelanjakan untuk kegiatan fiktif, ditambah dengan bunga selama periode sejak
dikeluarkannya uang tersebut sampai uang dikembalikan terpidana.
3. KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH
BENDAHARAWAN
Seseorang
baru dapat dikenakan tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang bila seseorang
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga dengan jalan menjual saham
tersebut secara melawan hukum yang disimpannya karena jabatannya atau
membiarkan saham tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu
dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi).
Dalam
Undang-undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tidak memberikan rumusan yang
jelas dan tegas mengenai apa yang disebut dengan kerugian keuangan Negara.
Dalam Penjelasan Pasal 32 hanya dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian
keuangan Negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan
hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Adapun
siapa instansi yang berwenang dimaksud, tidak dijelaskan lebih lanjut. Namun
demikian, mengacu pada beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka sekurang-kurangnya tiga instansi yang berwenang, yaitu BPK, BPKP
dan Inspektorat baik di tingkat pusat dan daerah.
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2004
tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 dalam Pasal 52
disebutkan, BPKP mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan keuangan dan pembangunan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan BPKP tidak hanya sampai disitu
saja, BPKP juga dapat melakukan pemeriksaan khusus atau audit investigasi untuk
membongkar kasus-kasus yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang yang
mengakibatkan kerugian Negara atau menguntungkan sebagian orang. Bila ada
indikasi terjadinya tindak pidana korupsi maka acuan yang digunakan BPKP dalam
melakukan audit investigasnya adalah Undang-undang No. 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan fungsi dan wewenangnya, disini terlihat bahwa peran BPKP dalam
upaya pemberantasan korupsi dapat dijadikan modal dasar yang kuat dalam memerangi
kejahatan korupsi.
BPK
memperoleh kewenangan berdasarkan Pasal 23 E Undang-Undang Dasar 1945, sebagai
lembaga pemeriksa keuangan yang memperolah kewenangan berdasarkan atributif
melalui undang-undang. Pemeriksa menurut Undang-undang No. 15 Tahun 2004 adalah
orang yang melakukan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara
untuk dan atas nama BPK yang dapat melakukan pemeriksaan investigatif guna
mengungkap adanya indikasi kerugian Negara/daerah dan atau unsur tindak pidana
korupsi.
Berbeda
dengan BPKP yang memperoleh kewenangan melakukan audit investigatif berdasarkan
PP No. 60 Tahun 2008 yang hanya merupakan bagian dari sistem pengendalian
intern pemerintah dalam kaitannya dengan pengawasan intern atas penyelenggaraan
tugas dan fungsi instansi pemerintah yang bersifat preventif. Artinya BPKP
tidak memiliki kewenangan yang kuat dalam melakukan pemeriksaan investigatif
berkaitan dengan unsur tindak pidana korupsi. Sehingga ketika ditemukan adanya
kerugian Negara yang mengandung unsur pidana, maka kewenangan tindak lanjut
atas temuan tersebut sampai pada proses hukumnya adalah menjadi kewenangan BPK.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan
Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah
kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau
badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara. Untuk melaksanakan
tugas tersebut, Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian
Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara menyatakan bahwa Badan Pemeriksa
Keuangan dapat membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan dalam rangka memproses
penyelesaian kerugian Negara terhadap bendahara. Berdasarkan ketentuan
tersebut, Majelis Tuntutan Perbendaharaan merupakan suatu lembaga ad hock yang dibentuk oleh Badan
Pemeriksa Keuangan untuk melaksanakan kewenangan BPK dalam menilai dan/ atau
menetapkan kerugian Negara/daerah terhadap bendahara serta menerbitkan
Keputusan-Keputusan BPK berkaitan dengan penetapan kerugian Negara/daerah.
Majelis Tuntutan Perbendaharaan diketuai oleh Wakil Ketua BPK dan beranggotakan
Anggota BPK.
Secara tertulis, hal-hal mengenai Majelis Tuntutan Perbendaharaan tidak secara
jelas ditulis dalam Undang-Undang mulai dari ICW dan IAR sampai dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, kecuali
dalam ketentuan Pasal Pasal 41 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 tentang Tata
Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara terhadap Bendahara yang menyatakan
bahwa Badan Pemeriksa Keuangan dapat membentuk Majelis Tuntutan Perbendaharaan
dalam rangka memproses penyelesaian kerugian Negara terhadap bendahara meskipun
pengaturan mengenai hal tersebut sudah dimuat sejak jaman ICW, yaitu dalam
ketentuan Pasal 55a sampai dengan Pasal 58 ICW. Kewenangan melakukan Tuntutan
Perbendaharaan dahulu bersumber pada ICW Pasal 58 yang menyatakan bahwa Keputusan
Badan Pemeriksa Keuangan, dimana ditetapkan suatu jumlah uang, yang dalam hal
menyangkut pengurusan Bendaharawan, harus diganti kepada Negara, atau dimana
dikenakan suatu denda bagi seorang Bendaharawan, dikeluarkan atas nama
keadilan. Salinan keputusan itu berkepala : "Atas nama keadilan" yang
ditandatangani oleh Ketua BPK, mempunyai kekuatan yang sama dan dilaksanakan
dengan cara yang sama, sebagai keputusan hakim (vonis) yang mempunyai kekuatan
yang tetap dalam perkara perdata ". Dalam paket Undang-Undang Tentang Keuangan
Negara, ketentuan yang mengatur tentang TP (tuntutan
perbendaharaan)
dan TGR (tuntutan ganti rugi) dimuat dalam Pasal 35 ayat (1) UU No.
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 59 UU No. 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, yang mengatur tentang
pertanggungjawaban
dan Tuntutan Ganti Rugi (TGR) bagi ordonatur dan pegawai negeri lainnya, karena
perbuatan-perbuatan melanggar hukum atau kelalaian.
Majelis mempunyai tugas dan wewenang untuk melakukan verifikasi dan pemeriksaan
atas dokumen kasus kerugian Negara terhadap bendahara yang disampaikan kepada
BPK, menilai dan /atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara
dan menilai dan memutuskan keberatan yang diajukan bendahara berkenaan dengan
penerbitan Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu (SKPBW).
Keputusan-keputusan BPK yang diterbitkan oleh Majelis dalam rangka penyelesaian
kerugian Negara/daerah meliputi :
1.
SK Pembebasan dalam
hal tidak terpenuhinya unsur-unsur kerugian Negara atau diterimanya keberatan
Bendahara;
2.
Surat kepada instansi
tentang penyelesaian ganti kerugian Negara/daerah menggunakan SKTJM[1]
dalam hal terpenuhinya unsur-unsur kerugian Negara;
3.
SK-PBW[2]
dalam hal Bendahara tidak bersedia melaksanakan ganti rugi menggunakan SKTJM,
Instansi tidak menyampaikan dokumen Laporan Verifikasi Hasil Penelitian
Terjadinya Kerugian Negara;
4. Surat
Keputusan Pembebanan dalam hal tidak terdapat keberatan dari Bendahara dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah penerbitan SK-PBW, telah
terlampauinya jangka waktu 40 (empat puluh) hari sejak ditandatangani SKTJM
namun kerugian Negara belum diganti sepenuhnya dan keberatan Bendahara ditolak
atau diterima sebagian.[3]
Terkait dengan pandangan diatas, UU Keuangan Negara maupun UU
Perbendaharaan Negara hanya menuntut agar semua kekayaan yang berkurang sebagai
akibat kesalahan pengelolaan dipulihkan kembali. Namun demikian, dalam masalah kerugian
Negara tersebut harus dibedakan antara kerugian Negara sebagai akibat kesalahan
dalam pengelolaan, dan kerugian Negara sebagai akibat tindakan
kecurangan/penyalahgunaan kewenangan pejabat pengelola keuangan (financial fraud). Dalam hal yang
terakhir ini, pemulihan terhadap kekayaan Negara saja dirasakan tidak cukup
adil. Tindakan kecurangan yang dapat menimbulkan kerugian Negara dimaksud telah
menghambat pemerintah untuk dapat melaksanakan kewajibannya. Tindakan tersebut
dapat dikategorikan sebagai tindakan yang merugikan kepentingan umum ataupun
bersifat melawan hukum. Atas dasar hal tersebut, tindakan curang yang merugikan
keuangan Negara disamping diwajibkan memulihkan kerugian yang terjadi masih
pula dikenakan sanksi lain dalam bentuk sanksi[4]
administratif, perdata, ataupun pidana.[5]
Selanjutnya,
hal-hal yang dapat merugikan keuangan Negara dapat ditinjau dari beberapa
aspek, antara lain aspek pelaku, sebab, waktu dan cara penyelesaiannya, disebutkan Eddy Mulyadi Soepardi,
yaitu :[6]
1. Ditinjau
Dari Aspek Pelaku
a.
Perbuatan Bendaharawan yang dapat menimbulkan
kekurangan perbendaharaan, disebabkan oleh antara lain adanya pembayaran,
pemberian atau pengeluaran kepada pihak yang tidak berhak,
pertangungjawaban/laporan yang tidak sesuai dengan kenyataan, penggelapan, tindak
pidana korupsi dan kecurian karena kelalaian.
b.
Pegawai negeri non bendaharawan, dapat merugikan
keuangan Negara dengan cara antara lain pencurian atau penggelapan, penipuan,
tindak pidana korupsi, dan menaikkan harga atau merubah mutu barang.
c.
Pihak ketiga dapat mengakibatkan kerugian keuangan Negara
dengan cara antara lain menaikkan harga atas dasar kerjasama dengan pejabat
yang berwenang, dan tidak menepati perjanjian (wanprestasi).
2. Ditinjau
Dari Aspek Sebab[7]
Jika ditinjau
dari faktor penyebabnya, maka perbuatan yang bisa menyebabkan kerugian keuangan
Negara adalah sebagai berikut:
a.
Perbuatan manusia, yakni perbuatan yang sengaja seperti
diuraikan pada point sebelumnya, perbuatan yang tidak disengaja, karena
kelalaian, kealpaan, kesalahan atau ketidakmampuan, serta pengawasan terhadap
penggunaan keuangan Negara yang tidak memadai.
b.
Kejadian alam, seperti bencana alam (antara lain, gempa
bumi, tanah longsor, banjir dan kebakaran) dan proses alamiah (antara lain,
membusuk, menguap, mencair, menyusut dan mengurai).
c.
Peraturan perundang-undangan dan atau situasi
moneter/perekonomian, yakni kerugian keuangan Negara karena adanya
pengguntingan uang (sanering), gejolak moneter yang mengakibatkan turunnya
nilai uang sehingga menaikkan jumlah kewajiban Negara dan sebagainya.
3. Ditinjau
dari aspek waktu
Tinjauan dari aspek waktu disini dimaksudkan untuk memastikan
apakah suatu kerugian keuangan Negara masih dapat dilakukan penuntutannya atau
tidak, baik terhadap bendaharawan, pegawai negeri non bendaharawan, atau pihak
ketiga.
1)
Dalam Pasal 66 Undang-undang No. 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara disebutkan :
a.
Dalam hal bendahara, pengawai negeri bukan bendahara,
atau pejabat lain yang dikenai tuntutan ganti kerugian Negara/daerah berada
dalam pengampuan, melarikan diri, atau meninggal dunia, penuntutan dan
penagihan terhadapnya beralih kepada pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris,[8]
terbatas kepada kekayaan yang dikelola atau diperolehnya, yang berasal dari
bendahara, pengawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain yang bersangkutan.
b.
Tanggung jawab pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris
untuk membayar ganti kerugian Negara/daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menjadi hapus apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak keputusan pengadilan
yang menetapkan pengampuan kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara,
atau pejabat lain yang bersangkutan diketahui melarikan diri atau meninggal
dunia, pengampu/yang memperoleh hak/ahli waris tidak diberi tahu oleh pejabat
yang berwenang mengenai adanya kerugian Negara/daerah.
2) Dalam hal tuntutan ganti rugi perlu
diperhatikan ketentuan kadaluarsa, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 UU
Perbendaharaan Negara, yang ditentukan bahwa, ”kewajiban bendahara, pegawai
negeri bukan bendahara, atau pejabat lain yang membayar ganti rugi, menjadi
kadaluarsa jika dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diketahuinya kerugian tersebut
atau dalam waktu 8 (delapan) tahun sejak terjadinya kerugian tidak dilakukan
penuntutan ganti rugi terhadap yang bersangkutan.
4. Ditinjau
dari aspek cara penyelesaiannya
(1)
Tuntutan Pidana/Pidana Khusus (Korupsi).
(2)
Tuntutan Perdata
(3)
Tuntutan Perbendaharaan (TP)
(4)
Tuntutan Ganti Rugi (TGR)
Apabila dalam
proses tuntutan kepada bendaharawan sebagai akibat adanya kerugian keuangan Negara
yang dilakukan terhadap secara administrasi yaitu melalui peraturan BPK No.3
Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Terhadap Bendahara, ditemukan
adanya unsur-unsur dari tindak pidana korupsi dari perbuatan bendahara yang
merugikan keuangan Negara, maka bendaharawan tersebut dapat dituntut
berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun
2001 karena telah melakukan tindak pidana korupsi.
Dalam
pengertian yuridis,[9] pengertian korupsi tidak hanya terbatas kepada
perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan Negara atau
perekonomian Negara, tetapi meliputi juga perbuatan-perbuatan yang memenuhi
rumusan delik, yang merugikan masyarakat atau orang perseorangan. Oleh karena
itu, rumusannya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
(1)
Kelompok
delik yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
(2)
Kelompok
delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap).
(3)
Kelompok
delik pengelapan.
(4)
Kelompok
delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion).
(5)
Kelompok
delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir dan rekanan.
Sementara
itu, jika ada aparat hukum yang
berpendapat bahwa kesalahan seorang pegawai negeri yang termasuk dalam lingkup
hukum administrasi yang berakibat merugikan keuangan Negara bukan termasuk
tindak pidana korupsi namun merupakan kesalahan administrasi (kesalahan
prosedur) yang seharusnya diselesaikan melalui jalur administrasi dengan
menerapkan sanksi administrasi berupa pembayaran ganti rugi. Padahal, unsur
melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999
jo UU No 20 Tahun 2001 bukan hanya sifat melawan hukum dalam arti pidana, namun
juga mencakup melawan hukum administrasi. Dengan demikian, kesalahan atau
pelanggaran terhadap hukum administrasi dapat diadopsi ke dalam sifat melawan
hukum sebagaimana dimaksud dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
apabila dari kesalahan administrasi tersebut telah menimbulkan kerugian
keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Kalau
kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara,
disana dikatakan “Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain
yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian Negara/daerah dapat dikenakan
sanksi administrasi dan/atau sanksi pidana” (Ketentuan ini diatur pula
dalam Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara
Penyelesaian Ganti Kerugian Terhadap Bendahara, Pasal 38 ayat (1)). Dari hal
tersebut jelas terlihat bahwa walaupun telah dilakukan pengembalian kerugian
keuangan Negara maka masih dimungkinkan untuk diproses melalui pidana. Dengan
demikian secara aspek pidana setiap hasil audit BPK harus dilaporkan kepada
instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI) terlepas apakah kerugian keuangan Negara
sudah dikembalikan atau tidak, karena untuk melihat apakah terjadinya kerugian Negara
tersebut diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum atau tidak merupakan
wewenang Penyidik, yang mana secara “dominis litis” eks Pasal 139 KUHAP
Jaksa yang menentukan dapat tidaknya perkara tersebut dilimpahkan ke
Pengadilan.[10]
Selain itu, terkait pengembalian kerugian
keuangan Negara
dalam tindak pidana
korupsi, UU No.31 Tahun 1999 merumuskan secara tegas
sebagai tindak pidana
formil. Dengan rumusan formil berarti bahwa meskipun hasil korupsi telah
dikembalikan kepada Negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke
Pengadilan dan tetap dipidana sesuai Pasal 4 UU No.31 Tahun
1999 yang berbunyi
sebagai berikut :
“Pengembalian
kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara tidak menghapuskan
dipidanannya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal
3.”
Penjelasan Pasal diatas adalah dalam hal pelaku tindak
pidana korupsi melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur Pasal dimaksud,
dimana pengembalian kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara yang telah
dilakukan tidak menghapuskan pidana si pelaku tindak pidana tersebut.
Pengembalian kerugian Negara atau perekonomian Negara tersebut hanya merupakan
salah satu faktor yang meringankan pidana bagi pelakunya.
Untuk itu, dalam
rangka mencapai tujuan yang efektif untuk mencegah dan memberantas tindak
pidana korupsi, UU No.31 Tahun 1999 memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan
Undang-Undang yang mengatur masalah korupsi yang sebelumnya, yaitu menentukan
ancaman pidana tambahan, hal ini seperti yang diatur dalam Pasal 17 jo Pasal 18
UU No.31 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa selain dapat dijatuhi pidana pokok terdakwa
dalam perkara korupsi dapat dijatuhi pidana tambahan, salah satu bentuknya
adalah pembayaran uang pengganti. Pidana pembayaran uang pengganti merupakan
konsekuensi dari akibat tindak pidana korupsi yang “dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”,
sehingga untuk mengembalikan kerugian tersebut diperlukan
sarana yuridis yakni dalam bentuk pembayaran uang pengganti.[11]
Menurut
penjelasan Pasal 31 KUHP, terpidana yang tidak membayar pidana uang pengganti
dapat dikenakan pidana pengganti berupa pidana kurungan. Sehingga
konsekuensinya jika pidana pengganti tersebut telah dijalani oleh terpidana
maka dengan sendirinya uang pengganti yang tidak dibayar tersebut menjadi
hapus. Selain itu, apabila pidana pembayaran uang pengganti tidak dipenuhi oleh
terdakwa (baca: terpidana), menurut UU No. 20 Tahun 2001 dalam Pasal 5, Pasal
6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, berlaku pula
ketentuan hukuman denda dan/atau pidana penjara, akan tetapi tidak berlaku bagi
tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) serta dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, ketentuan tentang pidana tambahan sebagai usaha untuk
pengembalian kerugian Negara telah diatur, terutama pada Pasal 18 yaitu:
(1) Selain
pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
sebagai pidana tambahan adalah:
a.
Perampasan barang
bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang
digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk
perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula
harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b.
Pembayaran uang
pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang
diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c.
Penutupan seluruh
atau sebagian perusahaan untuk waktu yang paling lama 1 (satu) tahun;
d.
Pencabutan seluruh
atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan
tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika
terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh
jaksa dan dilelang untuk menutup uang pengganti tersebut.
(3) Dalam
hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang
pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka di pidana dengan
pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana
pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan lamanya pidana
tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Ketentuan pada Pasal 18 angka (1) huruf b tersebut merupakan
konsekuensi dari akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara, sehingga untuk mengembalikan kerugian
keuangan tersebut diperlukan adanya pembayaran uang pengganti.
Sementara dalam
Pasal 18 ayat (2) UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 termuat aturan
jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Ketentuan Pasal 18 ayat
(2) dan (3) UU No. 20 Tahun 2001 juga mengatur mengenai teknis eksekusi/pembayaran
uang pengganti oleh Terpidana, dimana teknisnya dengan menggunakan sistem
pembayaran secara berjenjang dan berlapis.
Ketentuan diatas secara formal telah mendukung usaha pengembalian kerugian
yang diderita Negara sebagai akibat tindak pidana korupsi sebagaimana yang
telah diamanatkan Pasal 278 KUHP. Undang-Undang korupsi yaitu UU No. 31
Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 menyediakan dua instrumen untuk memulihkan
kerugian Negara akibat perbuatan korupsi, yaitu instrumen pidana dan perdata.
Proses atau tata cara instrumen pidana secara khusus dimuat dalam kedua
undang-undang itu, sedang untuk instrumen perdata menggunakan ketentuan biasa
atau umum yang berlaku yaitu Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan acaranya. Kekhususan
bagi instrumen pidana tersebut antara lain, bahwa dalam sidang pengadilan:
(1)
Terdakwa
wajib memberikan keterangan tentang seluruh hartanya, harta istrinya (suaminya,
harta anaknya, dan harta pihak lain yang diduga mempunyai hubungan dengan perbuatan
korupsi yang didakwakan kepadanya).
(2)
Apabila
terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa hartanya (yang tidak seimbang dengan
penghasilannya) bukan berasal dari korupsi, maka hartanya dianggap diperoleh
dari perbuatan korupsi (illicit
enrichment) dan hakim berwenang merampasnya.
(3)
Dalam
hal terdakwa meninggal dunia sebelum vonis hakim dijatuhkan dan terdapat bukti
kuat bahwa terdakwa melakukan perbuatan korupsi, maka harta terdakwa dapat
dirampas oleh hakim. [12]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :
Bahwa berdasarkan peraturan-peraturan
sebelumnya mulai dari
ICW dan IAR telah mengatur tentang tuntutan
terhadap bendaharawan sebagai akibat timbulnya kerugian keuangan Negara, yaitu dalam ketentuan Pasal 55a
sampai dengan Pasal 58 ICW. Pada Pasal 58 ICW menyatakan bahwa “Keputusan Badan Pemeriksa Keuangan,
dimana ditetapkan suatu jumlah uang, yang dalam hal menyangkut pengurusan
Bendaharawan, harus diganti kepada Negara, atau dimana dikenakan suatu denda
bagi seorang Bendaharawan”, namun setelah
lahirnya Peraturan BPK
Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara
terhadap Bendahara, maka semua peraturan pelaksanaan
dari Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448)
mengenai tata cara penyelesaian ganti kerugian Negara terhadap bendahara
dinyatakan tidak berlaku. Sealnjutnya, terhadap proses penuntutan kepada
bendaharawan sebagai akibat adanya kerugian keuangan Negara, dilakukan secara
administrasi yaitu melalui peraturan BPK No.3 Tahun 2007 Tentang Tata Cara
Penyelesaian Ganti Kerugian Terhadap Bendahara, apabila ditemukan
adanya unsur-unsur dari tindak pidana korupsi dari perbuatan bendaharawan yang
merugikan keuangan Negara, maka bendaharawan tersebut dapat dituntut
berdasarkan UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun
2001 karena telah melakukan tindak pidana korupsi.
Bahwa
pengertian adanya unsur-unsur dari tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian
keuangan Negara, dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang- UU No 31 Tahun
1999 jo UU No 20 Tahun 2001, yaitu :
(1)
Setiap
orang;
(2)
Secara
melawan hukum;
(3) Perbuatan memperkaya diri atau orang lain atau korporasi;
(4) Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Bahwa apabila dalam pemeriksaan oleh BPK terhadap
bendaharawan, menilai
dan/atau menetapkan adanya unsur-unsur dari suatu
tindak pidana korupsi yang mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan Negara, baik sengaja maupun lalai,
secara melawan hukum,
memperkaya diri atau orang lain atau korporasi dan
merugikan perekonomian Negara yang dilakukan oleh bendaharawan,
maupun pengelola
BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan
keuangan Negara kerugian Negara
sebagai akibat kesalahan dalam pengelolaan, serta tindakan
kecurangan/penyalahgunaan kewenangan pejabat pengelola keuangan, maka konsekuensi yuridis yang timbul bagi
Bendaharawan tersebut adalah pembayaran uang pengganti. Sementara
itu, dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 31 tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001
termuat aturan jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta
bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut. Ketentuan Pasal 18 ayat (2) dan (3) UU No. 20 Tahun 2001 juga
mengatur mengenai teknis eksekusi/pembayaran uang pengganti oleh Terpidana,
dimana teknisnya dengan menggunakan sistem pembayaran secara berjenjang dan
berlapis. Selain itu, menurut penjelasan Pasal 31 KUHP, terpidana yang tidak
membayar pidana uang pengganti dapat dikenakan pidana pengganti berupa pidana
kurungan. Sehingga konsekuensinya jika pidana pengganti tersebut telah dijalani
oleh terpidana maka dengan sendirinya uang pengganti yang tidak dibayar
tersebut menjadi hapus. Selain itu, apabila pidana pembayaran uang pengganti
tidak dipenuhi oleh terdakwa (baca: terpidana), menurut UU No. 20 Tahun 2001 dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12, berlaku pula ketentuan hukuman denda dan/atau
pidana penjara, akan tetapi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) serta dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
DAFTAR
PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
:
Arief Barda Nawawi & Muladi.,
Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992
Atmadja Arifin P. Soeria., Keuangan
Publik Dalam Persfektif Hukum Teori, Praktik Dan Kritik, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 2005
Jeddawi Murtir. H., Mengefektifkan Peran Birokrasi Untuk
Memangkas Perilaku Korupsi, Cetakan Pertama, Total Media (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2009
Miru Ahmadi., Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, 2010
Panjaitan Saut P., “Makna Dan Peranan Freies Ermessen Dalam Hukum
Administrasi Negara” dalam SF Marbun dkk (penyunting), Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum
Administrasi Negara, ctk. kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2001
Rais Mohammad Amien., Agenda-Mendesak
Bangsa : Selamatkan Indonesia!, ctk.Ekstra, PPSK Press, Yogyakarta, 2008
Tjandra W.Riawan.,Hukum
Administrasi Negara, Cetakan Kelima, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008
Saidi Muhammad Djafar., Hukum
Keuangan Negara, Edisi Pertama Rajawali Pers, Jakarta, 2008
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996
B.
JURNAL
:
Andi Samsan Nganro., “Tindak
Pidana Korupsi Dalam Perundang-undangan Di Indonesia”, Al Manãhij, Volume 2, Nomor I, 1 januari-Juni 2008
Eddy.O.S. Hiariej., “Telaah Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Dan
Dampaknya Terhadap Pemberantasan Korupsi”, Jurnal
Berkala Fakultas Hukum UGM-Mimbar Hukum, Volume 18, Nomor 3, Oktober, 2006
Guse Prayudi., “Pidana
Pembayaran Uang Pengganti”, Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun Ke XXII, IKAHI, Nomor 259, Juni, 2007
C.
INTERNET
:
Hendarman Supandji, “Model
Penegakan Hukum Di Daerah, Persoalan Dan Implementasinya”, Kejaksaan
Agung Republik Indonesia, Makalah
disampaikan pada RAKERNAS APPSI tanggal 9 Juli 2007 di Pontianak, Kalimantan
Barat, http://www.pn-pandeglang.go.id/attachments/125_makalah%20jaksa%20agung.pdf, diakses pada tanggal 11 Juni 2012
“Pohon Kerugian Keuangan Negara”, http://shartika2009.wordpress.com/2011/04/24/pohon-kerugian-keuangan-Negara/,
diakses pada tanggal 17 Mei 2012
Suyanto Siswo., “Pembuktian Unsur Kerugian Negara Dan Perhitungannya
Dalam Tindak Pidana Korupsi”,
disampaikan dalam workshop yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Desember 2007 di Jakarta, Ketua Tim Kerja
Penyusunan RUU Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, dan
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, http://www.kppngarut.org/component/content/article/41-keuangan/110-korupsi.html, diakses
pada tanggal 30 Mei 2012
Soepomo., “Pemahaman Keuangan Negara”, http://sikad.bpk.go.id/nw_detail.php?n_id=31, diakses pada tanggal 27 Mei 2012
“Majelis Tuntutan Perbendaharaan”, http://sikad.bpk.go.id/or_mtp.php, diakses pada tanggal 30
Mei 2012
D.
PERATURAN
:
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara
Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Peraturan BPK Nomor 3 Tahun
2007 Tentang Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara
E.
LAIN-LAIN
:
“Setyo Utomo., Pencegahan
Tindak Pidana Korupsi Pada Jasa Konsultan; Materi disampaikan dalam Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas
Indonesia bekerja sama dengan Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO)
tentang “Permasalahan Hukum Pada
Pelaksanaan Kontrak Jasa Konsultasi dan Pencegahan Korupsi di Lingkungan Instansi
Pemerintah”, yang diselenggarakan di Balai Sidang Djokosoetono Gedung F
Lantai 2 FH-UI Depok, Selasa 22 Juni 2010
Soepardi Eddy Mulyadi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai
Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan pada ceramah
ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009
[1]
“Surat Keterangan Tanggung Jawab Mutlak
yang selanjutnya disebut SKTJM adalah surat keterangan yang menyatakan
kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa yang bersangkutan bertanggung jawab atas
kerugian Negara yang terjadi dan bersedia mengganti kerugian Negara dimaksud.”
[2] “Surat Keputusan Penetapan Batas Waktu yang
selanjutnya disebut SK-PBW adalah surat keputusan yang dikeluarkan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan tentang pemberian kesempatan kepada bendahara untuk
mengajukan keberatan atau pembelaan diri atas tuntutan penggantian kerugian Negara.”
[3] “Majelis Tuntutan Perbendaharaan”, http://sikad.bpk.go.id/or_mtp.php, diakses pada tanggal 30 Mei 2012
[4]
Pasal 38 Peraturan BPK Nomor 3 Tahun 2007 Tentang
Tata Cara Penyelesaian Ganti Kerugian Negara Terhadap Bendahara
[5] Suyanto Siswo., Pembuktian Unsur Kerugian…, Op.cit.
[6]
Soepardi Eddy Mulyadi., Memahami Kerugian Keuangan..., Op.cit. hlm.4
[7]
Ibid, hlm.5
[8]
Pasal 38C Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
disebutkan bahwa apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga
atau patut diduga juga berasal dari Tindak Pidana Korupsi yang belum dikenakan
perampasan untuk Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka Negara
dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
[9]
Hendarman Supandji, “Model Penegakan Hukum Di Daerah, Persoalan
Dan Implementasinya”, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Makalah disampaikan pada RAKERNAS
APPSI tanggal 9 Juli 2007 di Pontianak, Kalimantan Barat, http://www.pn-pandeglang.go.id/attachments/125_makalah%20jaksa%20agung.pdf,
diakses pada tanggal 11 Juni 2012, hlm.2-3
[11] Guse Prayudi.,
“Pidana Pembayaran Uang Pengganti”, Majalah
Hukum Varia Peradilan Tahun Ke
XXII,
IKAHI, Nomor 259, Juni, 2007, hlm.49
[12]Soepomo., “Pemahaman Keuangan Negara”, http://sikad.bpk.go.id/nw_detail.php?n_id=31,
diakses pada tanggal 27 Mei 2012
[1] Panjaitan Saut P., “Makna Dan Peranan Freies Ermessen Dalam Hukum
Administrasi Negara” dalam SF Marbun dkk (penyunting), Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum
Administrasi Negara, ctk. kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm.104
[2]
Suyanto Siswo., “Pembuktian Unsur Kerugian
Negara Dan Perhitungannya Dalam Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan dalam workshop yang diselenggarakan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tanggal 11 Desember 2007 di Jakarta,
Ketua Tim Kerja Penyusunan RUU Keuangan Negara, Perbendaharaan Negara, dan
Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, http://www.kppngarut.org/component/content/article/41-keuangan/110-korupsi.html, diakses
pada tanggal 30 Mei 2012
[3]
Saidi Muhammad Djafar., Hukum Keuangan
Negara, Edisi Pertama Rajawali Pers, Jakarta, 2008, hlm. 46-47
[4]
Ibid, hlm.73
[5]
Arief Barda Nawawi & Muladi., Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,
Bandung, 1992, hlm.56
[6]
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana,
Alumni Bandung, Cetakan Keempat, 1996, hlm.115
[7]
Jeddawi Murtir. H., Mengefektifkan Peran
Birokrasi Untuk Memangkas Perilaku Korupsi, Cetakan Pertama, Total Media (Anggota IKAPI), Yogyakarta,
2009, hlm 61-62
[8] Rais Mohammad Amien., Agenda-Mendesak
Bangsa : Selamatkan Indonesia!, ctk.Ekstra, PPSK Press, Yogyakarta, 2008,
hlm.177
[9]
Atmadja Arifin P. Soeria., Keuangan Publik Dalam
Persfektif Hukum Teori, Praktik Dan Kritik, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2005, hlm.4
[10]
Tjandra W.Riawan., Hukum Administrasi
Negara, Cetakan Kelima, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008, hlm.176
[11]
Ibid, hlm.178
[12]
Eddy.O.S. Hiariej., “Telaah Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Dampaknya
Terhadap Pemberantasan Korupsi”, Jurnal
Berkala Fakultas Hukum UGM-Mimbar Hukum, Volume 18, Nomor 3, Oktober, 2006,
hlm.295
[13]
Ibid, hlm.296
[14]
Ibid, hlm.297
[15]
Miru Ahmadi., Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, 2010, hlm.81
[16] lihat; Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006
yang meniadakan berlakunya penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 31
Tahun 1999, sehingga perbuatan melawan hukum dalam arti materiil yaitu
perbuatan yang dianggap tercela, tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial masyarakat, dinyatakan tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat, karena pengertian melawan hukum secara materiil dipandang
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[17]
Andi Samsan Nganro., “Tindak Pidana Korupsi Dalam
Perundang-undangan Di Indonesia”, Al Manãhij, Volume 2, Nomor I, 1
januari-Juni 2008, hlm.123
[18]
Setyo Utomo., Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Pada Jasa
Konsultan; Materi disampaikan
dalam Seminar Nasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia bekerja sama dengan
Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) tentang “Permasalahan Hukum Pada Pelaksanaan Kontrak Jasa Konsultasi dan
Pencegahan Korupsi di Lingkungan Instansi Pemerintah”, yang diselenggarakan
di Balai Sidang Djokosoetono Gedung F Lantai 2 FH-UI Depok, Selasa 22 Juni 2010, hlm.9-10
[19]
Soepardi Eddy Mulyadi., “Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai
Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi”, disampaikan pada ceramah
ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan Bogor, tanggal 24 Januari 2009,
hlm.3
[20] “Pohon
Kerugian Keuangan Negara”, http://shartika2009.wordpress.com/2011/04/24/pohon-kerugian-keuangan-Negara/, diakses pada tanggal 17 Mei 2012