Kamis

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN APARAT PEMERINTAH YANG TIDAK BERWENANG

BAB I
PENDAHULUAN


A. LATAR BELAKANG
Pejabat administrasi (bestuur) selaku pelaksana kebijakan politik negara mempunyai wewenang sebagaimana diperintahkan undang – undang, berfungsi memimpin masyarakat, mengendalikan pemerintahan, memberi petunjuk, menghimpun aspirasi, menggerakkan potensi, memberi arah, mengkoordinasikan kegiatan, membuka kesempatan, memberi kesempatan, memberi kemudahan, mengawasi, menilai, mendukung, membina, melayani, mendorong dan melindungi masyarakat.
Dalam rangka mensejahterahkan masyarakat, terjadi hubungan hukum (rechtsbetrekking) yang erat antara pemerintah dengan rakyatnya. Dengan perkataan lain, pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service). Dengan adanya fungsi “public service” ini, berarti pemerintah tidak saja melaksanakan peraturan perundangan – undangan itu sendiri. Oleh karenanya pemerintah berhak menciptakan kaidah hukum konkrit yang dimaksudkan guna mewujudkan tujuan peraturan perundang – undangan.[1] Dalam hukum administrasi Negara disebut dengan “pouvoir discrectionnaire” atau “freies ermessen” atau asas diskresi. Istilah ini mengandung kewajiban dan kekuasaan yang luas, yaitu terhadap tindakan yang akan dilakukan dan kebebasan untuk memilih melakukan atau tidak tindakan tersebut.
Akan tetapi, apabila perbuatan aparat pemerintah yang dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun diskresi jika tidak terkendali dengan baik, maka akan mudah terjadi perbuatan yang tercela, yang tendensinya menimbulkan kerugian pada pihak tertentu. Perbuatan pemerintah yang tercela ini dalam Hukum Tata Administrasi Negara sering disebut perbuatan penguasa yang sewenang-wenang (willekeur). Perbuatan yang sewenang-wenang ini, frekuensinya banyak terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat bebas (vrij bestuur). Dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat mengikat (gebonden bestuur) perbuatan tersebut jarang terjadi.[2]

B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : “Bagaimanakah Tinjauan Yuridis Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Yang Tidak Berwenang?”



 
BAB II
PEMBAHASAN


A.DEFINISI PEMERINTAH DAN PEMERINTAHAN
Secara etimologis, pemerintahan berasal dari kata “pemerintah”, sedangkan pemerintah berasal dari kata “perintah”.[3] Selanjutnya, dalam bahasa Inggris kata “pamerintah” di artikan “government” atau dari bahasa Perancis “Gouvernement”, yang berasal dari bahasa Latin “Gubernaculum”, atau bahasa Yunani “Kubernan”, yang berarti “kemudi”, jelaslah bahwa yang dimaksud ialah mengemudi jalannya Negara untuk mencapai tujuan Negara.[4] Menurut Kamus Bahasa Indonesia kata tersebut mempunyai arti sebagai berikut:
1.      Perintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu;
2.      Pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu (daerah-daerah) atau badan yang tertinggi yang memerintah suatu negara (seperti kabinet merupakan suatu pemerintahan);
3.      Pemerintahan adalah perbuatan (cara, hal urusan dan sebagainya) memerintah.
Pemerintahan adalah organisasi yang diberikan hak untuk melaksanakan kekuasaan yang tertinggi. Pemerintah dalam arti luas merupakan sesuatu yang lebih besar daripada suatu badan atau kementerian-kementerian, pemerintahan dalam arti luas meliputi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Pemerintahan daerah adalah suatu pemerintahan yang terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.[5]
Van Poelje, mengartikan pemerintahan dalam arti sempit, adalah sebagai organ/badan/alat/perlengkapan Negara yang diserahi pemerintahan (government/bestuur). Dalam arti luas pemerintahan adalah sebagai fungsi yakni yang meliputi keseluruhan tindakan, perbuatan dan keputusan oleh alat - alat pemerintahan (bestuurorganen) untuk mencapai tujuan pemerintahan (administration). Pemerintahan juga dapat diartikan sebagai “pangreh”, artinya fungsi memerintah, yakni menjalankan tugas - tugas memerintah (bestuurfunctie). Oleh karena itu dilihat dari sisi tugasnya, pemerintahan dapat diartikan secara negatif, yakni tugas penguasa yang bukan peradilan ataupun perundang-undangan.[6]
Mariun[7] memberikan batasan yang berbeda terhadap kedua istilah tersebut, “pemerintah” merupakan kata yang menunjuk pada badan, organ atau alat  kelengkapan yang menjalankan fungsi atau bidang tugas pekerjaan atau fungsi. Sehingga dapat dikatakan kalau pemerintahan menunjuk  kepada objek, sedangkan istilah pemerintah menunjuk kepada subyek.
Istilah Pemerintahan juga dapat dimaknai sebagai “fungsi” dan sebagai “organisasi”. Sebagai fungsi, yakni aktifitas memerintah, adalah melaksanakan tugas - tugas pemerintahan, sebagaimana dikemukakan oleh P.de Haan, “bestuur als funtie-dat wil zeggen het besturen-is de uitoefening van bestuurstaak”, dan pemerintahan sebagai organ - organ dari organisasi pemerintahan yang dibebani dengan pelaksanaan tugas pemerintahan (Onder het (openbaar) bestuur als organ worden al die organen uit de overheidorganisatie samengevat die organen uit die belast zijn met de uitoefening van de bestuurstaak).[8]
Selanjutnya, Mac. Iver[9] berpendapat dalam bukunya “The Web of Government”, membagi tugas pemerintah atas 3 (tiga) bidang, yaitu :
1)      “Cultural function”, fungsi ini sesungguhnya merupakan tugas dari rakyat sendiri, tetapi Negara harus memberikan dorongan, fasilitas, agar tujuan mencapai kemajuan kebudayaan dapat tercapai.
2)      “General welfare function”, yaitu fungsi kesejahteraan umum yang seharusnya dilaksanakan oleh setiap Negara. Fungsi ini memberikan hak kepada pemerintah untuk campur tangan dalam segala aspek kehidupan rakyat.
3)      “Function economic control”, guna mencapai kesejahteraan rakyat maka pemerintah harus terjun dalam bidang perekonomian. Menurut Mac. Iver sistem perekonomian liberal untuk mencapai kesejahteraan rakyat adalah khayalan belaka.
Bahwasannya ketiga fungsi tersebut diatas saling berhubungan dan keberhasilan dalam suatu bidang akan mempengaruhi bidang lainnya.
Adapun tugas pemerintah Indonesia sebagaimana yang terlukis dalam Alinea ke-IV Pembukaan UUD 1945 sebagai berikut :
1.      Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2.      Memajukan kesejahteraan umum.
3.      Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4.      Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Guna merealisir tugas Negara atau lebih dikenal dengan tujuan Negara tersebut diatas pemerintah melakukan tindakan atau perbuatan - perbuatan yang disebut sebagai tindakan pemerintahan (bestuurshandeling).


B. PERBUATAN / TINDAKAN APARAT PEMERINTAH
Tindakan pemerintah (bestuurhandeling) yang dimaksud, adalah setiap tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan pemerintahan (bestuurorgaan) dalam menjalankan fungsi pemerintahan (bestuurfunctie).[10]
Ada 2 (dua) bentuk tindakan pemerintah, yakni tindakan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindakan berdasarkan fakta / nyata atau bukan berdasarkan hukum (feitelijkehandeling).
1)      Tindakan Berdasarkan Hukum (rechtshandeling)
Tindakan aparat pemerintah berdasarkan hukum (rechtshandeling) dapat dimaknai sebagai tindakan - tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu untuk menciptakan hak dan kewajiban. Tindakan ini lahir sebagai konsekuensi logis dalam kedudukannya pemerintah sebagai subyek hukum, sehingga tindakan hukum yang dilakukan menimbulkan akibat hukum. [11]
Disebutkan bahwa istilah  “rechtshandeling”[12] atau tindakan hukum itu berasal dari ajaran hukum perdata, yang kemudian juga digunakan dalam hukum administrasi. Begitu digunakan dalam hukum administrasi Negara, sifat tindakan hukum ini mengalami perbedaan; “De administratiefrechtelijke rechtshandeling is, ondanks gelijkluidendheid van naam, anders van aard dan van de civile rechtshandeling” (tindakan hukum administrasi berbeda sifatnya dengan tindakan hukum perdata, meskipun namanya sama), terutama karena sifat mengikatnya  “De administratiefrechtelijke rechtshandeling kunnen burgers binden zonder dar hunnerzijds tot die binding op enige wijze wordt bijgedragen” (tindakan hukum administrasi dapat mengikat warga Negara tanpa memerlukan persetujuan dari warga Negara bersangkutan), sementara dalam tindakan hukum perdata diperlukan persesuaian kehendak (wilsovereenstemming) antara kedua pihak atas dasar kebebasan kehendak atau diperlukan persetujuan dari pihak yang dikenai tindakan hukum tersebut. Hal ini karena hubungan hukum perdata itu bersifat sejajar, sementara hubungan hukum publik itu bersifat sub-ordinatif, disatu pihak pemerintah didekati dengan kekuasaan publik, dipihak lain warga Negara tidak dilekati dengan kekuasaan yang sama.
2)      Tindakan Bukan Berdasarkan Hukum (feitelijkehandeling)
Tindakan berdasarkan fakta/nyata (bukan hukum), adalah tindakan pemerintah yang bukan hubungan langsung dengan kewenangannya dan tidak menimbulkan akibat hukum. Menurut Kuntjoro Probopranoto tindakan berdasarkan fakta (feitelijkehandeling) ini tidak relevan, tidak mempunyai hubungan langsung dengan kewenangannya. Contoh tindakan pemerintah yang berdasarkan fakta, yaitu upacara membuka jembatan, pembuka jalan raya dan lain - lain yang biasanya dilakukan oleh seorang penguasa pemerintahan.
Pendapat lain sebagaimana dikemukakan oleh H.J. Romeijin, bahwa “Een administratieve rechtshandeling is dan een wilsverklaring in een bijzonder geval uitgaande van een admnistratief organ, gericht op het in het leven reopen van een rechtsgevolg op het gebeid van administratief rechts” (Tindakan - tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ administrasi dalam keadaan khusus dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang hukum administrasi).[13]
Sehubungan dengan hal tersebut diatas tampak ada beberapa unsur yang terdapat di dalamnya. Muchsan[14] menyebutkan unsur - unsur tindakan hukum pemerintahan sebagai berikut :
1)      Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
2)      Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
3)      Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi;
4)      Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat.

C. PERBUATAN APARAT PEMERINTAH YANG TIDAK BERWENANG
Landasan kewenangan alat administrasi Negara atau pejabat administrasi Negara bersumber dari tiga (3) hal. Pertama, landasan kewenangan atas dasar atribusi, atas dasar kewenangan ini maka wewenang yang ada pada alat administrasi Negara atau pejabat administrasi Negara sifatnya melekat, tidak bisa dialihkan dan tidak bisa dibagi-bagi. Kedua, kewenangan atas dasar mandat, yakni bahwa wewenang itu diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari pejabat kepada subyek hukum lain untuk melakukan tindakan atas nama pemberi mandat dan atas tanggungjawab pemberi mandat. Ketiga, kewenangan atas dasar delegasi, yaitu pelimpahan wewenang dari pejabat administrasi Negara kepada subyek hukum lain untuk bertindak atas nama sendiri dan atas tanggungjawabnya sendiri. Pelimpahan wewenang tersebut dilakukan pejabat lain yang bersifat horizontal.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya yang sangat luas, maka alat administrasi Negara (bestuur) sebagai pelaksanaan pemerintahan diberi wewenang bebas (vrije bestuur, freies ermessen). Hal ini bertujuan untuk mengambil tindakan cepat dan tepat serta berfaedah. Meskipun demikian, tindakan tersebut harus dilakukan dalam koridor hukum dan tidak boleh bertentangan dengan hukum.[15]
Menurut Prof. Muchsan.,S.H,[16] kewenangan dari aparat dapat dibagi menjadi dua macam yaitu kewenangan atributif dan kewenangan non atributif, antara lain sebagai berikut :
1)      Kewenangan yang bersifat atributif (orisinil) yaitu kewenangan yang diberikan secara langsung oleh peraturan perundang-undangan. Kewenangan atributif ini bersifat permanen (saat berakhirnya tidak jelas) serta komprehensif (tidak boleh terpecah-pecah) dan tetap ada selama undang-undang mengaturnya. Misalnya, Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU). Kewenangan ini secara langsung diberikan oleh Peraturan perundang-undangan yakni Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Negara Dasar Republik Indonesia 1945 amandemen IV.
Jadi, keabsahan dari kewenangan atribusi ini tidak perlu dipertanyakan lagi karena sumbernya adalah dari peraturan perundang-undangan.
2)      Kewenangan yang bersifat non-atributif (non-orisinil) yaitu kewenangan yang diperoleh karena pelimpahan wewenang dari aparat yang lain. Kewenangan non-atributif ini bersifat insidental (tidak permanen) dan berakhir jika pejabat yang berwenang telah menariknya kembali. Misalnya penerbitan izin oleh Bupati atau Kepala Daerah yang seharusnya dilakukan oleh Bupati itu sendiri, namun pada saat Bupati tersebut tidak berada ditempat untuk menerbitkan izin, maka dapat diwakilkan pada Wakil Bupati sebagai penjabat sementara.
Selanjutnya, dalam teori hukum ada dua (2) pelimpahan wewenang :
1.      Mandat, artinya yang beralih sebagian wewenang. Pihak yang memberikan mandat disebut mandans, dan pihak yang menerima mandat disebut mandataris. Istilah yang dipakai dalam mandat : “untuk beliau”.
2.      Delegasi, artinya yang beralih adalah seluruh wewenang termasuk pertanggungjawaban. Pihak yang memberi delegasi disebut delegans, dan pihak yang menerima delegasi disebut delegataris. istilah yang dipakai dalam delegasi : “atas nama”.
 Prof. Muchsan.,S.H kemudian mendefiinisikan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan adalah hak yang bersifat istimewa yang diberikan kepada aparat penyelenggara Negara dalam rangka melaksanakan fungsinya. Disebut hak istimewa karena bersifat sepihak dan dapat dipaksakan.
Selanjutnya, Prof. Muchsan.,S.H[17] mengatakan bahwa perbuatan aparat pemerintah yang tidak di dasari kewenangan maka akan mengakibatkan :
1)      Perbuatan yang tidak layak/tercela (willekeur)
Bentuk perwujudan perbuatan ini ada lima (5) kelompok, yakni :
                    i.            Perbuatan yang tidak tepat (onjuist) : perbuatan dikatakan onjuist kalau perbuatan itu menggunakan dasar pertimbangan yang salah. Misalnya, pemberian izin poligami kepada PNS (lihat : PP No.10 Tahun 1983), maka dasar pertimbangan pemberian izin poligami harus mempunyai dasar pertimbangan yang baik.
                  ii.            Perbuatan melawan hukum (onrechtmatig), ada tiga (aspek) :
a)      Perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
b)      Perbuatan yang berbeda dengan hukum.
c)      Perbuatan yang pasif, artinya tidak berbuat pun dapat dikatakan perbuatan melawan hukum. Misalanya, lampu penerang jalan yang rusak yang oleh pemerintah dibiarkan saja (tidak diperbaiki) dapat mengakibatkan kecelakaan pada malam hari, terhadap hal tersebut dapat dilakukan gugatan kepada pemerintah.
                iii.            Perbuatan tidak bijak (ondoelmatig) : yaitu perbuatan yang menggunakan dasar kebijakan yang salah. 
                iv.            Perbuatan melawan undang-undang (onwetmatig) : perbuatan ini sama dengan perbuatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig), hanya saja lingkup dari onrechtmatig lebih luas (hukum tertulis dan hukum tidak tertulis) dari pada onwetmatig (hukum tertulis).
Misalnya, aparat pemerintah yang menggunakan barang sitaan yang perkaranya belum di putus oleh hakim, baik untuk keperluan dinas, lebih-lebih lagi untuk keperluan non-dinas. Dapatlah disimpulkan bahwa untuk adanya perbuatan yang onwetmatig diperlukan unsur-unsur sebagai berikut :[18]
§  Penguasa melakukan perbuatan yang memang termasuk dalam kewenangannya, menurut atas dasar peraturan perundang-undangan.
§  Perbuatan penguasa tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar perbuatannya.
                  v.            Perbuatan penyalahgunaan wewenang (on misbruik van macht) : maksudnya ialah pada tujuan penggunaan wewenang digunakan untuk lain oleh aparat pemerintah.
Perbuatan pemerintah yang tidak layak/tidak berwenang adalah perbuatan pemerintah yang melanggar hukum yang menurut yurisprudensi negeri Belanda tanggal 31 januari tahun 1919 dalam arti Pasal 1365 KUHS sebagai berikut :
“Suatu perbuatan atau kelalaian (a) yang melanggar hak orang lain, atau (b) bertentangan dengan kewajiban hukum dari orang yang melakukan perbuatan atau kelalaian itu, atau (c) perbuatan yang bertentangan, baik dengan kesusilaan maupun dengan ketertiban yang dalam perhubungan kemasyarakatan harus diindahkan terhadap diri orang lain atau barang orang lain”.
Kemudian, dengan beberapa putusan Mahkamah Agung Negara Belanda pada tahun 1936 dan tahun 1940, dikukuhkan sekali lagi tentang perbuatan pemerintah yang tidak layak itu sebagai berikut:
“Apabila ternyata memakai suatu wewenang yang diberikan kepada suatu badan pemerintah untuk menyelenggarakan suatu kepentingan lain dari pada kepentingan yang dimaksud dengan pemberian wewenang tersebut kepada badan pemerintah itu adalah suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang dapat diuji oleh hakim”.

Rumus Mahkamah Agung ini yang sudah merupakan yurisprudensi itu pada hakikatnya adalah perbuatan pemerintah yang disebut “Detournement de pouvoir” atau “Misbruik van Macht”, yaitu penyalahgunaan wewenang.
Mengenai “Detournement de pouvoir” atau penyalahgunaan wewenang ini Mr. A. J. Mainake dalam Majalah Padjajaran,1, 3, halaman 86, memberikan definisinya sebagai berikut :
“Perbuatan yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan publik lain dari pada tujuan publik yang dimaksud oleh peraturan yang menjadi dasar perbuatan itu”.
Kemudian, W.F. Prins dalam bukunya “Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia” juga memberikan definisi “Detournement de pouvoir” sebagai berikut :
“Apabila istilah Detournement de pouvoir ini akan dipakai untuk menjelaskan suatu bentuk tersendiri dan luar biasa dari pada penyalahgunaan wewenang, maka adalah baik kiranya apabila istilah tersebut hanya digunakan didalam hal badan administrasi Negara mempergunakan wewenang yang diberikan kepadanya itu untuk mengutamakan kepentingan umum lain dari pada yang seharusnya diutamakan menurut wewenang yang diberikan kepadanya itu”.[19]

2)      Melawan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algeimene Beginselen van Behourlijk Bestuur)
Menurut Prof. Muchsan.,S.H ada lima (5) Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algeimene Beginselen van Behourlijk Bestuur) yang ideal untuk menilai perbuatan aparat pemerintah :
a)      Asas kepastian hukum (the principle of legal security).
Asas ini menuntut agar aparat pemerintah dalam melakukan perbuatan untuk selalu memutus terhadap perkara (kondisinya) yang sama.
Misalnya, A mengajukan ijin IMB kepada Dinas Tata Kota.
B mengajukan ijin IMB kepada Dinas Tata Kota (dengan kondisi yang sama dengan A) harus dikabulkan.
b)      Asas kelayakan (the principle of fair play).
Asas ini menuntut agar aparat pemerintah untuk memberikan informasi seluas-luasnya kepada pihak terkait meskipun tidak diminta.
Misalnya, permohonan ijin B, maka pejabat pemerintah perlu untuk memberikan penjelasan terhadap penolakan ijin tersebut.
c)      Asas kecermatan/hati-hati (the principle of carefulness).
Asas ini menghendaki agar aparat pemerintah dalam rangka berbuat, harus memperhatikan prosedur yang telah ditetapkan, serta  mempertimbangkan norma-norma yang ada, agar keputusan yang lahir tidak merugikan pihak lain.
d)     Asas keseimbangan (the principles of balances).
Asas ini menghendaki agar aparat pemerintah memperhatikan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh lawan berbuat (pihak lain) yang dilayani.
e)      Asas ketepatan untuk menentukan obyek/sasaran (the principle of good object).
Asas ini menghendaki agar aparat pemerintah dituntut dalam memutuskan sesuatu harus memperhatikan dan mempertimbangkan semua fenomena (gejala sosial) yang terkait dengan keputusannya.
Perlu untuk diingat bahwa terhadap kelima (5) Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algeimene Beginselen van Behourlijk Bestuur) diatas, boleh “ditambahkan” dengan AUPB yang lain, namun tidak boleh “dikurangkan”.
3)      Perbuatan yang tidak bermoral
ialah perbuatan yang melanggar sumpah jabatan oleh aparat pemerintah.
Berkaitan dengan “tidak berwenang”-nya suatu Badan atau pejabat pemerintahan (tata usaha Negara) untuk melakukan tindak pemerintahan tersebut, menurut Philipus M. Hadjon,[20] dapat dibedakan menjadi 3 (tiga), yakni :
a.       Tidak berwenang dari segi materi (ratione materiae)
Artinya seorang pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha Negara tentang materi atau masalah tertentu itu menjadi wewenang dari Badan atau pejabat lain.
b.      Tidak berwenang dari segi wilyah atau tempat (ratione locus)
Artinya keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan pejabat tata usaha Negara mengenai sesuatu yang berada diluar wilayah jabatannya.
c.       Tidak berwenang dari segi waktu (ratione temporis)
Artinya keputusan dikeluarkan karena melampui tenggang waktu yang dikeluarkan.
Untuk mengetahui “tidak berwenang” atau “berwenang”-nya Badan atau pejabat tata usaha Negara melakukan tindakan pemerintahan, melalui langkah interpretasi sistematis terhadap ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku, khususnya yang mengatur tentang wewenang pemerintahan. Pangkal tolak penilaian kewenangan tindak pemerintahan ini kembali pada asas legalitas (legalitiet beginselen) sebagai asas utama dalam Negara hukum. Oleh karena itu, dalam penilaian ini berlaku teori berbanding terbalik, yakni salah satu aspek dapat dinilai juga, artinya jika tindakan yang menjadi “kewenangannya” dapat dinilai atau diketahui pula tindakan - tindakan yang tidak menjadi wewenangnya (tidak berwenang), atau sebaliknya.
Soehino[21] mengemukakan bahwa dahulu belum ada asas-asas umum pemerintahan untuk mengukur sah dan tidak sahnya perbuatan pemerintah di Indonesia, setidak-tidaknya sampai tahun 1986, belum memiliki Peradilan Tata Usaha Negara. maka penentuan sikap dan pendapat tersebut dalam banyak hal ditentukan secara kasuistik, yang sudah barang tentu dapat mengakibatkan penentuan yang berbeda-beda untuk tiap-tiap hal atau kejadian, dan malahan mungkin dapat bersifat subyektif. Asas yang kiranya dapat dipergunakan untuk menjawab serta menyelesaikan masalah tersebut diatas adalah adalah asas functionnaire de fait.
Menurut asas functionnaire de fait, dalam keadaan darurat, suatu alat perlengkapan administrasi Negara yang tidak sah status hukumnya, misalanya dalam pengangkatannya itu mengalami atau mengandung kekurangan, masih dapat dianggap sebagai alat perlengkapan administrasi Negara yang sah, dengan demikian kekurangan-kekurangan yang dialami atau tergantung dalam pengangkatan tersebut dianggap tidak ada, apabila masyarakat pada umumnya menerima sebagai alat perlengkapan administrasi Negara yang sah, yang dalam pengangkatannya dianggap tidak mengalami atau terkandung kekurangan-kekurangan. Konsekuensinya, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan administrasi tersebut harus dianggap sah. Dengan demikian alat perlengkapan administrasi Negara ini membuat suatu ketetapan administrasi. ketetapan administrasi ini harus pula dianggap sebagai ketetapan administrasi sah.
Sebaliknya, apabila masyarakat pada umumnya berpendapat bahwa alat perlengkapan administrasi Negara tersebut sebagai alat perlengkapan administrasi Negara yang tidak sah, dan memang secara yuridis alat perlengkapan administrasi Negara tersebut tidak sah, konsekuensinya perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan administrasi Negara tersebut, misalnya membuat suatu ketetapan administrasi, juga tidak sah, bahkan batal karena hukum.
Terkait dengan kebatalan tersebut diatas dapat dijabarkan melalui tiga (3) teori tentang kebatalan (nietig theorie) sebagai akibat perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang sebagai berikut:
1.      Batal Mutlak (absolute nietig)
Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya, yaitu semua perbuatan hukum yang sudah dilakukan dianggap belum pernah ada sehingga keadaan harus dikembalikan seperti semula.
Misalnya, seseorang menyewa rumah pada orang yang berada dibawah pengampuan, selama 10 tahun. Perjanjian menyewa rumah tersebut telah  berjalan selama 5 tahun, ketika diketahui ternyata orang tersebut (pemberi sewa) tidak cakap hukum, maka mengetahui hal tersebut penyewa meminta pembatalan kepada pengadilan. Permintaan pembatalan tersebut dikabulkan oleh pengadilan, karena hal tersebut maka perbuatan sewa-menyewa tersebut dianggap tidak sah dan harus batal. Dengan demikian perjanjian sewa-menyewa dianggap tidak pernah ada.
Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: hanya pejabat yudikatif saja.
2. Batal Demi Hukum (nietig van rechts wege)
 Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya ada dua (2) alternatif, yakni :
§  Semua perbuatan hukum yang pernah dilakukan dianggap belum pernah ada.
§  Sebagian perbuatan dinyatakan sah, sedangkan sebagian yang lain dinyatakan batal.
Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat eksekutif dan yudikatif.
3. Dapat Dibatalkan (vernietig baar):
Konsekuensi yuridis/akibat hukumnya, yaitu seluruh perbuatan hukum yang telah dilakukan dianggap sah. Perbuatan hukum yang belum dilakukan dinyatakan tidak sah.
Pejabat yang berwenang menyatakan kebatalan: pejabat yudikatif, eksekutif dan legislatif.






 BAB III
PENUTUP


A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan diatas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain :
Bahwa perbuatan aparat pemerintah yang tidak di dasari kewenangan maka akan mengakibatkan :
1)      Perbuatan yang tidak layak/tercela (willekeur).
Bentuk perwujudan perbuatan ini ada lima (5) kelompok, yakni :
a)      Perbuatan yang tidak tepat (onjuist).
b)      Perbuatan melawan hukum (onrechtmatig).
c)      Perbuatan tidak bijak (ondoelmatig).
d)     Perbuatan melawan undang-undang (onwetmatig).
e)      Perbuatan penyalahgunaan wewenang (on misbruik van macht).
2)      Melawan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algeimene Beginselen van Behourlijk Bestuur).
3)      Perbuatan yang tidak bermoral.
Bahwa terhadap perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang/absah menurut hukum maupun dalam teori, ada tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu:
1.      Batal mutlak (absolute nietig).
2.      Batal demi hukum (nietig van rechts wege).
3.      Dapat dibatalkan (vernietig baar).
Bahwa untuk mengetahui “tidak berwenang” atau “berwenang”-nya Badan atau pejabat tata usaha Negara melakukan tindakan pemerintahan, melalui langkah interpretasi sistematis terhadap ketentuan peraturan perundang - undangan yang berlaku, khususnya yang mengatur tentang wewenang pemerintahan. Pangkal tolak penilaian kewenangan tindak pemerintahan ini kembali pada asas legalitas (legalitiet beginselen) sebagai asas utama dalam Negara hukum. Oleh karena itu, dalam penilaian ini berlaku teori berbanding terbalik, yakni salah satu aspek dapat dinilai juga, artinya jika tindakan yang menjadi “kewenangannya” dapat dinilai atau diketahui pula tindakan - tindakan yang tidak menjadi wewenangnya (tidak berwenang), atau sebaliknya.


B. SARAN
Berdasarkan hasil kesimpulan diatas, maka dapat dikemukakan beberapa saran yang dapat penulis rekomendasikan sebagai berikut :
Bahwa setiap perbuatan aparat pemerintah itu harus berdasarkan atas hukum yang adil, bermartabat dan demokratis, dengan memperhatikan syarat materiil maupun formil yang telah ditetapkan. Artinya perbuatan aparat pemerintah yang tidak berwenang dapat mejadi batal demi hukum jika tidak memenuhi syarat-syarat seperti dibawah ini:
a)      Tidak berwenang dari segi materi (ratione materiae)
b)      Tidak berwenang dari segi wilyah atau tempat (ratione locus)
c)      Tidak berwenang dari segi waktu (ratione temporis)
Bahwa aparat pemerintah harus memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, seperti lima (5) Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (Algeimene Beginselen van Behourlijk Bestuur) yang ideal dalam menilai perbuatan aparat pemerintah yang dikemukakan oleh Prof. Muchsan.,S.H., yakni:
a)      Asas kepastian hukum (the principle of legal security).
b)      Asas kelayakan (the principle of fair play).
c)      Asas kecermatan/hati-hati (the principle of carefulness).
d)     Asas keseimbangan (the principles of balances).
e)      Asas ketepatan untuk menentukan obyek/sasaran (the principle of good object).




DAFTAR PUSTAKA

Fauzan Muhammad., Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah, Cetakan I, UII Pres, Yogyakarta, 2006
HR Ridwan., Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006
Kusdarini Eny., Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Cetakan I, UNY Press, Yogyakarta, 2011
Muchsan., Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981
________., Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992
________., Catatan Materi Perkuliahan Politik Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2011
________., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012
Mustafa Bachsan., Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001
Pamudji., Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1988
Sadjijono.,Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta
Soehino., Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan I, Liberty, 2000
Sujanto., Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984
Zamzuri., Tindak Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta, 1985


[1]Muchsan., Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara Dan Peradilan Administrasi Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm.3
[2]Muchsan., Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992, hlm.14
[3] Pamudji., Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1988, hlm.3
[4] Zamzuri., Tindak Pemerintahan (Bestuurhandeling), Al-Hikmah, Yogyakarta, 1985, hlm.1
[5] Sujanto., Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm.48
[6]Sadjijono.,Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi Negara, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hlm.42
[7]Fauzan Muhammad., Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah, Cetakan I, UII Pres, Yogyakarta, 2006, hlm.17
[8] Sadjijono., Memahami Beberapa Bab Pokok.., Op.cit.hlm.43
[9] Zamzuri., Tindak Pemerintahan..,Op.cit. hlm.11-12
[10] Sadjijono., Memahami Beberapa Bab Pokok.., Op.cit. hlm.79
[11] Ibid, hlm.80
[12] HR Ridwan., Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.115-116
[13] Sadjijono., Memahami Beberapa Bab Pokok..,Loc.cit, hlm.80
[14] HR Ridwan., Hukum Administrasi .., Loc.cit.hlm.116
[15]Kusdarini Eny., Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara Dan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Cetakan I, UNY Press, Yogyakarta, 2011, hlm.87-88
[16] Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Politik Hukum, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2011
[17] Muchsan., Catatan Materi Perkuliahan Hukum Tata Usaha Negata, Program Pasca Sarjana Magister Hukum Kenegaraan-UGM, Yogyakarta, 2012
[18] Muchsan., Sistem Pengawasan..,Op.cit. hlm.32-33
[19] Mustafa Bachsan., Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, Cetakan I, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm.103-104
[20] Sadjijono., Memahami Beberapa Bab Pokok..,Op.cit. hlm.63-64
[21] Soehino., Asas-Asas Hukum Tata Usaha Negara, Cetakan I, Liberty, 2000, hlm.108-109

3 komentar:

  1. pencerahan bagi kami, terima kasih

    BalasHapus
  2. Jika seorang pejabat pemerintahan yang diangkat secara tidak sah, apakah produk hukum misalnya keputusan yang pernah dikeluarkan juga tidak sah ? Misal seorang Bupati mengangkat seorang pejabat eselon II tetapi yang bersangkutan tidak memenuhi persyaratan untuk diangkat sebagai pejabat eselon II, lalu apakah selama ybs menjabat sebagai pejabat eselon II seluruh keputusan atau tindakan yang dilakukannya juga tidak sah ?? mohon penjelasan..!!!

    BalasHapus
  3. Terima Kasih, sebelumnya maaf saya jarang online makanya balas komentarnya lama. Langsung saja, Pengangkatan secara tidak sah seperti? Ketika seorang diangkat secara sah, maka semua produk hukum yang dikeluarkan dianggap sah. Jika terjadi kekhilafan atau kekeliruan, maka masih tetap dianggap sah (hingga ada pembatalannya). Jika mengacu pada contoh yang anda paparkan, maka pengangkatan seorang pejabat eselon II yang tidak memenuhi persyaratan sebagamana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, dikatakan batal mutlak. Maka, segala perbuatannya dianggap tidak pernah ada, dan oleh karena itu keputusan yang dikeluarkannya-pun dapat dibatalkan. Sekian

    BalasHapus

KONSEKUENSI YURIDIS TERHADAP TIMBULNYA KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH BENDAHARAWAN

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkembangan konsep “Negara hukum” sekarang ini telah menghasilkan Negara hukum kese...